Mohon tunggu...
JLS and Partners
JLS and Partners Mohon Tunggu... Pengacara - Kantor Hukum

Bergerak di Bidang Kekayaan Intelektual dan Litigasi pada umumnya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Patologi Birokrasi, Tembok Waktu pada Peninjauan Kembali Pidana

6 Maret 2022   14:44 Diperbarui: 6 Maret 2022   22:54 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Patologi Birokrasi atau bahasa lain dari penyakit birokrasi merupakan penyakit yang sering dirasakan oleh masyarakat umum. penyakit ini merupakan sebutan untuk mekanisme pemerintah yang secara administrasi mengalami maladministrasi atau disfungsi (Smith, 1988). 

Disfungsi mengindikasikan adanya suatu kesalahan sistem maupun peraturan yang sifatnya non-organik. Sementara, maladministrasi mengacu pada karakter dari aparatur birokrasi itu sendiri seperti pribadi yang korup, arogan, tidak sensitif, bias dan teledor.

Pengadilan yang memiliki unsur administrasi sejatinya tidak luput dari penyakit birokrasi itu sendiri. Layaknya proses Peninjauan Kembali (PK) yang diatur dalam Pasal 263 Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

PK memberikan keluwesan terhadap terdakwa untuk mencari keadilan bagi dirinya terutama dalam mencari kepastian hukum. Dalam perkara pidana waktu merupakan faktor krusial.

Hukum pidana tidak akan terlepas dari Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model (DPM). Keduanya membutuhkan diskursus yang lebih mendalam dan tidak memiliki bentuk kemutlakan didalamnya. 

Akan tetapi, jika kita melihat pada praktiknya Indonesia lebih memiliki kecondongan terhadap CCM dikarenakan penekanannya adalah efektifitas terhadap peradilan pidana dan pengurangan angka kriminal.

DPM sebagai polar yang berbeda menekankan seluruh hak dari terdakwa dipertahankan dan lebih diutamakan dibandingkan proses peradilan itu sendiri. Terhitung tahun 2021 terdapat 147.624 jumlah kasus pidana yang ditangani oleh kejaksaan seluruh Indonesia. Sewajarnya peradilan pidana lebih memiliki kecondongan terhadap efektifitas. 

Tetapi perlu juga diingat pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir karena memiliki penderitaan yang istimewa, melepas kemerdekaan seorang individu. 

Oleh karena itu, setiap kasusnya harus benar-benar diperhatikan keadilan dan kepastian hukumnya. Jika lalai dalam keadilan dan kepastian hukum, dapat mengakibatkan mendekamnya orang yang sejatinya tidak bersalah. Layaknya pribahasa yang cukup dikenal, 

"That it is better 100 guilty Persons should escape than that one innocent Person should suffer" (Bahwa lebih baik membebaskan 100 Orang yang bersalah daripada satu Orang yang tidak bersalah harus menderita) 

Penggabungan CCM dan penyakit birokrasi dapat merontokan keadilan dan kepastian hukum di peradilan pidana Indonesia. Seperti salah satu perkara aktif yang terdampak penyakit birokrasi adalah perkara dengan nomor registrasi No.Reg : 506 PK/Pid.Sus/2021. Perkara tersebut mengalami ekstensi waktu penyuratan yang tidak wajar yaitu 9 bulan. Dimana tidak sesuai dengan KUHAP dan Pedoman Teknis Administrasi Peradilan Pidana. 

PK itu sendiri bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan menegakkan keadilan untuk terdakwa yang sudah diputus bersalah dan mendapatkan hukuman. Sehingga dari sini kita dapat mengambil asumsi yang mendasar, jika seseorang yang ternyata pada PK kemudia terbukti bahwa dirinya tidak bersalah dan diputus bebas. 

Apa akibat dalam kehidupan dari mantan narapidana yang tidak bersalah ini? Bagaimana jika sebenarnya pembuktian tersebut dapat dipercepat, tetapi terhalau clerical error dan penyakit birokrasi yang terjadi di peradilan pidana. Kembali perlu diingat peradilan pidana tidak sama dengan perdata. Terdapat efek dan akibat yang sangat merugikan dari narapidana yang bersalah.

Daftar Pustaka

Ismail, H.M. 2009, Politisasi Birokrasi, Malang: Ash-Shiddiqy Press.

Bambang Noroyono. "Kejakgung Tangani 147.624 Perkara Selama 2021". https://www.republika.co.id/berita/r510yr485/kejakgung-tangani-147624-perkara-selama-2021. Diakses 6 Maret 2022.

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus. Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008.

Mertha, Ketut. EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA. Unud University Press. 

Rahmawati, Nur Ainiyah. "HUKUM PIDANA INDONESIA: ULTIMUM REMEDIUM ATAU PRIMUM REMEDIUM". Recidive Vol. 2 No. 1 Januari - April 2013. Hlm. 39-44.

John Graffithst, "Ideology in Criminal" (The Yale Law Journal Volume 79 Number 3 Januari 1970)

UNODC,  Country Programme for Indonesia (2017-2020) , Indonesia: 2017. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun