Negara Indonesia merupakan sebuah bangunan bangsa yang didirikan di atas fundamen dasar negara yang bernama Pancasila. Dan hal itu merupakan sebuah konsensus dan masterpiece dari para Founding Fathersyang sudah final dan tidak usah diperdebatkan lagi. Mengapa dulu beliau semua yg dengan tenaga dan pikirannya terforsir untuk merumuskan sebuah supremasi identitas negara tidak mengambil Islam sebagai landasan negara yg notabene adalah agama seluruh anggota perumus dokumen nan sakral tersebut? Karena Mereka adalah insan pilihan bangsa Indonesia yang mampu meretas masa depan bangsa Indonesia dalam bingkai semangat kerukunan dan persaudaraan dan meninggalkan ego sektoral yang dewasa ini mencengkeram sebagian besar oknum di negeri ini yang menggadaikan nasionalisme demi memperebutkan singgasana kekuasaan. Maka yang menjadi pertanyaan, mengapa sekarang santer terdengar isu tentang ketidakfinalan NKRI dan Pancasila. Apakah yang menghembuskan isu tersebut telah mampu menyalip semangat kebangsaan para pendiri bangsa tersebut dan merasa jumawa dengan kapasitas intelektual dan spiritualnya?
Apakah Pancasila tidak sejalan dengan syariat Islam? Hello orang – orang yang merasa dirinya “cerdas dengan tumpahan kalimat retorika kebijaksanaan”, bukalah mata, hati dan pikiran kalian, sila yang mana yang tidak mencerminkan nilai – nilai keislaman? Bukankah kelima sila itu merupakan rangkuman dan pengejawentahan dari konsepsi rahmatan lil alamin ? Maka adakah dasar negara dari negara lain yang sehebat dan secanggih dari Pancasila yang tersusun dari kristalisasi nurani dan kombinasi ketajaman intelektualitas dengan spiritualitas yang membumi? Maka alangkah dangkal dan nonsense-nya pemikiran yang ingin menggantikan Pancasila dengan ideologi yang lain.
Terkait konteks HTI yang baru-baru ini di-“gebuk” pemerintah karena dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka saya ingin menguraikannya disini. Dimana saya ingin sedikit berbagi pengalaman tentang HTI yang juga dianggap menimbulkan benturan di kalangan masyarakat. Alkisah pada khotbah jum’at yang penuh dengan “kekhusu’kan” yang kebetulan pengkhotbahnya dari anggota HTI, maka tiba – tiba saya terperanjat dengan lontaran pernyataan bahwa jihad yang sekarang ditafsirkan oleh sebagian besar ulama yang berarti bersungguh – sungguh dalam melakukan sesuatu baik dalam bidang ilmu pengetahuan, pekerjaan dan seluruh dimensi kehidupan seorang yang beriman termasuk “perang” apabila kondisinya menghendaki, beliau (pengkhotbah) simpulkan adalah sesuatu penafsiran yang telah terkontaminasi racun liberalisme karena menurut beliau jihad adalah perjuangan fisik yang pada masa Rasulullah dimanifestasikan dalam peperang dengan kaum kafir yang dalam konteks sekarang dianologikan dengan perjuangan tanpa henti untuk memperjuangkan sistem Khilafah di Negeri Indonesia. Saya hanya mampu geleng – geleng kepala melihat pola pikir seperti itu. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa jihad terbesar dari seorang manusia ialah “perang melawan hawa nafsunya sendiri”? Mengapa pengkhotbah tersebut mereduksinya hanya sebatas perjuangan fisik yang dalam konteks negara Indonesia sekarang tidak relevan lagi? Maka secara tidak langsung ormas tersebut menyalahkan pandangan dari kebanyakan ulama di Indonesia yang notabene telah menekuni ilmu agama islam dengan berbagai cabangnya secara mendalam. Kemudian pada pernyataan selanjutnya ialah mereka (pemerintah) yang telah membubarkan HTI disamakan dengan orang-orang “kafir” barat yang anti dengan sistem Khilafah islam tegak di atas bumi ini. Bukankah yang setuju dengan pembubaran HTI bukan hanya di kalangan pemerintah saja melainkan juga ormas besar seperti Muhammadiyah dan NU? Maka kita bisa melihat ormas mana yang menggunkan ego sektoral dalam kegiatan “dakwah”-nya dan memegang monopoli tafsir kebenaran. Maka disini bisa kita simpulkan potensi terjadinya benturan di kehidupan masyarakat apabila ormas tersebut tidak segera ditumpas.
Disini saya ingin menegaskan bahwa saya tidak anti atas gagasan khalifah yang menurut ormas tersebut ada kewajiban untuk menegakannya, karena saya juga orang yang percaya bahwa Al-qur’an diturunkan di muka bumi ini untuk kemaslahatan umat manusia. Tetapi yang perlu digarisbawahi yaitu apakah Al-qur’an dan Hadist ada kalimat tentang keharusan untuk mendirikan sistem khilafah di muka bumi? Bukankah yang kita dapatkan dalam berbagai frasa di kedua sumber hukum dan pedoman kehidupan kaum musilimin tersebut lebih banyak berbicara tentang nilai – nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan kepedulian terhadap golongan masyarakat yang tertindas daripada aspek formalitas bentuk negara? Dimana dalam konteks sejarah Indonesia kita bisa melihat kenyataan pahit dari perjuangan untuk mendirikan negara Islam seperti yang dialami oleh SM Kartosoewirjo, Daud Beureueh, Qahar Muzakkar dll dalam bentuk DI/TII berakhir dengan sia – sia yang banyak memakan korban jiwa dan menyebabkan instabiltas nasional. Dan dalam konteks yang lain yaitu di negara Timur Tengah, maka bisa disaksikan kehancuran total dari negara-negara tersebut yang disertai dengan tragedi kemanusiaa yang mengiris hati, dimana dalam konteks ini saya tidak menyalahkan sepenuhnya terhadap golongan islam “radikal” seperti ISIS dan Al-Qaeda, karena konflik timteng tidak hanya berkutas masalah keagamaan saja melainkan kompleksitas masalah baik dari segi ekonomi maupun politik yang melibatkan negara – negara adikuasa, begitu juga saya tidak suka dengan cap terorisme dan radikalisme pada agama islam yang dipropagandakan oleh barat.
Dalam tulisan ini saya mengharapkan umat islam di Indonesia untuk selalu membuka pikirannya agar tidak terpaku pada penegakan formalitas syariat belaka, melainkan untuk selalu menjalin dialog dengan berbagai khazanah pemikiran yang mampu menjadikannya lebih dewasa dalam memandang setiap persoalan. Saya yakin masih ada harapan untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang mendera negara Indonesia ini tanpa harus mengubahnya dengan sistem Khalifah. Dan saya juga yakin umat islam akan mengulangi masa kejayaannya tanpa harus menasbihkan dirinya dalam bentuk sistem ketatanegaraan, melainkan melalui penciptaan peradaban yang mampu menterjemahkan semengat keislaman dalam bidang iptek, ekonomi, budaya, energi dan sistem politik yang demokratis. Semoga kedigdayaan peradaban Islam di masa depan dibangun di atas pondasi nilai – nilai kemanusiaan dan persaudaraan yang pada akhirnya mampu menggantikan peradaban yang bercorak meterialisme dan liberalisme yang selama ini bertanggung jawab atas sejumlah bencana kemanusiaan yang menghancurkan martabat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna
“Salam hangat dari manusia yang cinta damai dan cinta islam”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H