Mohon tunggu...
Jodi Rahmanto
Jodi Rahmanto Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan Wakil Ketua BEM Universitas Negeri Yogyakarta 2019

Seseorang yang penasaran dengan banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kepala BPOM Belum Mundur Juga?

11 November 2022   11:21 Diperbarui: 11 November 2022   11:32 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kasus gagal ginjal akut yang menimpa ratusan anak di Indonesia meninggalkan bekas luka yang mendalam pada para orang tua korban yang meninggal, menciptakan kekhawatiran pada para orang tua yang buah hatinya tengah dirawat dengan penyakit yang sama, dan menimbulkan kecemasan pada para orang tua yang memiliki anak yang masih kecil. Mereka diliputi ketakutan kalau-kalau anak lucu mereka bernasib kurang beruntung seperti para korban.

Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan, per 6 November kemarin tercatat total kasus gagal ginjal akut adalah sebanyak 324 anak, 102 sembuh, 27 masih dirawat dan 195 diantaranya meninggal dunia. Namun syukurlah, sejak 1 November kemarin tidak ditemukan kasus baru. Tren penurunan korban terjadi sejak Kemenkes mengeluarkan surat edaran yang melarang tenaga kesehatan dan apotek menggunakan obat sirup pada anak. Diketahui penyebab terbesar kasus gagal ginjal akut pada anak terjadi karena cemaran zat kimia berbahaya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada obat sirup.

Pada tragedi yang memakan begitu banyak nyawa ini, wajar apabila masyarakat bertanya-tanya siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) mendapat sorotan paling banyak. Hal ini dikarenakan obat-obat sirup yang tercemar zat berbahaya dan dikonsumsi hingga menyebabkan gagal ginjal akut tersebut ternyata sudah memiliki izin edar dari BPOM.

BPOM sendiri saat ini tengah melakukan penelitian kembali pada ratusan merek obat sirup, dan menurut Kepala BPOM, Penny Lukito, hingga hari ini BPOM resmi mencabut izin edar 73 merek obat sirup dari 5 perusahaan farmasi. Namun hal tersebut bukan sesuatu yang pantas untuk diapresiasi, karena seharusnya hal tersebut dilakukan sejak awal, sebelum para korban berjatuhan. BPOM hanya memadamkan api yang mereka nyalakan sendiri.

BPOM sendiri masih terus mengelak, Penny Lukito dalam rapat dengar pendapat bersama DPR menyebut masuknya bahan baku zat kimia berbahaya EG dan DEG berada di luar kewenangan pengawasan mereka. BPOM menyebut masuknya bahan itu berada di bawah izin Kementerian Perdagangan.  Hal ini karena bahan baku tersebut menurut BPOM tidak termasuk dalam Pharmaceutical Grade, dimana bahan Pharmaceutical Grade berada pada kategori larangan dan pembatasan (lartas) yang harus memiliki Surat Keterangan Impor (SKI) dari BPOM agar mendapatkan izin masuk.

Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah, bagaimana para perusahaan farmasi bisa dengan begitu kompaknya menggunakan zat kimia tersebut dalam pembuatan obat apabila memang zat tersebut tidak termasuk Pharmaceutical Grade? Bukankah mereka juga membutuhkan izin? Dan apabila hanya ada 1 merek tertentu yang menggunakan zat kimia berbahaya tersebut, maka kita bisa mengatakan hal tersebut sebagai kelalaian produsen, namun bagaimana kalau 73 merek dari 5 perusahaan yang menggunakannya? Bukankah dapat disimpulkan yang sebenarnya lalai adalah yang mengawasi?

Selain itu yang lebih parahnya lagi, BPOM bahkan mempinakan beberapa perusahaan farmasi terkait kasus gagal ginjal ini, seolah-olah ingin mengatakan kepada publik bahwa ini bukan kesalahan mereka, tapi merupakan kesalahan produsen farmasi.

Dengan kejadian ini banyak pihak yang ramai-ramai mendesak agar Kepala BPOM mundur atau diberhentikan dari jabatannya. Seperti misalnya Andre Rosiade yang merupakan anggota komisi VI DPR yang blak-blakan mendesak Kepala BPOM, Penny Lukito untuk diganti dari posisinya. Andre menyebut bahwa BPOM seolah-olah membuang tanggung jawab dengan menyalahkan kementrian perdagangan. Selain Andre, anggota DPR komisi IX, Saleh Partaonan Daulay juga merekomendasikan untuk mengganti kepala BPOM. Selain itu masih ada banyak lagi anggota DPR yang juga menyuarakan hal yang sama.

Hal senada juga disampaikan masyarakat umum, salah satunya melalui laman change.org ribuan masyarakat telah menandatangani petisi agar kepala BPOM mundur. Apabila kita berselancar di media sosial, sangat mudah kita temui juga ribuan netizen yang juga menuntut pertanggung jawaban BPOM. Tak hanya itu, perkumpulan mahasiswa seperti HMI, LSM, komunitas bahkan buruh juga menuntut hal yang sama.

Penulis pribadi berharap budaya mundur dari jabatan apabila menemui kegagalan, bisa dilakukan para pejabat di negri ini. Covid-19 memang belum selesai dan budaya cuci tangan memang bagus, namun bukan berarti cuci tangan terhadap kesalahan sendiri juga. Dalam kasus ini, hal terbaik yang saat ini bisa dilakukan para pejabat BPOM adalah mundur. Hal tersebut sebagai bentuk pertanggung jawaban kegagalan, sekaligus bukti komitmen dari BPOM sebagai lembaga, bahwa mereka siap melakukan perbaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun