Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pecatur yang Tangguh - The Paijo Family 20

27 Juni 2011   18:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:07 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari yang melelahkan telah terlewati. Mulai dari mobil yang kesrempet di malam minggu, lantas ban bocor ketika hari Minggu sehabis berjalan-jalan dari Taman Ismail Marzuki, hingga kunci yang tertinggal di dalam mobil saat hendak pulang dari rumah pasangan penulis Noor dan Ray di Bintaro pada Minggu malam. Pada minggu pagi kemarin, setelah menerima kunci kontak mobil mewah keluaran Eropa dari si Gempal, Pay mengajak Onah dan Ijah ke Jakarta Pusat, tepatnya ke Taman Ismail Marzuki. Selain mampir ke warung soto Ma'aruf, menonton pameran foto Bung Karno, mereka juga masuk ke planetarium. Rupanya kemalangan belum mau pergi dari Pay sekeluarga. Saat berkendara menuju pulang, di tengah jalan mendadak ban mobil tertusuk paku. Karena tak pernah melakukan pekerjaan mengganti ban, Pay pun harus mandi keringat dibuatnya. Usai mengganti ban, Pay menerima sms dari Noor. Isinya, mereka kangen dan mengharap kehadiran Pay sekeluarga. Apa boleh buat, meski sebetulnya telah capek, demi menghormati keluarga Noor, Pay pun memacu mobilnya ke arah Bintaro. Tapi begitulah, kemalangan dan kemujuran jika datang memang kerap berduyun-duyun. Ini kali pun kemalangan masih betah mengikuti Pay. Saat mererka telah berpamitan, ternyata kunci mobil tertinggal di dalam kendaraan milik Robert itu. Pay berharap, pada Senin pagi ini semuanya akan baik-baik saja. Termasuk kesehatannya yang menurun beberapa hari belakangan ini, mulai Senin ini akan pulih kembali. Setelah berpamitan kepada Ijah dan Onah, Pay pun mencium dua perempuan yang dikasihinya itu sambil meminta doa agar hari ini dimudahkan semua urusannya. Sengaja Pay berangkat pagi-pagi benar. Maklumlah, Senin pagi adalah awal hari yang membuka kegiatan untuk seminggu ke depan. Semua orang yang bekerja maupun yang hendak mencari pekerjaan di Jakarta seperti berlomba-lomba untuk datang lebih awal. Pay datang seperempat jam lebih awal dari jadwal yang dijanjikan oleh Robert. Resepsionis dan Satpam yang telah mengenali Pay, langsung mempersilakan suami Ijah itu untuk langsung menuju ruang kerja Robert. Saat masuk ke ruang kerja Robert, ternyata di ruang itu telah ada Gondo yang selama ini dikenal Pay sebagai manager Kafe Amarta. Pay sedikit kaget demi melihat Gondo, tapi selanjutnya dia mafhum, apa yang dia duga tentang Gondo adalah benar. Lelaki berkepala botak yang dulu menerima dirinya bekerja di Kafe Amarta itu telah masuk ke dalam "permainan" antara dirinya dan Robert. Pagi ini semuanya memang menjadi kian terang. Benang-benang peristiwa yang saling berkait selama ini, dengan jelas bermuara di tangan Robert. Selain membawa mobil mewah keluaran Eropa yang dititipkan si Gempal kemarin, Pay juga membawa serta arloji Rolex dan cincin berlian yang diberikan si Gempal kepada Onah. "Jadi?..." tanya Pay keheranan, melihat Gondo ada di ruangan Robert. "Ya, saya memang bekerja untuk Pak Robert dan Bu Winda. Kafe Amarta adalah salah satu usaha milik mereka," Gondo menjelaskan. "Pak Robert belum nampak?" "Sebentar lagi pasti datang. Mungkin sedang di ruangan lain," ujar Gondo. Benar saja, tak lama kemudian, Robert masuk ke ruang kerjanya. Setelah mengucapkan selamat pagi dan berbasa-basi, dia pun mempersialakan dua tamunya untuk minum, "Silakan diminum dulu tehnya, Bung." Benar saja, tak lama kemudian, Robert masuk ke ruang kerjanya. Setelah mengucapkan selamat pagi dan berbasa-basi, dia pun mempersialakan dua tamunya untuk minum, "Silakan diminum dulu tehnya, Bung." Pay minum, diikuti oleh Gondo. Meski mencoba tenang, tak urung Pay tak mampu menutupi kegelisahannya. Ruang kerja Robert yang dingin, tak kuasa menahan keringat Pay yang merembes melalui keningnya. "Hm... ada yang hendak Bung Pay sampaikan?" "Iya Pak, jika diizinkan." "Silakan." "Pertama, saya hendak meminta maaf, karena mobil yang dipinjamkan bapak ke saya tempo hari rusak. Kedua, saya mengucapkan terimakasih atas semua budi baik bapak memperhatikan saya sekeluarga dengan memberikan bingkisan-bingkisan yang luar biasa berharganya bagi kami. Ketiga, karena tidak ada alasan yang kuat kenapa bapak memberikan bingkisan maupun  pemberian lainnya, maka pagi ini saya bermaksud mengembalikan semua pemberian dari bapak." "Baik, saya terima kembali. Tetapi, izinkan juga saya meminta kesediaan Bung Pay untuk membantu saya." "Membantu apa, Pak?" "Begini, Pak Gondo akan kami promosikan untuk memegang usaha saya yang ada di Kalimantan. Nah, pos yang ditinggalkan Pak Gondo harus diisi oleh orang yang tepat. Setelah memperhatiakan Bung pay selama ini, menurut penilaian Pak Gondo, Bung adalah orang yang paling tepat menggantikan Pak Gondo untuk mengelola Kafe Amarta." Hmmmm... ibarat pecatur, Robert sungguh lawan tanding yang tak gampang ditaklukan. Robert tak pernah rela memberikan bidak-bidaknya dimakan gratis oleh lawan. Situasi itulah yang kini dihadapi Pay. Setelah dia merasa menang dengan mengembalikan semua pemberian Robert, kini orang kaya itu kembali mengumpankan bidak yang lain, sebuah bidak yang sungguh mengiurkan karena menyangkut masa depan Pay dan keluarganya. "Saya akan memberikan fasilitas yang layak untuk anda. Gaji yang bagus, mobil, uang bensin, uang pulsa, jaminan kesehatan untuk anda dan keluarga. Anda tak harus menjawab sekarang, silakan bicarakan dulu dengan keluarga di rumah," kata Robert seperti sedang menguji ketahanan Pay. Pasti, jika ini aku tolak, Robert punya sejuta cara untuk menjeratku. Okelah, akan kuladeni apa mau dia. "Baiklah pak, saya perlu bicarakan ini dengan orang rumah. Sekalian saya pamit," ujar Pay. "Silakan, terimakasih sudah bersedia datang. Kalau boleh minta, tolong mobil ini Bung bawa kembali saja ke rumah." "Terimakasih Pak. Biar saya naik taksi saja. Nanti kalau saya sudah mengambil pekerjaan yang bapak tawarkan, saya pasti akan pergunakan fasilitas yang bapak tawarkan," jawab Pay sambil keluar ruangan Robert. * * * Sepeninggal Pay, muncul Winda, yang rupanya menyimak semua pembicaraan antara Pay dan kakaknya. "Tidak terlalu tergesa-gesa, Bang?" Winda khawatir. "Moga-moga tidak. Gimana menurut Pak Gondo?" jawab Robert sambil bertanya kepada Gondo. "Selanjutnya biar saya yang urus Pak, Bu. Pay memang bukan jenis orang yang gampang diiming-imingi harta. Dia punya sikap dan cenderung keras kepala," Gondo menenangkan suasana. "Pokoknya saya nggak mau Pay justru menjauh dari kita," pinta Winda kepada dua lelaki di ruangan itu. "Siap Bu. Saya berjanji akan membawa Pay kembali ke ruangan ini dan menerima pekerjaan yang ditawarkan Pak Robert," ucap Gondo. "Terus..?" Winda nampak kurang puas. "Moga-moga hati Pay terbuka, dan mau menerima pinanganmu." Robert menukas. "Ya, moga-moga. Semakin dia menolak pemberian kita, semakin membuatku kagum pada lelaki itu. Dia bukan jenis lelaki yang gampang dibeli," Winda berharap. * * * Ya, ya. Pay memang bukan jenis lelaki yang gampang dibeli. Dia bisa saja meninggalkan semua kesempatan yang bisa membuatnya berjaya jika hatinya tak cocok. Bagi Pay, kejayaan adalah upah dari perjuangan. Itulah kewajaran hidup. Siapa yang menanam akan memanen, semua yang bekerja akan mendapat upah. Dia merasa selama ini tak pernah bekerja secara langsung untuk Robert, oleh karena itu.. dia tak bisa manerima pemberian Robert, apalagi kemudian dirinya tahu bahwa pemberian itu punya maksud agar dirinya bersedia membalas cinta Winda. Hmmm...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun