Role Model Para Guru
Saat ini siapapun yang mengaku berprofesi guru dapat menunjukkan eksistensinya. Dia bisa menampilkan imaji seorang guru ideal masa kini; penampilan jasmaninya yang menawan didukung oleh tren fashion terbaru, kemelekannya terhadap utilisasi teknologi yang terlihat dari fasihnya bercerita di depan kamera, kapasitas keilmuannya yang mumpuni, dan yang paling substantif yaitu kompetensi-kompetensinya dalam ilmu pedagogi. Tidak heran seorang guru masa kini bisa menjadi seorang pemengaruh atau istilah kekiniannya 'influencer' dengan berpuluh bahkan beratus ribu pengikut atau 'follower'. Masyarakat luas dapat mengambil manfaat dari kontribusi nyatanya berupa konten-konten digital yang akan selamanya melekat sebagai properti intelektualnya.
Saat ini seorang guru dapat menginspirasi, menggerakan, memengaruhi guru yang lain atau rekan seprofesinya bahkan hingga masyarakat luas.
Saya tidak mencoba menyederhanakan fenomena kemunculan para guru influencer, mengomentari apalagi mengritisinya. Saya berusaha meninjau lebih ke penyingkapan tirai di balik fenomena itu. Saya memilih bergerak ke belakang, mencoba menilik apa yang para guru influencer itu lakukan di balik layar sebelum keterpaparannya meluas di dunia maya.
Kemudian saya menemukan satu kata yaitu 'panutan.' Ya, guru-guru influencer itu tidak bisa hanya kita elu-elukan karena jumlah 'follower' nya yang masif, kredit terbesar tentunya diberikan kepada siapa yang justru 'diikuti' oleh sang guru influencer tersebut. Dalam bahasa asing kekinian saya menyebutnya 'role model'. Pertanyaannya, siapakah role model para guru ideal nan berkharisma itu?
Di benak dan hati seorang guru dengan pengaruh yang luas di dunia maya dan nyata, ada paradigma, pola pikir, dan filosofi dari tokoh-tokoh panutan yang ia tempatkan di posisi kehormatan yang teramat tinggi. Bisa jadi muncul nama-nama praktisi pendidikan dari barat, para filsuf masa lalu, atau guru-guru kehidupan. Namun sepanjang para guru influencer itu mengakui identitas nasionalismenya, maka ada satu nama panutan yang tak tergantikan yaitu sang bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan yang menghamba pada anak, pendidikan yang berkesesuaian dengan kodrat alam dan zaman anak, tuntunan dan pengajaran untuk keselamatan dan kebahagiaan anak, cipta-karya-karsa, dan yang paling fenomenal trilogi Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, adalah sekelumit kristalisasi pemikiran dan filosofi sang bapak pendidikan Indonesia.
Tidak dipungkiri, pemikiran-pemikiran beliau lah yang menjadi pilar pengokoh sekaligus landas-pijakan pendidikan di negeri tercinta ini.
Ironisnya, banyak di antara para guru Indonesia yang luput mengkaji filsafat pendidikannya secara utuh. Saya salah satunya.
Persepsi Awal Saya Tentang Murid dan Pembelajaran di Kelas
Saya bukanlah seorang guru pemengaruh yang saya paparkan ciri-cirinya di awal tulisan ini. Dan saya merasa kurang terberkati (tanpa mengurangi kesyukuran saya) karena terlambat mengkaji kembali buah pikiran sang panutan, sekalipun saya lulusan salah satu jurusan pendidikan, memegang lisensi mengajar, tersertifikasi sebagai pendidik, dan telah mengajar lebih dari satu dekade.
Sebelumnya saya memiliki persepsi yang 'nampak seolah modern' tentang murid dan pembelajaran di medan juang saya yaitu sebuah kompartmen 11 x 9 meter bernama kelas. Kemarin, saya memandang murid yang datang ke kelas saya telah memiliki jejaring pengetahuan dan pengalaman yang berkelindan dan kompleks, warna dan warni yang solid terlanjur melekat dan sulit dirubah. Maka, pembelajaran yang saya kelola harus memperhatikan keragaman itu. Maklum, saya mengajar murid yang rata-rata telah memiliki hak pilih dalam pemilu kemarin. :)
Tentu itu bukanlah hal yang salah. Kesadaran tentang keragaman karakteristik murid memang menjadikan saya terbiasa meragamkan proses pembelajaran. Yang kurang mengena adalah bagaimana keragaman karakteristik murid itu bisa terfasilitasi untuk menumbuhkan laku-laku positif yang universal (misalkan profil pelajar Pancasila). Dalam kalimat ilustratif; bagaimana misalkan saya 'menuntun' murid A yang introvert dengan kecerdasan spasial-matematisnya yang menonjol dan murid B yang ekstrovert dengan kecerdasan naturalis-linguistiknya yang dominan menjadi pribadi-pribadi yang pada satu sisi mandiri dan pada sisi yang lain bisa bergotong-royong untuk mencapai satu tujuan pembelajaran spesifik.
Asalnya saya terkungkung oleh mindset, "Biarkan si introvert mencapai tujuan pembelajarannya dengan mandiri dan biarkan si ekstrovert mencapai tujuan pembelajarannya dengan bergotong-royong." Sepintas singkat, mindset itu memang menyiratkan kemerdekaan. Dan tidak ada yang salah dengan hal itu.
Akan tetapi hari ini, setelah saya mengkaji kembali pemikiran-pemikiran sang bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, saya merasakan gambaran dunia masa depan yang tidak adil bagi si murid A dan si murid B. Bagaimana jadinya jika di dunia yang sebenarnya (dunia kerja), si A yang introvert dituntut untuk bisa berkolaborasi dan si B yang ekstrovert dituntut untuk bisa mengandalkan kemampuan dirinya sendiri?
Pendidikan sejati menurut Ki Hadjar Dewantara adalah untuk menebalkan 'laku' anak. Betul, anak-anak didik kita telah memiliki corak warna, namun itu masihlah samar. Dengan pendidikan dan tuntunan (pengajaran) yang baik lah seorang guru dapat menebalkan karakter-karakter yang berdasar pada kebajikan universal. Dengan pendidikan yang semestinya, sembari seorang guru menebalkan corak samar positif anak, dia juga bisa menimpa/mengganti corak samar negatif anak dengan corak positif yang lain. Mungkin tidak ada anak yang memiliki semua laku positif yang sama kuatnya, tapi setidaknya lebih banyak laku dan karakter positif yang akan tersentuh, teraktivasi, dan terlatih. Sehingga pada akhirnya, sang anak bisa bertahan dan menang menghadapi tantangan dunianya, menjadikannya selamat dan bahagia sebagaimana tujuan pendidikan yang di-visi-kan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Apa yang Berubah pada Diri Saya
Saya memvisualisasikan masa depan anak-anak didik saya, dunia yang menantinya, dan tantangan-tantangannya. Akan ada anak yang menjadi pemimpin politik, menjadi pelayan masyarakat, menjadi seniman kreatif, menjadi pengusaha, dan lain-lain. Semuanya memiliki premis yang sama. Untuk menjadi insan individu dan insan sosial yang bahagia (tidak hanya sekedar untuk bisa bertahan hidup) di dunia nyata, anak-anak didik saya tidak hanya harus memiliki skill set yang lengkap tapi yang terpenting harus memiliki profil/karakter/budi pekerti yang relevan dengan zamannya. Itulah yang menjadi visi saya sebagai seorang guru setelah berkenalan akrab dengan pemikiran-pemikiran seorang Ki Hadjar Dewantara.
Rencana Implementasi Pemikiran Sang Panutan
Saya mengajar pelajaran salah satu bahasa asing. Saya cukup terbuka dengan mindset bahwa mempelajari sebuah bahasa tidak terlepas dari berkenalan dengan budaya. Bahasa memang salah satu produk budaya sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.
Namun ada semacam kekhawatiran jika saya lebih banyak mengajak anak didik saya untuk berkutat dengan budaya asing tersebut dan mengesampingkan nilai-nilai luhur budaya asal anak yang merupakan bagian dari kodrat alamnya, apalagi disrupsi informasi datang dengan begitu gencarnya pada saat ini.
Saya berencana 'menempatkan' bahan ajar, metode, dan pendekatan yang saya bawa di dalam konteks kebudayaan lokal. Jika pun tidak seideal yang saya harapkan, setidaknya saya bisa menanamkan kesadaran pentingnya memiliki kemampuan berbahasa asing sebagai seorang Sunda, Jawa, Minang, dll. Jika anak-anak saya tuntun untuk mempelajari ungkapan-ungkapan keramahan dalam aktivitas bersosial dengan menggunakan bahasa asing, alih-alih menggunakan setting 'luar negeri' (seperti kebanyakan tertera di buku teks), mereka dapat menonjolkan jati diri dan mempromosikan nilai-nilai budayanya. Saya menyadari bahwa bahasa, apapun itu, adalah jembatan, bukan penghalang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H