Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perpisahan yang Menyesakkan- The Paijo Family - 23

28 September 2011   21:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:31 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1 sbgndu-pkc.blogspot.com ilustrasi Cerita bersambung Jodhi Yudono

Ketika senja merembang di barat, sepasang sahabat itu pun resmi berpisah. Pay ke barat, sedang Mira ke timur. Tak ada air mata setelahnya, tapi di dada mereka ada beban yang tiba-tiba menindih.
Sepasang mata itu kini mengikuti Mira yang berkendara sendiri di subuh itu, seusai mengedrop Pay di Blok M. Semula Mira cuek saja saat tahu dirinya dikuntit. Tapi lama kelamaan risih juga. Itulah sebabnya, begitu ada kesempatan meloloskan diri, Mira menekan pedal gas mobilnya dalam-dalam. Brmmm... Dalam sekejap, Mira sudah berada di pusaran arus lalu-lintas Jakarta yang padat. Jalan Trunojoyo terlewati, Jalan Senopati menjelang, Mira terus menggeber mobilnya menuju tol luar kota. Baru saja membayar tol, mendadak kaca jendela sebelah depan diketuk seseorang. Orang itu memberikan secarik surat, lantas pergi begitu saja. Mira tak sabar ingin tahu isi surat tersebut. Limapuluh meter dari loket pembayaran tol, dia pun menepi. Sekali sentak, robeklah surat itu. "Jauhi Pay kalau anda ingin selamat." * * * Sejak saat itu, Pay tak bisa menghubungi Mira. Semua akses kontak rupanya telah ditutup oleh Mira. Tentu, ada keinginan Pay untuk langsung menemui Mira di rumah atau di tempat pekerjaannya, tapi ayah Onah ini pasti tak mau melakukannya. "Itu berlebihan," jawab Pay saat menerima saran Kamila untuk menemui Mira di rumah atau di kantor gadis manis itu. "Kami ini hanya kawan saja. Jika aku sampai ke rumah atau ke tempat pekerjaannya, itu pertanda hubungan kami lebih dari sepasang kawan. Biarlah, jika masih berjodoh untuk ketemu, tentu kami akan ketemu. Jika tidak ketemu, itu memang sudah suratannya," Pay menegaskan. Teka-teki mengenai Mira akhirnya terkuak sebulan kemudian. Saat subuh tiba, Mira mengirim kabar duka, ibunya meninggal. Lalu, pagi-pagi benar, Pay mengajak Ijah melayat ke rumah Mira. Melihat Mira yang sedang berduka, tak ada keinginan di hati Pay untuk bertanya penyebab merenggangnya hubungan dirinya dan gadis manis itu. Sampai tiba-tiba, di depan jenazah ibunya, Mira berkata kepada Pay, "inilah salah satu jawaban dari perpisahan kita, Mas." "Hmmm..., berarti ada jawaban lainnya?" tanya Pay. Mira mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya, dan diberikan kepada Pay. "Ya, ya.. aku mengerti. Tapi aku ingin, sekali lagi kita bertemu setelah ini." Mira mengangguk. Suara dzikir memenuhi ruangan, daoa-doa melambung ke langit, memohon suarga bagi ibunda Mira, meminta segala kesalahan dimaafkan. * * * Hari ke-41, setelah semua upacara pasca kepergian ibunda, Mira pun bertemu kembali dengan Pay di sebuah kafe di Plaza Senayan. Mira tampil lebih matang. Di pangkuannya ada sebuah buku tebal. Lalu sambil tersenyum, Mira menyambut kedatangan Pay dengan sebuah jabat tangan yang erat. Pada pertemuan itu, Mira memperlihatkan nama Pay yang telah dicantumkan oleh dirinya di dalam buku tebal yang ada di pangkuan. "Ini namamu, Mas. Saya tuliskan di sini sebagai ucapan terimakasih saya kepada Mas, karena selama penyusunan skripsi ini Mas banyajk membantu saya," ucap Mira kemudian. "Terimakasih, Mira. Tapi saya merasa tidak pernah membantumu selama pengerjaan skripsi ini." "Tapi saya merasa andil Mas cukup besar di skripsi ini. Tapi sudahlah, toh namamu juga sudah tercantum di sini, Mas." Basa-basi sebagai pembuka dialog itu pun tak terlalu lama, sebab seperti yang sudah-sudah, Mira adalah jenis perempuan yang ingin cepat menyelesaikan persoalan. Setelah mereka terdiam sesaat, Mira pun menatap mata Pay seraya berkata, "Mas, ini kali mungkin pertemuan kita yang terakhir." Pay, yang sudah mengenal Mira, hanya mengangguk. "Saya ingin Mas lebih konsentrasi dengan keluarga, saya pun akan lebih fokus dengan masa depan saya," tambah Mira. "Ya, kita ikuti saja ke mana arus sungai akan bermuara. Mungkin setahun lagi, dua tahun, sepuluh tahun, atau bahkan kita tak akan bertemu lagi. Aku Ikhlas, Mira." "Terimakasih atas semua kebaikan, mas." "Kamu juga baik, kelewat baik bahkan. Kamu, dengan segenap kemudaanmu, mau menemani aku, tanpa peduli dengan omongan kawan-kawan sebayamu." "Sudahlah Mas, saya nyaman bersama Mas, itu sudah cukup bagiku." Ketika senja merembang di barat, sepasang sahabat itu pun resmi berpisah. Pay ke barat, sedang Mira ke timur. Tak ada air mata setelahnya, tapi di dada mereka ada beban yang tiba-tiba menindih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun