Mohon tunggu...
1125yAD
1125yAD Mohon Tunggu... mahasiswa -

menulis sebagai refleksi atas kebaikan hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kaum LGBT Juga Manusia

31 Januari 2018   16:00 Diperbarui: 31 Januari 2018   19:12 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: viva.co.id

Kembali mencuatnya isu tentang Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) akhir -- akhir ini mengundang sejumlah ragam pendapat bahkan cenderung menuai polemik di berbagai kalangan. Sebagian pihak berpendapat hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari adanya globalisasi pemikiran tentang sebuah peneguhan atas Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang gemanya digaungkan di dunia Barat. Namun ada yang menduga bahwa wacana tersebut adalah sebagai bagian dari komoditas politik yang "seksi" untuk diperjualbelikan dalam rangka meraup suara di tahun politik ini. Akibatnya hak konstitusional dari kaum LGBT dipertaruhkan dalam tarik ulur kepentingan politik.

Sejatinya regulasi yang mengatur tentang kaum LGBT sebagaimana diatur dalam Kitab Undang -- Undang Hukum Pidana (KUHP) secara jelas menyatakan bahwa kaum tersebut tidak dapat dikriminalisasikan atau dipidanakan selama tidak melakukan perbuatan menyimpang atau perbuatan yang secara spesifik diatur dalam peraturan perundang -- undangan yang berlaku seperti tentang perlindungan anak, kesusilaan, pornografi, pelacuran, dan kejahatan pemerkosaan.

 Adapun dalam RUU KUHP yang sampai saat ini masih digodok di DPR terdapat beberapa pengaturan yang juga menyangkut tentang perbuatan menyimpang seksual yang dapat dipenalisasikan, diantaranya yaitu dalam pasal 292 RUU KUHP yang intinya bahwa perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidanakan. Akan tetapi yang patut digarisbawahi dari uraian tersebut adalah tidak ada satupun hukum positif di Negara Indonesia ini yang dapat menghukum kaum LGBT sebagai individu warga negara sebagaimana layaknya warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang  harus dilindungi.Dalam ranah yang lain muncul pula perdebatan apakah perilaku LGBT tersebut merupakan sejenis penyakit disorientasi seksual atau malah sebagai ekspresi seksual alamiah yang dapat dikatakan dalam rumusan "taken for granted" atau sebuah pemberian Ilahi yang tidak dapat diubah? 

Menurut  Dr Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ(K) selaku ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyebutkan bahwa LGBT masuk kategori Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Sedangkan berdasarkan penuturan dari Saul M Levin selaku direktur dari Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat (APA) menjelaskan bahwa posisi PDSKJI yang mengategorikan homoseksualitas sebagai masalah kejiwaan merupakan pelabelan yang salah dan telah dibantah oleh sejumlah bukti-bukti ilmiah. Beliau menambahkan ada komponen biologis yang kuat pada orientasi seksual dan itu bisa dipengaruhi interaksi genetik, hormon, dan faktor-faktor lingkungan. Singkatnya, tiada bukti saintifik bahwa orientasi seksual, apakah itu heteroseksual, homoseksual, atau lainnya, adalah suatu kehendak bebas.

Munculnya gerakan LGBT pertama kali ditandai dengan berdirinya sebuah organisasi yang memperjuangkan hak-hak kaum homoseksual yang bernama Wissenschsftlich-Humanitares Komitee disingkat WhK (Scientific-Humanitarian Committee) di Jerman pada tahun 1897. Dimana gerakan tersebut hadir dengan membawa beberapa  tuntutan yakni kesetaraan gender antara laki -- laki dan perempuan di segala bidang dan rasionalisasi perilaku seksual yang dalam konstruksi masyarakat pada waktu itu dianggap tidak normal. 

Adapun untuk di Indonesia gerakan tersebut mulai menancapkan taringnya sejak akhir tahun 1960, yaitu dengan munculnya organisasi waria Himpunan Wadam Jakarta (Hiwad) yang kala itu mendapat dukungan dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.Laporan Kementerian Kesehatan yang dikutip dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional mengungkap jumlah Lelaki berhubungan Seks dengan Lelaki (LSL) pada tahun 2012 berjumlah 1.095.970 dan Sampai akhir 2013 terdapat dua jaringan nasional organisasi LGBT yang menaungi 119 organisasi di 28 provinsi. pertama, yakni Jaringan Gay, Waria, dan Laki-Laki yang Berhubungan Seks dengan Laki laki Lain Indonesia (GWLINA) dan jaringan kedua, yaitu Forum LGBTIQ Indonesia.Tidak bisa dinafikan bahwasanya masyarakat Indonesia adalah sebuah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi landasan moral dan etika dalam kehidupan kesehariannya. 

Negara Indonesia pun dengan tegas dalam sila yang pertama mengejawentahkan konsepsi religiusitas tatanan kehidupan berbangsa dan bernegaranya dalam rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa". Maka sebuah keniscayaan apabila segala perbuatan dan aktivitas yang menciderai semangat tersebut harus dibumihanguskan tanpa ampun. 

Dalam konteks perbuatan menyimpang seksual kaum LGBT memang tidak ada masyarakat maupun ajaran agama yang hidup di Indonesia menolerir perbuatan tersebut tetapi apakah  lantas hal tersebut berlaku juga bagi manusia yang menyandang gelar tersebut akan tetapi tidak menjalani aktivitas yang menyimpang layaknya seorang manusia yang memiliki standar moralitas dan perasaan kasih sayang dalam dirinya? Bukankah dalam sila ke 2 Pancasila menjelaskan kepada kita tentang pentingnya memperlakukan sesama manusia dalam spirit berkeadaban? Dan kaum LGBT pun adalah sekelompok manusia yang jelas layak masuk dalam kategori tersebut?

Dalam konteks kekinian kaum LGBT hidup dalam tembok stigmatisasi dan kungkungan diskriminasi yang setiap saat menjadikannya sebagai kaum yang hak -- hak nya sebagai warga negara dimarginalisasikan. Konsep kesataraan gender dan perlakuan hidup yang  layak yang termaktub dengan indah di dalam Konstitusi Indonesia bagi kaum LGBT adalah seperti mimpi indah di siang bolong atau konsep negara utopis yang jauh dari kenyataan. Dibutuhkan sebuah paradigma baru dalam konsep penghargaan atas HAM di Indonesia untuk melihat permasalahan yang menciderai kaum LGBT ini.

Persoalan Minoritas

Dikotomi mayoritas dan minoritas yang dewasa ini semakin tajam keberadaannya sedikit banyak telah berkontribusi terhadap tersudutnya kaum LGBT dalam lalu lintas pergaulan di masyarakat. Kaum LGBT sebagai sekelompok kecil masyarakat yang dianggap memiliki kecenderungan seksual yang tidak normal seringkali diperlakukan tidak manusiawi baik secara fisik maupun psikis yang dibuktikan dengan banyaknya lontaran verbal di jagad media sosial yang bersifat merendahkan martabat kaum LGBT maupun banyaknya kaum LGBT yang ditolak untuk sekedar mencari pekerjaan. 

Negara Indonesia yang sudah berumur 20 tahun atau sudah beranjak remaja dalam berdemokrasi ternyata tidak berbanding lurus dengan mentalitas dan cara berpikir masyarakatnya. Dimana sebagian masyarakat Indonesia masih terjebak dalam kotak -- kotak superioritas vis a vis inferioritas. Paham demokrasi yang berdiri di atas pondasi penghargaan terhadap martabat kemanusiaan memang membutuhkan waktu yang tidak sedikit dalam pengaplikasiannya. 

Namun bukan berarti menegasikan usaha untuk mewujudkannya. Ruang demokrasi harus menjadi panggung dialektika ekspresi dalam kontestasi gagasan yang memandang entitas manusia bukan sekadar kenormalan aktivitasnya melainkan sebagai wujud dalam kerangka kompleksitas kecenderungan gerak laku dan pikir.

Dibutuhkan sinergi dari seluruh elemen bangsa dalam menuntaskan permasalahan LGBT ini. Pemerintah selaku pihak yang memiliki otoritas dalam pembuatan produk kebijakan dituntut untuk mempertimbangkan aspirasi kaum tersebut agar dapat menghirup udara kebebasan sebagaimana yang didapatkan oleh orang normal lainnya. 

Hal tersebut dapat dimulai dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak dan kewajibannya untuk dapat menikmati berbagai pelayanan publik dan tidak melarangnya dalam menyelenggarakan berbagai aktivitas keilmiahan maupun kegiatan lainnya selama tidak mengandung unsur propaganda dan mengganggu kondusivitas masyarakat.Kepada masyarakat yang notabene menjadi lingkungan pergaulan dan ruang interaksi sosial dimana kaum LGBT menjadi bagian darinya seyogyanya merombak segala prasangka dan pelabelan negatif untuk selanjutnya mengkonversikannya menjadi sikap kepedulian dan penghargaan yang didasarkan pada tali solidaritas sesama manusia.

Kerja sama dari kedua komponen tersebut tidak akan mencapai hasil yang diharapkan apabila kaum LGBT sendiri menutup diri dalam sekat eksklusifitas yang alih -- alih akan mencairkan hubungannya dalam relasi kenegaraan dan kemasyarakatan akan tetapi malah semakin memperlebar jurang pertentangan dalam bingkai kemanusiaan. Kaum LGBT harus dengan legowo membuka diri untuk terlibat dalam dialog sesama warga negara lainnya maupun pihak pemerintah supaya retakan -- retakan sosial yang selama ini menjadi penghambat komunikasi dan menimbulkan kesalingcurigaan diantara kedua belah pihak tersebut dapat dirajut kembali dalam semangat persaudaraan. 

Negara Indonesia sebagai Bangsa yang pernah menjalani masa kelam dalam dekade penjajahan yang menghasilkan ketertindasan dan kejatuhan kehormatan diri tentunya tidak akan mengulangi lagi episode tersebut dalam memperlakukan kaum LGBT sebagai manusia yang terpinggirkan. Akan tetapi sejarah tersebut dapat diubah dalam kenangan indah tentang sebuah pengakuan akan kemerdekaan diri dan terhormatnya memperlakukan setiap warga negaranya tanpa terkecuali dengan mendasarkan pada nilai -- nilai luhur kemanusiaan. 

Akhirnya sepenggal kalimat Frederic Bastiat dalam bukunya "The Law" kiranya tepat untuk menjadi penutup dari tulisan sederhana ini. Bahwa "Anugerah Tuhan kepada kita sama seperti anugerah Tuhan kepada setiap orang lain. Anugerah ini adalah hidup -- hidup dalam arti fisik, intelektual dan moral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun