Cerita Bersambung Jodhi Yudono Air mata Onah masih meleleh. Berkali-kali Ijah mengusapnya dengan penuh sayang. Peristiwa siang tadi benar-benar telah menghancurkan impian Onah untuk hidup bersama Hendry. Awan hitam turun dan menelikung Onah mentah-mentah. Cinta yang membuncah berbalik jadi benci yang terdedah. Onah belum bisa menerima kenyataan bahwa Hendry adalah seorang gay. Selama ini memang Onah kerap mendengar tentang perilaku seorang gay, tapi dia tak pernah menyangka bahwa kekasihnya adalah seorang gay. Onah yang luas pengetahuan umumnya karena ketularan oleh bapaknya yang gemar membaca dan bergaul itu juga sedikit tahu tentang komunitas yang konon bermula dari peradaban nabi Luth dalam kisah Sodom and Gomorah. Sekelebat Onah juga masih ingat bahwa kata "gay" bermula di Inggris pada abad ke-12 dari Bahasa Perancis: gai. Kata ini digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari serta sangat umum ditemukan dalam pidato dan karya literatur, arti sesungguhnya dari kata ini adalah "sukacita", "kebebasan", "bersinar". Itulah soalnya, dalam usia semuda itu, Onah sudah memiliki kesadaran bahwa menjadi seorang gay adalah pilihan hidup. Meski di sisi lain, Onah juga menyesali, mengapa Hendry memilih untuk menjadi gay dan kemudian mengenal dirinya. 'Kenapa harus dia, kenapa Bang Hendry harus ketemu dengan saya?' Onah berkata-kata dengan dirinya sendiri. O... sejarah manusia, selalu saja menyertakan aneka rupa kejadian. Gelap dan terang hanyalah dari mana manusia memandang. Hitam dan putih hanyalah warna yang dipilih karena pengertian yang didapatkan manusia semenjak mulai mengenal pergaulan. "Ya, aku seorang gay. Semula aku berharap bisa sembuh dengan mencoba memacarimu. Tapi berpura-pura ternyata sangat menyakitkan. Sebelum terlalu jauh, baik juga kita sudahi hubungan ini. Maafkan aku, Onah. Maafkan aku," tutur Hendry, disaksikan Onah dan Ijah siang tadi, setelah Hendry berhasil mengejar Onah ke rumah. Ijah tak bisa berkata apa-apa saat Hendry berpamitan. Begitu Hendry menutup pintu, menjeritlah Onah sekuat suara. Para tetangga yang nampak kepalanya di pagar-pagar rumah, hanya bisa mereka-reka tentang apa yang terjadi dengan Onah. Berkali-kali Onah pingsan, bertubi-tubi Onah dihajar kesedihan. Ah, cinta telah membuat anak dara belum genap berusia tujuhbelas itu terluka. Pengakuan Hendry benar-benar telah menjadi penutup sempurna dari kebaikan-kebaikan perjaka asal Bandung itu selama ini. Bukan perpisahan yang membuat pedih, tapi kenangan atas perlakuan Hendry yang sedemikian manis selama inilah yang membuat hati Onah nelangsa. Tak pernah Hendry mengecewakannya, apalagi menyakitinya. Hendry yang tangguh secara ragawi, adalah sandaran kukuh buat Onah berlindung. Yang lebih penting, Onah tetap "terjaga" dan tak tersentuh, selain hanya belaian lembut di rambutnya yang panjang tergerai serta kecupan di kening. "Sudahlah nak, jangan kau turuti kesedihanmu. Masih banyak lelaki lain yang mau sama kamu, lagian kamu masih SMA, emak dan bapak kepingin kamu lulus dulu, baru nanti setelah kuliah boleh pacaran," Ijah menasihati putrinya saat tangis Onah telah mereda. "Onah tidak sedih ditinggal sama Bang Hendry, mak." "Trus?" "Onah sedih karena kasihan sama Bang Hendry. Andai bisa Onah mengembalikan dirinya sebagai lelaki yang utuh sempurna, lelaki yang tertarik kepada perempuan, hiks..." "Moga-moga GustiAllah memberi petunjuk kepada nak Hendry, kita berdoa saja nak." "Iya mak, Onah ikhlas pisah dari Bang Hendry asalkan dia kelak menikahi perempuan." "Iya, nak. Sekarang tidurlah." Sejenak anak dan ibu itu terdiam. Entahlah, barangkali mereka berdua sedang sibuk dengan lamunannya sendiri-sendiri. Onah, tentu saja sedang melamunkan Hendry, sedang Ijah... hmmm, hidupnya yang lurus-lurus saja di kala remaja membuat kenangannya tak sedemikian warna. Satu-satunya warna yang menghampiri hidupnya cuma warna ungu, dan itu Paijo yang menorehkannya dengan segenap cinta. Onah kaget, saat melirik ke arah wajah Emaknya, dia melihat seulas senyum mengembang di bibir perempuan yang dicintainya itu. "Emak?" Onah keheranan. Senyum di bibir Ijah berubah menjadi tawa kecil, "hi hi hi..." "Emak kenapa? Ada yang lucu?" "Ingat peristiwa sore tadi," jawab Ijah. "Ada yang lucu gitu?" Ijah mengangguk, tawanya mulai kencang. "Ih... Emak, ngetawain apa sih?" "Tadi sore Emak itu sedih, jengkel, tapi campur geli..." "Pas kapan?" "Pas Hendry mengejar kamu sampai muka pintu." "Emang Emak liat kejadiannya." "Emak liat dari kaca jendela." "Emang di bagian mananya yang lucu?" "Pas kamu banting pintu, sehabis Hendry sia-sia ngejar kamu, terakhirnya Hendry teriak kecil memanggil kamu, ne'...." "Ih.. Emak..." "Hihihi... Emak langsung ingat Ivan Gunawan sama Olga Syahputra deh..." "Ihhh... Emak jahaaaaattt..." Tak urung, Onah pun ikut tertawa. Sesaat Onah bisa melupakan kepedihan hatinya. Tapi itu tak lama. Setelah acara tertawa selesai, Onah pun kembali bermuram durja. Ijah yang mengetahui perubahan ekspresi putrinya, cuma bisa mengelus kening Ijah seraya menyuruhnya tidur. Mata Onah memang telah terpejam. Tapi dalam pejam itulah, angannya jadi tambah liar mengembara, menghampiri kenangannya bersama Hendry. Bait-bait puisi indah yang dikirim Hendry pada awal perkenalannya sebulan lalu, serupa gula-gula yang memabukkan. Tutur kata dan perilaku Hendry yang manis, adalah pohon rimbun pengganti ayah yang jarang di rumah. Lantaran kian dalam Onah mengenang, dalam pejam pun air matanya meleleh. Ijah yang berjaga di sebelahnya hanya bisa mengusap air mata putrinya dengan lembut seraya berbisik. "Anak emak yang manis, Onah, kenapa bersedih? Bang Hendrymu akan baik-baik saja, seperti juga dirimu kini dan nanti. Emak bersyukur, lelaki pertama yang datang kepadamu adalah Bang Hendry, dia bukan saja baik, tapi juga menjagamu tetap utuh. Emak sayang kamu nak..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H