Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dua Kakek yang Bermusuhan (The Paijo Family -15)

20 Juni 2011   00:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:21 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini, Onah akhirnya mengerti, mengapa kedua kakeknya itu saling membenci. Dalam kepolosan hati seorang remaja, Onah bertanya-tanya. Mengapa bisa mereka yang sama-sama berkecimpung dalam dunia kesenian justru terlibat dalam konflik yang sungguh jauh dari keindahan. Ironi sungguh. Bukankah azas mendasar dari sebuah keindahan justru penghormatan manusia atas manusia lainnya. Perbedaan seharusnya justru menjadi bagian dari keindahan. Seperti Tuhan yang menciptakan mahluknya yang berbeda satu sama lain. Ah... dunia manusia dewasa sungguh tak dimengerti Onah. Hidup serupa apa sesungguhnya yang dicari mereka. Sebetulnya tak ada yang salah dalam  pencarian kedua kakeknya. Kakek Kardiman benar, bahwa kesenian seharusnya memang untuk rakyat, untuk kehidupan. Pun begitu dengan Kakek Kadir yang ingin membuat karya seni untuk seni itu sendiri, untuk keindahan. Jika saja keduanya digabungkan, bukankah justru akan menciptakan karya yang luar biasa, ya ya... seni untuk keindahan sekaligus untuk kehidupan. Tapi itulah mungkin dunia manusia dewasa. Dunia menang-menangan, dunia kekuasaan, yang satu berhasrat untuk berpengaruh atas lainnya. Yang satu ingin berkuasa atas lainnya. O... keindahan, o... kasih sayang, bukankah seharusnya menjadi tujuan dari mereka yang berkecimpung di dunia kesenian? Onah kian tak mengerti, mengapa waktu yang sedemikian panjang tak mampu menghapus dendam di dada dua kakeknya. Mungkin, di masa lalu kedua kakeknya telah melewati masa-masa yang menyakitkan. Boleh jadi di masa lalu kedua kakeknya telah melewati waktu yang sangat berat, tetapi bukankah cerita tentang Manikebu dan juga Lekra telah tamat. Bahkan penyair WS Rendra yang dulu berada di belakang barisan Manikebu pun karya-karyanya sangat berwarna kerakyatan dan penuh cibiran kepada para penyair yang menulis tentang anggur dan rembulan. Pun demikian dengan Pramudya yang disebut-sebut bagian dari Lekra; rasanya tak ada yang bisa menyangkal bahwa karya-karyanya adalah roman yang sedemikian tinggi nilai keindahannya. "Sudah selesai membacanya, Nak?" "Hmmm..." "Kenapa?" Onah meletakkan buku yang dibacanya di pangkuan. Matanya memerah karena menahan tangis. Lalu katanya, "Pelajaran apa yang bisa Onah ambil dari kedua kakek Onah, Mak?" "Ambil yang baik, buang yang buruk." "Di mana letak kebaikannya?" "Di kegigihan mereka dalam memperjuangkan keinginan mereka, sehingga menghasilkan karya-karya luar biasa." "Lantas sampai kapan kedua kakek Onah bisa saling memaafkan?" "Hanya mereka dan Tuhan yang tahu, Nak." "Hiks...." Onah tak kuasa menahan genangan air di matanya. Ijah mengambil buku dari pangkuan anaknya, lantas memeluk darah dagingnya yang juga keturunan dari dua lelaki yang saling bemusuhan, Kadir dan Kardiman. Ibu dan anak itu berpelukan dalam tangis. Ada rasa bersalah di hati Ijah, mengapa hingga Onah menjelang dewasa dirinya tak mampu menaklukan hati ayahandanya, sehingga bisa membawa Onah menemui sang kakek, akar dari kehidupannya. "Hidup Onah rasanya nggak lengkap, Mak. Mustinya Onah memiliki dua kakek..." "Sabar Nak, sekarang kamu sudah memiliki kakek Kardiman, mudah-mudahan kamu juga akan segera memiliki eyang Kadir." "Eyang Kadir sungguh keras kepala." "Bukan keras kepala, Nak. Tapi keras hati yang mempertahankan harga diri." "Harga diri?" "Iya, harga diri bagi Kakek Kadir yang kaya dan berkuasa adalah sama nilainya dengan semua kekayaan yang dimilikinya." "Untung Eyang Kardiman nggak kaya ya Mak? Kalau beliau kaya, bisa-bisa Onah nggak memiliki kakek sama sekali." "Tapi kamu memiliki Emak dan Bapak yang sangat menyayangimu." "Hiks..." Onah makin erat memeluk tubuh Ijah. Tangisnya kembali pecah. Saat tangis Onah mulai mengeras, tiba-tiba ada ketukan di pintu. Tok tok tok.. "Bapakmu, Nak. Sebentar Emak buka pintu." Pay keheranan saat mendapatkan dua orang yang dicintainya berlinangan air mata. "Ada apa ini?" tanya Pay. "Kami baru bercerita tentang kedua orang tua kita, Mas," Ijah menjawab. "Maafkan kami, Nak." Pay mendekati Onah, lantas memeluknya. "Sekarang hapus air matamu, terus ambilkan air putih buat bapak," sambung Pay sambil mencium kening putrinya. "Sekalian ambilkan kiriman paket buat bapakmu." "Paket apaan?" "Tadi sore ada kurir mengirim paket buat Mas, kami belum membukanya." "Sekalian bawa juga paket yang buatmu Nak." Onah menemui kedua orang tuanya, dengan baki berisi segelas air putih dan dua paket kecil di atasnya. "Dari siapa ini?" Pay bertanya. "Gak ada nama dan alamat pengirimnya," sahut Ijah. "Ini paket yang diberikan untuk Onah." imbuh Ijah seraya membuka bungkusan paket. Pay terbelalak matanya saat melihat cincin emas dengan mata berlian yang gemerlapan. "Nah, ini yang buatmu, Mas." Hati Pay mulai tak tenang. Ada getar halus di tangannya saat membuka bungkusan kecil yang dikirimkan seseorang kepadanya. Saat bungkusan telah terbuka, ketiganya ternganga. Barang yang ada di dalam bungkusan itu ternyata tak kalah mewahnya dengan bingkisan yang dikirim buat Onah. Sebuah jam tangan merek Rolex!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun