Mohon tunggu...
Jodhi Yudono
Jodhi Yudono Mohon Tunggu... -

beta cuma pengembara yang berjalan dengan hati, bekalku cuma kasih sayang yang kubagi untuk sesama.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Juragan Itu Tuan Kadir Namanya (The Paijo Family -14)

19 Juni 2011   01:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:23 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup adalah perburuan. Maka ketika tanah perburuan itu telah habis isinya, atau kian banyak pemburunya yang menyebabkan persaingan tambah keras, pindah ke tempat lain adalah pilihan yang tepat. Itulah yang menurut Ijah dilakukan oleh ayahandanya, Kadir, yang memilih pulang ke Surabaya setelah Jakarta dengan aneka persoalan yang menghimpitnya menjadi tanah perburuan yang kurang memberikan harapan kepada Kadir. Dua tahun setelah berpisah dari karibnya yang kemudian menjadi musuh ideologisnya, Kardiman, pada awal 1965, Kadir meninggalkan kota Jakarta menuju kampung halamannya di Surabaya. Namun sesampainya di stasiun Wonokromo, mendadak Kadir dihinggapi rasa malu untuk pulang ke rumah. Urusan ekonomi adalah salah satu penyebabnya. Dia tak mau nampak gagal setelah pengembaraannya di Jakarta sepanjang tujuh tahun. Itulah sebabnya, Kadir berpikir keras untuk mencari pekerjaan dan baru akan pulang setelah mampu memberi kebanggaan materi kepada keluarganya. Beberapa toko dan warung di seputar Wonkromo dimasukinya, sekedar untuk mendapatkan pekerjaan sebagai penjaga toko atau pencuci perabotan makan di warung. Namun tak satu pun memberinya pekerjaan. Sementara Uang di saku tinggal beberapa rupiah saja, paling banter hanya bisa untuk bertahan tiga hari. Sambil membayangkan ancaman kelaparan yang akan menghampirinya, Kadir pun berjalan menuju pasar Wonokromo. Jajanan pasar, minuman segar, dan aroma ayam goreng yang menggodanya, segera ditepis. Semenjak keluar dari rumah tujuh tahun lalu, baru kali ini dia merasakan kelaparan yang amat sangat. Lebih sial lagi, karena dia tak mampu melunaskan rasa laparnya oleh ketiadaan cadangan uang yang cukup di sakunya. Seraya membawa perutnya yang melilit dan pandang matanya yang mulai kunang-kunang Kadir pun menuju ke salah satu sudut pasar. Sambil duduk, otak Kadir pun sibuk berkeliaran ke sana ke mari. Dia hampiri masa lalunya, sekaligus ia lamunkan masa depannya, dan selalu saja diakhiri dengan fakta pahit yang membentang di hadapannya kini. Sedang asyik melamun, secara tak sengaja matanya menangkap sosok tua yang melintas tak jauh darinya. Sosok itu membawa keranjang di punggungnya serta tongkat berpengait di tangannya. Meski keranjang di punggungnya telah penuh dengan kertas, kardus, botol dan besi, namun orang tua itu masih saja sibuk mengaduk-aduk tempat sampah. Naluri primitif untuk bertahan hidup pada diri Kadir yang sedang kelaparan, segera tergugah. Kadir lantas bangkit dan mengikuti Pak tua yang sedang mengumpulkan barang-barang bekas dari tumpukan sampah yang berserakan di Pasar Wonokromo. Kadir menyisakan jarak sepuluh meter di belakang Pak Tua, saat pemulung itu berjalan menjauh dari pasar. Setelah melewati tiga gang, sampailah Pak Tua di sebuah tepat pengepul barang-barang bekas. Di sanalah Pak Tua menukarkan jerih payahnya mengumpulkan barang-barang bekas dengan sejumlah uang. 'Alhamdulillah, jawaban sudah kudapat,' ujar Kadir dalam hati sambil berjalan menemui bos pengepul setelah Pak Tua pergi. "Boleh saya menyetorkan barang-barang bekas saya ke sini mulai besok?" tanya Kadir. "Tentu saja boleh, kumpulkan sebanyak-banyaknya biar kamu dapat duit banyak," ujar si pengepul. Kadir bergegas memasuki pasar kembali. Sisa uang di kantong dia keluarkan untuk membeli peralatan "perang" berupa keranjang dan besi pengait. Uang yang tertinggal hanya cukup untuk makan malam dan sarapan. Selebihnya, Kadir hanya bisa berdoa, semoga esok keranjangnya bakal penuh oleh besi, tembaga, kardus, dan botol. *** Begitulah, saban hari, keranjang di punggung Kadir dipenuhi oleh berbagai macam barang bekas. Dia berangkat seusai shalat subuh, ketika para pemulung lainnya masih tertidur lelap. Kadir memang bertekad akan bekerja sebelum ayam jantan berkokok. Itulah sebabnya, sebelum lohor Kadir sudah bisa santai di mushola tempatnya menginap selama ini, menemani Dulhadi yang jadi marbot di mushala sekitar pasar Wonokromo. Sekali waktu, dia juga membantu juragan pengepul mengantar barang-barang rongsokan ke Tanjung Perak. Dan kembali, Kadir menangkap peluang yang ada di depan matanya. Kepada juragan besar di Tanjung Perak, dia pun menawarkan diri sebagai penyetor, yang tentu saja diiyakan oleh Fatoni, nama bos besar di Tanjung Perak. Akhirnya, Kadir hanya butuh waktu tiga tahun untuk memahami bisnis barang-barang rongsokan itu, sebelum dirinya menjadi juragan besi tua di daerah Tanjung Perak. Kadir tak cuma pandai bekerja, tapi juga pintar mendengar dan cakap mewujudkan mimpi-mimpinya menjadi kenyataan. Bulan demi bulan bisnis Kadir kian menggurita. Dia menaruh orang di berbagai tempat sebagai pengepul yang harus menyetorkan hasilnya ke gudang miliknya. Tak cuma itu, Kadir juga membuka jaringan dengan para pemasok dari luar negeri, terutama untuk besi dari kapal-kapal tua. Genap lima tahun berbisnis barang rongsokan, saat Kadir telah mapan hidupnya, barulah lelaki berdarah Madura ini pulang ke rumahnya dengan membawa serta simbol-simbol kejayaannya sebagai pengusaha; berupa mobil mewah dan beraneka perhiasan yang akan dia serahkan kepada kedua orang tuanya. Tak cuma keluarga, warga wilayah Keputran juga menyambutnya dengan suka cita. Orang kaya baru telah muncul dari Keputran, dan itu Tuan Kadir namanya. Ini berarti sebagian warga yang masih menganggur sebentar lagi mendapatkan pekerjaan. Tak lama kemudian, Kadir mulai membuka kerajaan bisnisnya di kampung orang tuanya. Selain memperbaiki rumah keluarga, dia pun membeli tanah luas di kampung ini untuk dibangun rumah serta perkantoran yang akan mengelola jaringan bisnisnya di seluruh Indonesia. Karena sedemikian sibuknya, Kadir pun abai untuk berkeluarga. Baru pada tahun 1970 dia menikah. Sopiah, gadis asal Tuban, akhirnya berjodoh dengannya. Dari Sopiah itulah, tiap tahun lahir putra-putri Kadir yang lucu-lucu, hingga genap tujuh orang anak. Paijah, adalah sulung dari tujuh bersaudara keturunan Kadir dan Sopiah. * * * Maklumat: Teman-teman yang berminat ngobrol soal kepenulisan, bisa berhimpun di akun "Keluarga Paijo" facebook.com, email paijofamily@yahoo.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun