Jumat siang pukul 14.00 wib.
Siang itu bersama 3 orang rekan sekerja, kami mendatangi kediaman yang terletak di jalan Hj.Nawi Raya No.72. Rumah yang dihiasi oleh berbagai pohon yang rindang, serta berhalaman luas itu, terlihat sangat asri dan ramah seperti penghuninya. Selama perjalanan dari kantor kami yang terletak di Palmerah menuju tempat ini, secara pribadi saya sangat gugup, grogi bahkan deg-degan. Rasa-rasanya hampir seperti pertama kali mau kencan. HaHaHa ... Sebelum berangkat saya merasa semua sudah saya persiapkan dengan matang, semuanya. Bahkan serentetan pertanyaan, sudah saya siapkan.
Setelah berada di dalam halaman rumah tersebut, si pemilik rumah akhirnya keluar. Dengan ramahnya beliau langsung menyambut kami, dan mempersilakan kami untuk duduk di gazebo halaman beliau. Saat itu beliau berpenampilan sangat sederhana, hanya menggunakan baju putih polos, celana bahan dan sandal jepit karet, dengan rambut diikat kebelakang, serta kacamata yang menghiasi wajah beliau. Beliau menyambut kedatangan kami dengan tangan terbuka, bagi beliau berbicara di telepon hanya menghabiskan pulsa, lebih baik tatap muka langsung, gratis dan bisa bicara bebas. Kesempatan inipun, bukan kami yang meminta, namun beliau sendiri yang meminta bertemu. Setelah berkali-kali saya mencoba menghubungi beliau, dan hanya bisa berbicara dengan istri maupun pembantu rumah tangga beliau. "Sedang nungguin cucu masuk kuliah aja ni, makanya ada di sini, biasanya saya ke gunung, di Banten ...", begitulah awal mula kalimat pembuka yang keluar dari bibir beliau.
Saya semakin deg-degan saat akhirnya bisa dengan lancar bersalaman dan memperkenalkan diri kepada beliau. WOW, saat ini tepat di hadapan saya berdiri salah seorang personil group musik legend, pelopor dunia musik Pop dan Rock n Roll Indonesia. Bagi saya group musik yang melambung pada era 60-an ini, lebih jenius dari group musik manapun. Bayangkan ada 92 album dengan kurang lebih 953 lagu yang mereka ciptakan, dan semuanya memiliki pesan kritis terhadap fenomena-fenomen yang terjadi pada era tersebut.
Maksud kedatangan kami ke kediaman beliau, adalah untuk melakukan ritual "kulo nuwon" mengangkat kisah perjalanan karier group legendaris ini. Di dalam hati, saya sangat semangat untuk meluncurkan semua pertanyaan yang saya sudah persiapkan. Ternyata belum saya bertanya beliau sudah lebih dulu bercerita hal-hal yang ada di dalam hati beliau. Saya rasa ini lebih penting daripada semua pertanyaan yang sudah saya siapkan.
Secara sengaja, saya biarkan beliau bercerita, recording mulai saya aktifkan, walaupun saya tahu suasana rumah beliau saat itu cukup bising. Suara angin yang menerpa hiasan langit-langit gazebo, menimbulkan bunyi-bunyian yang kalau didengar ternyata menciptakan alunan yang indah. Semua bergulir secara natural, tanpa arahan pertanyaan dari saya. Saat itu yang saya inginkan adalah, menemukan celah "intimate relationship" saya dan narasumber.
Beliau mulai berapi-api menceritakan bagaimana pahitnya group band ini karena banyak "diakali" orang dalam setiap penampilan mereka. Ya, pada era mereka, belum ada istilah royalti bahkan hingga tahun 1992, mereka belum merasakan royalti. Lagu mereka boleh dimainkan, diputar di sana-sini, semua boleh kenal mereka, karya mereka boleh jadi seperti "legenda yang hidup", tapi penghargaan dan perhatian yang SELAYAKNYA ternyata tidak mereka peroleh.
Sedikit mengutip perkataan beliau ketika kami menawarkan kepada beliau untuk menjadi narasumber kami, secara frontal beliau mengatakan " ... Gajahnya butuh makan, saya capek kami ini sudah sering diakali orang, sudah malaslah terbang malam ... loh moso gajahnya dikasih pelepah pisang terus, ya mate lama-lama ..." ungkapan dengan logat khas ini meluncur indah dari bibir beliau yang terlihat sudah sangat letih. Moment ini saya pegang erat dalam benak saya, karena ternyata semua yang terlihat di layar kaca seolah menampilkan penghargaan yang tinggi bagi mereka, tapi ternyata belum 100% dirasakan. Sementara melirik ke kehidupan musisi-musisi tanah air zaman sekarang yang mampu gonta-ganti mobil mewah, hidup bergelimangan harta, meraih ketenaran dengan publikasi masalah pribadi maupun kehidupan seks mereka, SANGAT JAUH BERBEDA dengan perjuangan group musik legendaris ini.
Beliau yang merupakan bassis dari band yang berawal dari group musik bersaudara ini, mulai bercerita tentang lirik lagu mereka. Banyak nilai-nilai pesan yang merupakan kritikan ataupun fenomena yang terjadi dan yang akan terjadi di depan. Semua mereka tuangkan di dalam lirik-lirik mereka yang sangat jenius. Ketika mereka menceritakan lagu "kolam susu" yang ternyata berisi tentang kekayaan alam Indonesia, mereka menciptakan lagu hanya karena melihat fenomena sosial yang terjadi. Apabila melihat lirik-lirik lagu zaman sekarang yang lebih banyak bercerita tentang percintaan. Lagu-lagu mereka lebih memiliki nilai yang sangat edukatif.
" Kemerdekaan tanpa roh = patung ..." itu adalah ungkapan singkat beliau yang beberapa kali beliau ulang dengan nada penekanan. Beliau kembali mengungkapkan pandangan beliau terhadap pemerintahan bangsa ini. Betapa mirisnya, di usianya yang semakin senja itu, beliau masih bisa menaruh prihatin terhadap bangsa kita yang apa-apa "diwakili oleh wakil rakyat..."begitu kata beliau. "Rakyatnya miskin, mau makan, mau berobat, mau sekolah ... kan sudah diwakili ..." secara spontan saya langsung tertawa lepas. Apa yang beliau ungkapkan betul-betul membuat saya semakin yakin group musik ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang sangat luhur. "Kalau kita bertemu teman-teman kita, sering kita bertanya : makan apa tadi? coba lihat orang di jalanan sana, mereka bukan bertanya itu, tapi : makan apa kita besok? ..." Ungkapan beliau tersebut, sangat menampar saya. Apa yang beliau ucapkan memang sering kali tidak kita perhatikan. Dengan seenaknya kita sharing apa yang barusan kita santap, menu apa yang mau kita santap, padahal diluar sana, banyak orang yang berpikir keras "mau makan apa mereka hari ini, besok, lusa?". Sesaat saya terdiam, kembali beliau mengeluarkan kalimat yang sangat aneh awalnya, penuh dengan filosofi, namun ternyata sangat mengena "TANPA ROH TIDAK ADA KEMERDEKAAN, KEMERDEKAAN TANPA ROH = PATUNG ...". Bayangkan kalimat pedas ini, keluar dari beliau langsung. Saya yang masih bingung apa makna kalimat tersebut akhirnya menemukan, bahwa yang mereka inginkan hanyalah menanamkan rasa memiliki, rasa mencintai negri ini. Coba selidiki lirik-lirik lagu mereka, terjemahkanlah. Dengan bahasa yang lembut, mereka mencoba menyampaikan fakta dan fenomena yang ada. "Kami ini sudah capek, lewat tulisan sudah , lewat lagu sudah, wahh sudah semua ...". Betapa malunya saya, di usia yang masih sangat muda, dengan semangat tinggi ingin menjadi seorang jurnalis, saya belum bisa mewujudkan atau menyampaikan pesan mendalam, bagi bangsa ini seperti yang mereka lakukan.
Pembicaraan semakin hangat, saat beliau mulai mengungkapkan dengan jujur misteri dibalik penangkapan mereka pada tahun '65. Semula mereka ditangkap karena dugaan pro imperialisme barat, hanya karena menyanyikan lagu-lagu The Beatles. Ternyata semua tragedi penangkapan itu menyimpan maksud tertentu. Tujuan pengakapan itu dibuat seolah-olah mereka kontra dengan pemerintah, padahal itu bertujuan untuk misi "Ganyang Malayasia", sebuah kata yang selalu diungkapkan di era Bung Karno. Namun, beliau hanya bercerita singkat. Tapi paling tidak saya bersyukur, ungkapan itu keluar langsung dari mulut beliau, tanpa skenario, tanpa pengarahan. Pertanyaan yang saya siapkan tidak perlu saya tanyakan. Semua beliau yang ungkapkan. Jujur, ini masih membuat saya sangat penasaran. Saya masih belum paham, apa kaitannya penangkapan tersebut dengan keberadaan mereka sebagai group musik saat itu? Semua saya biarkan sengaja tidak terjawab penuh, saya masih ingin menyimpan rasa penasaran saya, agar saya tertantang menemui beliau kembali. Meminta penjelasan, memenuhi adrenalin saya dalam mencari berita.