Dalam tulisan Irfani (2019) di halaman tirto.id, seorang psikolog yang bernama Jane Cindy Linardi menerangkan bahwa ada dua hal yang menyebabkan mengapa anak-anak ikut hadir menonton Joker di layar lebar.Â
Pertama oleh sebab tidak ada yang menjaga anak di rumah ketika orang tua meninggalkannya untuk menonton di bioskop.Â
Hal kedua adalah kemungkinan orang tua kurang waspada terhadap dampak yang akan diterima oleh anak ketika ikut menonton film-film yang mengandung unsur dewasa termasuk unsur kekerasan.Â
Sebuah lembaga pengawas media yang bermarkas di California yang bernama Parents Television Council tidak lupa ikut bersuara dan memberi saran kepada orang tua agar tidak terbawa narasi "Joker sebagai franchise dari film Batman", kemudian berpikir bahwa film tersebut aman-aman saja untuk disimak oleh anak-anak.
Sementara itu, selaku pemegang hak dalam mendistibusikan film Joker, Warner Bros menolak ungkapan yang mengatakan bahwa mereka membantu dalam penyebaran kekerasan di dunia nyata.
Pada tahun 1963, sebuah penelitian dengan topik 'Imitation of Film-Mediated Aggressive Models' yang dipelopori oleh Albert Bandura, Dorothea Ross, dan Sheila Ross telah dipublikasikan oleh The Journal of Abnormal and Social Psychology.Â
Pada penelitian tersebut, anak-anak prasekolah disuguhkan sebuah video tentang orang dewasa yang sedang bermain boneka tiup. Orang dewasa yang berada di dalam video tersebut sedang menduduki boneka kemudian meninjunya dan menendang berulang kali, serta memukul bagian kepala bonekanya dengan sebuah palu.Â
Seusai menonton video tersebut, anak-anak yang dijadikan subjek penelitian dibawa ke suatu ruangan bermain yang di dalamnya terdapat boneka tiup yang mirip dengan yang ada di dalam video.Â
Serupa dengan pemikiran para peneliti, anak-anak itu meniru tindakan yang brutal seperti orang dewasa yang berada di video. Lebih lagi, mereka mengolah cara yang baru untuk menghajar boneka-boneka yang ada di ruangan tersebut bahkan disertai dengan perilaku yang lebih agresif saat bermain (Irfani, 2019).
Seiring berjalannya waktu, kini wilayah permainan dan hiburan anak-anak menjadi lebih luas dan lebih interaktif dengan adanya internet.Â
Sebuah artikel yang bertajuk 'Watching Violence on Screens Makes Children Emotionally Distressed' seorang peneliti yang bernama Caroline Fitzpatrick dari Universit Sainte-Anne, Kanada, yang disiarkan di The Conversation menarasikan bahwa sebuah tontonan yang penuh dengan adegan kekerasan yang kemudian diperlihatkan kepada anak-anak akan menyebabkan mereka menjadi susah dalam bergaul, manipulatif, dan tidak peka terhadap sekitar.Â