foto : posronda.net
Tidak dapat dipungkiri bahwa Megawati adalah sosok guru bagi Jokowi. Setidaknya Jokowi sendiri pernah mengakui bahwa Mega adalah guru politik baginya. Hubungan Mega Jokowi sepertinya juga sangat spesial melebihi hubungan seorang guru dan murid. Jokowi terlihat begitu patuh dan taat kepada mantan Presiden RI yang juga anak Proklamator itu.
Di samping sebagai kader PDIP yang loyal, Jokowi pun pasti sadar bahwa karier politiknya di pemerintahan tentu tak lepas dari peran dan jasa seorang Mega. Jabatan Walikota Solo, Gubernur DKI dan sekarang Presiden RI pasti susah didapat bila Mega tidak berkenan merestui. Popularitas Jokowi memang moncer di tangan media tapi tanpa restu Mega, bisa jadi Jokowi bukanlah siapa-siapa.
Saat Megawati resmi mendeklarasikan Gubernur DKI itu sebagai capres dari PDIP, banyak yang terharu bahkan terenyuh akan sikap kenegarawanan Mega. Bahwa Megawati bisa mengesampingkan ambisi politiknya untuk kembali berkuasa. Bahwa Mega rela menyerahkan jabatan kepala negara kepada sosok yang bukan keturunan biologis dari Soekarno.
Benarkah demikian?
Megawati pasti sadar bahwa peluangnya untuk kembali berkuasa hanya ada pada Jokowi. Tidak ada tokoh internal partai yang bisa menandingi popularitas wong Solo itu, termasuk juga dirinya sendiri. PDIP boleh berkuasa di pemilu legislatif tapi untuk posisi presiden mereka adalah pecundang. Sampai akhirnya Mega menemukan Jokowi yang begitu dimanja oleh media.
Dengan prestasi kerja yang biasa-biasa saja tapi merasa bisa bekerja ditopang pula popularitas yang begitu mendunia, Jokowi adalah orang yang tepat bagi Mega untuk kembali berkuasa. Jokowi juga tidak punya track record berani melawan Mega. Malah sering kelihatan runtang-runtung bersama Mega saat masih menjabat Gubernur Jakarta. Bukankah publik pernah memergoki keduanya ziarah ke Blitar saat masih jam kerja.
Jadi jangan heran bila Megawati menganggap Jokowi hanya sebagai petugas partai belaka. Petugas partai yang kebetulan jadi kepala negara. Namanya juga petugas, tentu identik dengan pegawai atau pesuruh. Jokowi boleh jadi Presiden, tapi big boss-nya tetaplah Mega.
Bila Mega memang negarawan sejati, seharusnya dia bisa memberikan kekuasaan penuh kepada Jokowi untuk menyusun kabinet tanpa ada intervensi. Naiknya Puan Maharani sebagai menteri adalah bukti bahwa dukungan Megawati ternyata tidak tulus sama sekali.
Kekhawatiran publik bahwa Jokowi tak lebih sekedar presiden boneka pun akhirnya terbukti. Rakyat selama ini tersihir oleh magnet Jokowi yang kata Mega berbadan kerempeng tapi bertenaga banteng itu.
Jokowi memang kuat sekali mampu mengangkat karung pasir bersama TNI menambal tanggul kali, tapi apakah dia mampu menambal seluruh kebocoran tidak hanya kali saja, tapi juga anggaran negara? Menutup lubang kali yang bocor cukuplah tugas para kuli, tapi menghentikan korupsi negara jelas diperlukan presiden yang berani, tegas, tidak mau diintervensi dan yang jelas punya nyali.
Itu yang tidak dimiliki Jokowi hingga Mega mudah mendiktenya dengan mengusulkan nama Budi Gunawan sebagai calon kapolri yang baru. Mega seolah mengajarkan kepada Jokowi tentang pelajaran dasar di sekolah dulu bahwa hanya ada nama Budi yang perlu untuk dibaca, diingat, dan dihafalkan. Bukan nama Joko, Bambang apalagi Tejo. Terserah itu bapaknya, ibunya, pakleknya, atau bahkan mbahnya sekalipun semuanya harus ada nama Budinya.
Bahkan bila si Budi ini sudah jadi tersangka sekalipun wajib hukumnya untuk tetap mengeja namanya dengan baik dan benar. Gambaran ini relevan mengingat begitu ngototnya Megawati dan koalisinya menekan Jokowi agar segera melantik Budi Gunawan.
Pelajaran inilah yang sekarang membuat Jokowi pusing tujuh keliling. Tepok jidat berkali-kali juga tidak akan hilang bila nama Budi Gunawan masih juga dalam genggaman Mega.
Presiden Jokowi bisa saja mengelak bahwa nama Komjen Budi bukan murni usulan darinya tapi bukankah sebagai presiden dia punya kekuasaan untuk menolaknya. Kalau tidak bisa menolak seorang tersangka jadi pejabat negara, lantas buat apa Jokowi tinggal di istana. Lebih cocok bila jadi boneka pajangan Mega di rumahnya. Menolak seorang tersangka cukuplah akal sehat yang bicara.
Dengan akal sehatnya Jokowi harusnya bisa melewati ini semua. Mau mengikuti tekanan Mega atau arus besar rakyat yang berdiri di belakang KPK. Kepatuhan Jokowi kepada Mega seharusnya tidak menghancurkan hati nuraninya hingga berani melantik seorang tersangka.
Yang jelas Presiden Jokowi pasti punya niat baik membangun negara ini. Cara dia blusukan, memikul karung pasir, masuk got, menyapa rakyatnya dengan senyum menunjukkan bahwa niat baik itu pasti ada meskipun sebagai presiden seharusnya dia bisa melakukan lebih hebat dari itu semua. Indonesia hebat, presidennya pasti juga hebat.
Menarik nama Budi Gunawan adalah salah satu dari pekerjaan hebat itu. Menarik nama Budi Gunawan menunjukkan bahwa Jokowi bisa lulus ujian meski jabatan presiden taruhannya. Sekarang baru nama Budi yang diajarkan oleh Mega, kelak nama itu bisa berkembang dan bertambah menjadi blok Mahakam atau gas Tangguh jilid berikutnya. Apalagi bila Paloh juga ikut-ikutan nimbrung bicara.
Sebagai rakyat tentu kita hormat kepada Ibu Megawati sebagai mantan Presiden RI yang juga putri Soekarno. Tapi melihat apa yang dia ajarkan kepada Jokowi soal pergantian kapolri ini tentu masyarakat sepakat menolaknya. Menjadikan seorang tersangka sebagai pimpinan lembaga hukum sebuah negara mungkin hanya orang gila yang bisa memahaminya. Hukum mungkin membolehkannya tapi ada etika yang menjadikan kita sebagai manusia yang berbudaya.
Belum terlambat juga bagi Presiden untuk merenung kembali bahwa dia adalah pemimpin rakyat bukan pemimpin partai atau golongan. Rasa-rasanya tidak perlu diingatkan kepada Presiden bahwa sejak ia resmi dilantik sebagai kepala negara maka tanggallah baju partai dan golongannya.
Semoga Presiden Jokowi juga cepat belajar bahwa di samping pelajaran dasar membaca ”Ini Budi” itu, ada nama nama lain di dunia ini yang begitu indah. Nama-nama yang merupakan perwujudan dari nilai kejujuran, ketegasan, keikhlasan, dan berani bersikap secara mandiri.... Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H