dia menatapku dengan tajam menghujam
terasa bagai serpihan kaca yang menyayat syaraf bekuku
perlahan namun ragu ku balas dengan sinar ragu
ah desisku, ''kenapa Tuhan memberiku perasaan pemalu""
rasa menjadi kaku, aku tak kuasa menginjak tanah ini.
pandangku berkunang, perutku mual terlilit sulit.
pertahanku tak kuat menahan sinar sayatan sang makluk surga.
aku berlari sekencang kencangnya, melewati lembah menuruni tebing terjal.
tak lagi kurasakan sakit, semua nampak mudah tak bertepi, tapi kadang juga abstrak tanpa wujud bukti
sepi, sudah keceraikan sebelum sempat mengikat.
hangat, hilang tertelan panas.
dingin. ada namun sudah beku membatu.
di mana? di antara pajangan buangan.
lagi patung patung berjejer manjadi penghalang, waktu menerorkan roman canda
menghilang dibalik keremangan kesucian yang bangga di gadaikan.
semua demi sesuap rasa kenyang.
curahan hati para makluk gunung, ramai pekiknya, damai impinya, adil sabdanya.
lari semakin berlari semakin tak bersembunyi.
dulu dulu sekali, aku berpikir. andai kotaku ini rimba belantara.
sungguh hebat para leluhurku.
meratakanya, membangunya, merawatnya, tanpa menyakitinya.
tak ada tanah becek yang panas tiada henti beronani dengan asap penuh bisa.
tanah, angin, panas menjadi sahabat yang di hormati selayaknya saudara sedarah.
tiada murka menguasai, tiada maksud keji berpoligami.
kacau kacau.
generasi berbeda, berganti, kehormatan hanya sebatas pakaian jadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H