Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Karena Winda Jatuh Cinta - The Paijo Family (17)

27 Juni 2011   17:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:07 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_119277" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi; Admin/Shutterstock"][/caption] Onah tak sempat bilang ke bapaknya bahwa si gempal itulah yang telah memberinya paket cincin bermata berlian. Maklumlah, kawan-kawannya masih berada di rumah saat bapaknya pamitan. Onah hanya sempat berbisik ketika Pay mencium kedua pipinya, "Hati-hati, Pak." Pay sudah sering mendengar ucapan Onah agar dirinya hati-hati. Tapi ini kali, tekanan suara Onah seperti mengandung pesan agar dirinya waspada. Di dalam mobil titipan si gempal, Pay bertanya-tanya. Tata cara yang dilakukan Pak Robert sungguh di luar kebiasaan. Padahal selama ini dirinya dan Pak Robert tidak pernah ngobrol. Pernah memang, anak buah Pak Robert memintanya nomer telepon. Mungkin saja Pak Robert mendapatkan nomer telepon miliknya dari anak buahnya itu. Atau... Ah, bagi orang kaya semacam Pak Robert, mendapatkan informasi seseorang adalah perkara remeh. Tinggal mengeluarkan lembaran uang seratus-ribuan, waitres di kafe tentu akan dengan senang hati memberikan info yang diinginkan, termasuk nomer telepon milik Pay. Menghadapi situasi penuh teka-teki seperti ini, nyali Pay alih-alih ciut. Naluri kepetualangannya justru bangkit. Pay ingin menyaksikan "lakon" yang ditawarkan Pak Robert hingga usai. Sejak muda Pay sudah terbiasa menghadapi situasi macam apapun dengan tenang, bahkan cenderung menikmatinya. Termasuk saat dirinya berhadapan dengan kaki tangan mertuanya, Tuan Kadir, di Surabaya. Pay butuh waktu satu setengah jam untuk sampai di kantor Pak Robert di Jalan Jenderal Sudirman. Melihat di mana alamat yang dituju, sudah cukup menandakan siapa penghuninya. Ya, kantor Pak Robert berada di sebuah gedung perkantoran mewah dengan pemeriksaan keamanan yang begitu ketat. Hawa sejuk langsung menyambar Pay saat dia memasuki kantor PT. Jembar Segara, milik Pak Robert. Resepsionis langsung menyilakan Pay ketika tahu siapa yang datang. "Mari saya antar, Pak," ucap seorang petugas Satpam yang berjaga di ruang resepsionis. Pay mengikutinya dari belakang. "Jarang-jarang Pak Robert masuk kantor pada hari Sabtu begini kalau nggak penting amat," sambung Satpam. Pay hanya tersenyum menanggapi omongan si Satpam yang bercerita sambil menoleh ke belakang. "Ini dia pak, ruangan Pak Robert. Sebentar..." Satpam mengetuk pintu yang terbuat dari kayu jati, sebanyak tiga kali. Setelah ada jawaban dari dalam, Satpam pun membuka pintu untuk Pay. Seorang lelaki setengah baya dengan tampilan berwibawa menyambutnya dengan hangat, "Masuk, Bung. Hahahaha... apa kabar?" "Baik Pak, terimakasih." Robert pintar membangun suasana. Pay yang semula kikuk, hanya dalam hitungan detik sudah merasa nyaman. "Bung Pay tentu bertanya-tanya, mengapa saya mengundang anda siang ini?" Robert seperti tahu jalan pikiran Pay. "Iya Pak." "Ini semua bermula dari sebuah lagu." "Maksud bapak?" "Bung tahu, ada seorang perempuan yang selalu memesan lagu "In Pain" tiap kali anda main di Kafe Amarta?" "Iya." "Lagu itu judul lengkapnya 'Women in Pain'." "Lantas?" "Bung tahu siapa dia?" "Tidak pak." "Dialah perempuan yang diceritakan dalam lagu itu. Perempuan itu yang meminta kepada Mba Ati untuk menuliskan perasaanya ke dalam sebuah puisi, dan meminta Mas JY untuk menggubahnya ke dalam lagu." "Lantas apa hubungannya dengan bapak?" "Sayalah yang membuat perempuan itu terluka." "Tapi bapak selalu bersama dia..." "Ya, karena dia adalah adik kandung saya." Sebelum Pay tambah penasaran, Robert pun bercerita bahwa dirinya dua bersauadara dengan perempuan bermata indah yang selalu meminta lagu "In Pain" itu. "Nama adik saya, Winda. Kami kini tinggal berdua, karena kedua orang tua kami sudah tiada," papar Robert. Lantas, lelaki setengah baya itu pun melanjutkan ceritanya. Ketika usia 30, Winda memiliki seorang kekasih. Bram panggilannya. Mereka berpacaran hingga lima tahun. Sebulan menjelang pernikahan Bram dan Winda, Robert yang menggemari rally mobil mengajak calon iparnya itu untuk mendampinginya sebagai navigator dalam kejuaraan rally di Medan. Malang tak bisa ditampik, jalanan berdebu di sebuah perkebunan telah mengaburkan penglihatan Robert, hingga tak tahu ada tikungan tajam di muka. Mobil yang kencang melaju lurus, sebelum akhirnya melayang di ketinggian jurang. Dan... Malam itu juga mobil yang mereka kendarai ditemukan dalam keadaan ringsek dengan penumpang yang berlumuran darah. Nyawa Robert bisa diselamatkan, sementara Bram meninggal di tempat kejadian. "Bertahun-tahun Winda membenci saya. Kami baru dipersatukan kembali setelah kedua orang tua kami meninggal. Dia akhirnya bisa memaafkan saya. Semenjak itulah, saya berjanji kepada diri saya untuk membahagiakan Winda, apapun pertaruhannya." "Lantas apa hubungannya dengan saya?" "Karena Winda jatuh cinta kepada Bung." "Lantas?" "Hari ini saya menjadi wali Winda, ingin melamar Bung." "Kenapa saya yang dipilih?" "Sebab Bung mirip benar dengan Bram." "Banyak orang mirip di dunia ini." "Karena Bung bisa bermain biola, seperti Bram." "Asal mau berlatih, setiap orang bisa bermain biola." "Winda menemukan figur Bram pada diri Bung. Lebih dari itu, sekali lagi, Winda telah jatuh hati kepada bung." "Saya orang biasa, nggak punya kelebihan apa-apa, hanya seorang pengamen di kafe ini." "Tak ada yang bisa menerjemahkan rasa cinta dan dengan siapa seseorang memilih untuk jatuh cinta." "Tapi saya telah berkeluarga." "Itu dua persoalan yang berbeda. Winda jatuh cinta kepada Bung, itu adalah satu hal. Bung sudah berkeluarga, itu adalah hal lain." "Tapi saya tidak bisa Pak." "Saya tahu Bung mencintai keluarga Bung. Tapi tolonglah saya, Winda adalah hidup saya. Kekecewaan Winda adalah kekecewaan saya, begitu juga kebahagiaan Winda, pun kebahagiaan saya," Robert memohon sambil matanya berkaca-kaca. Pay tercenung, tak tega menatap mata Robert. "Saya tidak meminta Bung menjawab sekarang, silakan dipikirkan dulu masak-masak. Tapi asal Bung tahu, jika Winda kecewa yang amat sangat, dia akan jatuh sakit, saya pun akan sakit, dan perusahaan ini akan kacau, maka ratusan karyawan kami juga akan merasakan akibatnya." Entah bagian dari siasat atau bukan, yang terang, kalimat terakhir Robert yang menyangkut nasib ratusan karyawan yang bergantung pada laju perusahaan milik Robert, telah membuat goyah hati Pay. Pay pun sepakat untuk memikirkan pinangan Winda dalam waktu beberapa hari ke depan. "Baiklah, saya pamit. Ini kunci mobilnya Pak." "Saya mohon bung bawa mobil itu, nanti si gempal akan mengambilnya di rumah Bung." Sekilas Pay menangkap maksud Robert serupa jebakan. Tapi entah dorongan dari mana, Pay ingin menyaksikan lakon ini sampai tuntas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun