Selama ini, mungkin kita berpikir bahwa pajak hanya berfungsi sebagai pendanaan APBN. Namun, apakah kita menyadari bahwa sebetulnya fungsi pajak jauh lebih besar dan mulia daripada itu? Pajak memegang fungsi regurelend. Artinya, pajak dapat menjadi sebuah alat untuk mencapai tujuan tertentu, salah satunya mengontrol perilaku masyarakat. Di beberapa negara, pajak sebagai alat pengendali kriminalitas sudah banyak diterapkan, misalnya di Amerika Serikat. Di tahun 1931, seorang mafia bernama El Capone dikenakan pajak atas transaksi ilegal yang bersumber dari berbagai kejahatan yang dilakukannya di Chicago. Pengadilan memutuskan bahwa El Capone bersalah atas penggelapan pajak (tax evasion). Menariknya, penetapan El Capone sebagai tersangka dan tuduhan penggelapan pajak ini sebenarnya merupakan cara yang dilakukan oleh pemerintah AS untuk bisa menangkap El Capone. Kejahatan yang dilakukan oleh kelompok mafia ini sudah sangat meresahkan masyarakat sehingga memberi tekanan kepada pemerintah federal untuk menangkapnya dengan cara apapun. Kejadian ini menjadi tonggak penerapan pajak sebagai alat pengendali kriminalitas di Amerika. Dalam persidangan, di hadapan hakim, El Capone menyampaikan sebuah pernyataan yang kontroversial “They can’t collect legal taxes from illegal money”. Sampai dengan saat ini, pernyataan ini masih menjadi perdebatan.
Tentunya, ungkapan tersebut bukan hanya sekadar gertakan belaka. Pernyataan tadi menilik perhatian dan menimbulkan pertanyaan dalam benak kita. Apakah penghasilan yang ilegal bisa dikenakan pajak? Bagaimana dengan penghasilan atas judi online, hasil korupsi, atau penghasilan ilegal lainnya? Lalu, siapa yang akan menanggung beban pajak? Bagaimana mekanisme pemajakan yang bisa dilakukan? Dan yang paling penting, apakah negara bisa yakin bahwa pemajakan ini tidak akan menimbulkan eksternalitas negatif? Semua pertanyaan tadi merupakan isu krusial yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Definisi Penghasilan yang Dapat Dikenai Pajak
Pertama-tama, kita tentu harus mendefinisikan pengertian penghasilan untuk menentukan apakah penghasilan ilegal dapat dipajaki. Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dari pengertian di atas, kita dapat melihat bahwa penghasilan yang berasal dari transaksi ilegal dapat dipajaki. Namun, kita harus sangat berhati-hati untuk mendefinisikan pengertian ini. Dalam perpajakan, kita mengenal konsep taxable dan deductible. Taxable memiliki arti bahwa suatu penghasilan dapat dikenakan pajak. Sementara, deductible berarti biaya yang terjadi dapat menjadi pengurang penghasilan yang akan dipajaki. Kedua terminologi ini berjalan beriringan dan melekat pada transaksi ekonomi. Penghasilan yang dapat dipajaki dapat menjadi beban yang bisa dikurangkan oleh lawan transaksi. Misalnya, penghasilan atas penjualan suatu barang dikenakan pajak penghasilan. Di sisi lain, transaksi ini dapat dianggap sebagai beban oleh pembeli dan dapat mengurangi penghasilan kena pajak.
Jika penghasilan ilegal bersifat taxable, apakah biaya untuk mendapatkan hal-hal yang ilegal bersifat deductible? Inilah poin yang krusial dalam merumuskan mekanisme pemajakan atas penghasilan yang ilegal. Dalam websitenya, Australian Taxation Office memberi batasan secara jelas bahwa kerugian dan pengeluaran dari kegiatan bisnis ilegal tidak dapat diklaim sebagai pengurangan. Namun, penghasilan ilegal tersebut sifatnya dapat dipajaki. Jika wajib pajak menjalankan bisnis yang sah tetapi dihukum atas pelanggaran ilegal, maka pengeluaran yang berhubungan dengan aktivitas ilegal tidak boleh diklaim sebagai pengurang.
Subjek Pajak atas Penghasilan Ilegal
Pajak atas penghasilan ilegal bertujuan untuk memberikan efek jera dan mengontrol perilaku masyarakat. Untuk itu, penentuan subjek pajak akan sangat menentukan seberapa efektif pengaruh pajak dalam mengurangi aktivitas bisnis ilegal yang ada di Indonesia. Beban pajak harus ditanggung oleh pihak yang benar-benar bertanggung jawab atas kegiatan ilegal tersebut. Salah satu kriteria dalam menetapkan subjek pajak adalah dengan mengidentifikasi pihak yang menerima manfaat terbesar dari aktivitas ilegal.
Selama ini, terdapat stigma bahwa penjudi, pengguna narkoba, tunasusila, dan konsumen konten pornografi adalah pelaku kriminal yang harus dijauhi dan dihukum. Padahal, kriminal sebenarnya adalah pemilik bisnis yang mendapat keuntungan dari kegiatan ini. Mereka seharusnya bertanggung jawab atas dampak negatif yang merusak moral masyarakat. Untuk itu, subjek pajak atas kegiatan ini adalah pemilik bisnis sebagai penerima manfaat terbesar. Pihak-pihak inilah yang jarang terdeteksi dan terlihat. Berbeda halnya dengan korupsi, pihak yang bertanggung jawab adalah koruptor itu sendiri. Oleh karena itu, mekanisme pemajakan harus didesain dengan baik agar tepat sasaran dan efektif dalam mengurangi aktivitas bisnis ilegal.
Mekanisme Pemajakan atas Penghasilan Ilegal
Beberapa negara telah menerapkan pajak atas penghasilan ilegal, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, Kanada, dan Australia. Mekanisme pengenaan pajak atas penghasilan ilegal bervariasi di setiap negara. Akan tetapi, secara umum prinsipnya sama, yakni segala bentuk penghasilan, baik legal maupun ilegal dianggap sebagai objek pajak. Sebagian besar negara tidak membedakan tarif pajak antara penghasilan legal dan ilegal. Namun, terdapat denda atau penalti khusus yang diberlakukan pada penghasilan ilegal. Meskipun tidak terdapat perbedaan tarif, beberapa negara menerapkan beban tambahan yang secara efektif meningkatkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh pelaku kejahatan. Namun, kita harus kembali pada tujuan dan prinsip awal dari pemajakan ini. Tujuan utama dari pemajakan atas penghasilan ilegal adalah menghentikan aktivitas bisnis ilegal. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu mendesain mekanisme pajak yang berbeda dari negara lainnya dengan menyesuaikan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat. Pemajakan atas transaksi ilegal sangat rentan atas eksternalitas negatif. Jangan sampai pemajakan ini malah mendorong pengusaha untuk menjalankan bisnis yang ilegal. Berikut adalah beberapa cara yang mungkin dapat dilakukan untuk mengurangi potensi eksternalitas negatif:
- Pengenaan Tarif Pajak yang Lebih Tinggi: Pajak atas penghasilan ilegal perlu dibedakan dari bisnis yang sah. Untuk itu, tarif pajak dari penghasilan ilegal harus dibedakan dari tarif pajak normal. Dengan demikian, bisnis ilegal akan terbebani dengan pajak yang besar sehingga mereka sulit untuk mengembangkan bisnisnya. Selain itu, usaha dari aktivitas ilegal tidak boleh membebankan biayanya. Hal ini juga dapat memberi keadilan bagi pengusaha yang melakukan bisnis secara sah.
- Pengenaan Sanksi Pidana dan Pembubaran Usaha: Setelah membayar pajak, bisnis yang menjalankan kegiatan ilegal harus diproses secara hukum untuk dikenai sanksi pidana. Pembubaran usaha wajib dilakukan untuk memastikan bahwa bisnis ini tidak berlanjut. Kedua hal ini diharapkan dapat memberi efek jera bagi pelaku. Esensi dari pajak atas penghasilan ilegal bukan untuk memaksimalkan penerimaan negara, melainkan untuk menghentikan aktivitas ilegal tersebut.
- Integrasi antara Undang-Undang Perpajakan dengan Undang-Undang Penegakan Hukum: Mekanisme pemajakan ini bukan berarti meniadakan penegakan hukum. Sebaliknya, pajak hadir sebagai alat kontrol dan deteksi yang membantu penegak hukum untuk menindak pelaku kejahatan. Untuk itu, dibutuhkan integrasi peraturan antara undang-undang perpajakan dengan undang-undang penegakan hukum. Dengan demikian, otoritas pajak dapat berkolaborasi dengan penegak hukum untuk menghentikan aktivitas bisnis ilegal di Indonesia.
Pengenaan pajak atas penghasilan ilegal tentu mendapatkan banyak tantangan serta pro-kontra dari berbagai pihak. Isu terkait eksternalitas negatif menjadi sorotan utama. Indonesia sebagai negara agamis yang memegang nilai-nilai moral tidak ingin terjebak dalam situasi dimana legitimasi dari penghasilan ilegal justru dapat mendorong praktik-praktik yang merugikan masyarakat. Ada kekhawatiran bahwa pemajakan ini dapat dilihat sebagai pengakuan terhadap keberadaan aktivitas ilegal, seolah-olah negara memberikan “lampu hijau” bagi kegiatan yang bertentangan dengan norma sosial dan hukum. Untuk itu, perlu adanya pendekatan yang holistik dari berbagai sisi untuk mendesain mekanisme pemajakan yang sesuai. Esensi dari pemajakan ini bukan untuk mencari penerimaan sebesar-besarnya, melainkan untuk mengontrol aktivitas ilegal yang ada di Indonesia. Jadi, apakah pemajakan ini realistis atau hanya utopis? Semua tergantung pada semangat untuk melawan praktik ilegal, dimana keberanian dan komitmen dapat mengubah masa depan Indonesia.