Namaku Nyata. Saat beranjak dewasa pernah sekali aku protes pada ayah; “Aku tak mau nama ini ! Tidak bisakah kalian membesarkan ku sampai cukup dewasa untuk memilih nama sendiri ?”
Tiap anak manusia butuh identitas sejak lahir, mungkin itu alasan ayah memberi kunama. Manusia butuh identitas, butuh nama, butuh identitas agama, butuh identitas suku dan berbagai tetek bengek identitas lainya. Banyak dari identitas itu kadang tidak benar-benar mewakili pribadi yang bersangkutan. Banyak identitas yang diberi tidak sesuai yang diharapkan. Contoh praktisnya agama, aku tak ingin punya agama. Aku sudah punya Tuhan dan itu sudah lebih dari cukup bagi ku. Sahabat karib kuseorang atheis, berbeda dengan ku ia tak percayaTuhan sama sekali. Cinta, keadilan dan kesejahteraan bagi nya sudah cukup. Tapi kami tak bisa apa-apa. Aku dibabtis sejak kecil dan ia disunat ketika masihkanak-kanak, bahkan KTP kami punya kolom Agama yang harus di isi. Kolom agama yang harusnya jadi kolom informasi identitas sering menjadi kolom penyebab terjadinya diskriminasi di negeri ku.
Aku, Nyata Watu Kadju; agama Katholik dan sahabat ku Abu Bakar Marxis bin Dajjal; agama Islam. Kami adalah orang-orang 'kiri.' Kata orang kami kafir.
***
Namaku Nyata. Dari belasan kali pacaran aku hanya empat kali jatuh cinta. Dari empat kali jatuh cinta, dua kali aku tak berani ungkapkan perasaan dan dua kali jadian walau pada akhirnya berakhir menyakitkan. Dua wanita yang membuat rasionalitas ku turun sampai ke titik nol itu adalah Cantika Rembulan dan Cahaya Ayu Gemilang, dua wanita cantik yang ku gilai dan mengilai ku. Sempat lama pacaran, hubungan ku dengan ke duanya kandas begitu saja.
Aku Nyata, Rembulan terlalu tinggi untuk ku. Aku bukan bintang yang pantas mendampinginya di langit. Aku hanyalah kunang-kunang kecil yang walau mampu terbang dan berkerlap kerlip indah, aku tak kan pernah bisa mencapai langit, tempat di mana ia berada dan bersinar indah. Tapi tak mengapa, setidaknya aku bukanlah si Pungguk yang merindukan Bulan.
Aku Nyata. Cahaya memang dapat ku lihat tapi ia tak tersentuh. Dengan nya akumelihat indah nya dunia dalam beragam warna. Tapi aku Nyata, Cahaya terang yangmembuat banyak terlihat indah itu bukanlah sesuatu yang dapat ku sentuh dan ku miliki.
***
Namaku Nyata tapi aku lebih suka bermimpi dan menghayal. Jika aku bisa merubahsemua dokumen yang berisi identitas ku, ingin ku ganti nama ku jadi Khayal. Nama Nyata bagi ku seperti sebuah kutukan. Sebagian besar mimpi ku tak jadi kenyataan. Bukan nya tak berusaha, aku sudah sering bekerja keras dengan kemampuan terbaik ku tapi hasil nya tak seperti yang seharusnya. Pernah aku begitu dekat dengan impian ku sebelum kenyataan dalam bentuk kecelakaan merengutnya dari ku. Aku ingat bagaimana kecelakaan yang merengut segala dari kehidupann ku itu, masa depan,keluarga, sahabat dan pacar ku. Kata dokter aku hidup karena mujizat, korban kecelakaan dengan luka sekujur tubuh seperti ku harusnya mati. Dokter itu salah, ini bukan anugerah tapi petaka. Jalan ku pincang dan mengundang belas kasihan orang-orang yang melihat makin menyakiti ku. Ayah dan ibu kehilangan senyum mereka, jika mereka tersenyum mendengar simpati mu atas keadaan ku, percayalah itu palsu. Mereka sudah kehabisan air mata sehingga memilih memalsukan senyum di wajah agar terlihat tegar menghadapi kenyataan ini, anak semata wayang yang cacat. Senyum mereka makin buat ku makin tertekan, aku sadar aku hanyalah beban. Aku mulai pura-pura lupa dan berusaha melupakan semuanya. Dokter bodoh itu lalu salah mendiagnosa ku amnesia. Kehidupan ku berubah, dari dunia kampus yang ramai menjadi kamar sepi berukuran 4x4 meter ini.
Namaku Nyata, mungkin itu sebabnya aku dikutuk untuk tidak boleh bermimpi. Kenyataan selalu tak berpihak pada ku dan hebatnya lagi aku dituntut oleh kehidupan yang keras untuk menerima semua kenyataan yang ada. Pahit.
Lagi-lagi aku ingin menyalahkan ayah yang menurut ku salah memberi nama.
***
Namaku Nyata. Aku ingin jadi Khayal tapi sepertinya aku lebih pantas jadi Terkutuk.
Aku adalah ironi dari sebuah identitas NAMA.
(Pengembangan dari status Facebook saat ulang tahun ke 24 dengan penyesuaian seperlunya. Menjadi semakin tua itu menjengkelkan. Andai waktu berhenti saat berusia tujuh belas pastinya akan sangat menyenangkan, hehehe)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H