Penggabungan CCM dan penyakit birokrasi dapat merontokan keadilan dan kepastian hukum di peradilan pidana Indonesia. Seperti salah satu perkara aktif yang terdampak penyakit birokrasi adalah perkara dengan nomor registrasi No.Reg : 506 PK/Pid.Sus/2021. Perkara tersebut mengalami ekstensi waktu penyuratan yang tidak wajar yaitu 9 bulan. Dimana tidak sesuai dengan KUHAP dan Pedoman Teknis Administrasi Peradilan Pidana.Â
PK itu sendiri bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan menegakkan keadilan untuk terdakwa yang sudah diputus bersalah dan mendapatkan hukuman. Sehingga dari sini kita dapat mengambil asumsi yang mendasar, jika seseorang yang ternyata pada PK kemudia terbukti bahwa dirinya tidak bersalah dan diputus bebas.Â
Apa akibat dalam kehidupan dari mantan narapidana yang tidak bersalah ini? Bagaimana jika sebenarnya pembuktian tersebut dapat dipercepat, tetapi terhalau clerical error dan penyakit birokrasi yang terjadi di peradilan pidana. Kembali perlu diingat peradilan pidana tidak sama dengan perdata. Terdapat efek dan akibat yang sangat merugikan dari narapidana yang bersalah.
Daftar Pustaka
Ismail, H.M. 2009, Politisasi Birokrasi, Malang: Ash-Shiddiqy Press.
Bambang Noroyono. "Kejakgung Tangani 147.624 Perkara Selama 2021". https://www.republika.co.id/berita/r510yr485/kejakgung-tangani-147624-perkara-selama-2021. Diakses 6 Maret 2022.
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus. Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008.
Mertha, Ketut. EFEK JERA, PEMISKINAN KORUPTOR, DAN SANKSI PIDANA. Unud University Press.Â
Rahmawati, Nur Ainiyah. "HUKUM PIDANA INDONESIA: ULTIMUM REMEDIUM ATAU PRIMUM REMEDIUM". Recidive Vol. 2 No. 1 Januari - April 2013. Hlm. 39-44.
John Graffithst, "Ideology in Criminal" (The Yale Law Journal Volume 79 Number 3 Januari 1970)
UNODC, Â Country Programme for Indonesia (2017-2020) , Indonesia: 2017.Â