Mohon tunggu...
Johan Purnama
Johan Purnama Mohon Tunggu... -

Deputy Director AIFIS-Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

CSR, Pemberdayaankah?

11 Juni 2014   18:35 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:13 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang penerapan CSR diantaranya seperti Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal) serta Peraturan Pelaksana No. 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Menurut Pasal 1 angka 3 UUPT, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Lalu bagaimana pelaksanaannyadi lapangan ?, banyak tafsir atas peraturan ini, yang paling sederhana adalah prinsip “Membangun pagar piring” untuk mengamankan aset perusahaan dari konflik dan kecemburuan sosial, pendekatan yang dilakukan biasanya adalah bertindak sebagai “sinterklas”, sehingga tuntutan “pembangunan ekonomi yang berkelanjutan” tidak terpenuhi dan menguatkan pola pikir bahwa “perusahaan adalah ATM bersama”. Ada juga implementasi CSR yang searah dengan produk sehingga kegiatan CSR cenderung seperti kegiatan iklan untuk produk, tapi dibungkus dengan embel-embel bakti sosial dan sebangsanya, di beberapa jenis usaha yang berpotensi menimbulkan konflik kepemilikan lahan, CSR diarahkan untuk meredam konflik yang akan timbul.  Apakah dana CSR yang disumbangkan dalam bentuk bangku taman, pembangunan jalan, dan lain-lain kepada pemerintah adalah pemberdayaan ?. Saya juga tidak tahu, wong di atas sudah saya sebut “multi tafsir”.  Beberapa tahun yang lalu seorang menteri memang pernah meminta agar dana CSR dikelola oleh pemerintah saja dengan alasan supaya lebih terarah, pertanyaan saya adalah “terus apa bedanya dengan pajak?”, lebih baik tidak usah ada Undang-Undang CSR, pajaknya saja diperbesar dan benar-benar gunakan untuk tuntutan “pembangunan ekonomi yang berkelanjutan”. Tentunya jaminan keamanan penggunaan pajak ini harus benar-benar solid dengan tuntutan hukuman mati dan dimiskinkan tujuh turunan bagi para koruptor yang biasanya cengengesan di televisi.

Pelaku pemberdayaan sangat memahami makna kata-kata kunci “sustainibilitas dalam pembangunan ekonomi (masyarakat?)”, dan bagaimana cara melakukan pendekatan ke arah ini, walaupun memang hingga saat ini tidak ada satu metodologipun yang mampu menjamin sustainibilitas ini, sehingga pengalaman dan keahliannya sangat diperlukan dalam implementasi CSR yang berkualitas. Implementasi kegiatan CSR sebenarnya hanya sebagian kecil dari program kerja pelaku pemberdayaan profesional, kebanyakan mereka sudah memiliki jalur-jalur pendanaan dari lembaga-lembaga filantrofi, atau mereka melakukan “fund raising” sendiri. Hal ini sebenarnya untuk menjaga “independensi” dan “akuntabilitas” dari pelaku pemberdaya itu sendiri, memang tidak dapat dipungkiri bahwa pada akhirnya CSR adalah menjadi “etalase filantrofi” untuk memamerkan “kesalehan sosial” pelaku usaha.

Apakah kegiatan CSR dapat dijadikan parameter adanya eksploitasi pada masyarakat sekitar?,  rasanya kok tidak seperti itu. Sehebat-hebat perusahaan pasti akan mempunyai batas kemampuan dalam hal berbagi keuntungan dengan masyarakat sekitarnya, kembali kepada pendapat Bung Karno pada 1928 “Bahwa penjajahan itu semata-mata adalah masalah bisnis”, dan memang cara pendekatan ekonomi kapitalis yang sekarang dipelajari dengan tekun oleh anak-anak kita dasarnya adalah eksploitasi untuk mendapatkan angka B/C ratio, IRR dan BEP yang baik, kalau begitu seharusnya memang kita harus kembali kepada “Ekonomi Kerakyatan Bung Hatta”, dan saya jamin tidak diperlukan lagi adanya CSR dan semua pelaku pemberdaya masyarakat akan segera pensiun dini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun