Mohon tunggu...
1125yAD
1125yAD Mohon Tunggu... mahasiswa -

menulis sebagai refleksi atas kebaikan hidup

Selanjutnya

Tutup

Politik

Amandemen ke-5 UUD 1945: Suatu Keniscayaan Konstitusional Dalam Rezim Reformasi

24 Januari 2017   16:44 Diperbarui: 24 Januari 2017   17:44 2430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.caratip.com/

UUD 1945 merupakan suatu dokumen/naskah suci Bangsa Indonesia yang terbentuk berkat hasil kerja keras yang panjang dan melelahkan dari para Pendiri Bangsa (Founding Father). Dimana dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea IV termuat Pancasila sebagai landasan hukum tertinggi (Staatsfundamentalnorm) dan ideologi dasar Bangsa Indonesia. Lebih dari itu, setelah mengalami penindasan dan berbagai macam ketidakadilan selama 3,5 abad dari rezim kolonialisme yang otoriter, UUD 1945 merupakan bentuk kemerdekaan Bangsa Indonesia secara materiil, yaitu kemerdekaan untuk membuat, melaksanakan dan menegakkan hukum yang berlandaskan nilai – nilai luhur bangsa Indonesia yang selama era penjajahan tercampakkan dan dibawah bayang – bayang keangkuhan sistem hukum kolonial. Hal tersebut tentunya memberikan legitimasi pada keberlakuan UUD 1945 sebagai pedoman dan titik acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Amandemen terhadap UUD 1945 bagi sebagian kalangan terutama kalangan nasionalis tentunya sangatlah mencerminkan pengkhianatan yang besar atas jasa dan sumbangsih dari para Pendiri Bangsa yang telah merelakan jiwa, raga dan pikirannya untuk Negara Indonesia yang merdeka. Anggapan ini memanglah sangat beralasan, lantaran semangat Pendiri Bangsa pada waktu merumuskan Konstitusi ini masih suci dari kepentingan pragmatisme kekuasaan dan cenderung ke arah spirit pembebasan dan memajukan Bangsa ke arah yang lebih demokratis. Maka sangatlah tidak wajar apabila naskah hasil pemikiran dan perenungan mendalam tentang kondisi bangsa pada saat itu diganti begitu saja. 

Dimana motif dari amandemen tersebut sangatlah sarat dengan kepentingan politik untuk memperebutkan kursi kekuasaan. Tetapi yang perlu diingat kembali ialah bahwasnnya sebelum UUD 1945 disahkan pada pada tanggal 18 Agustus 1945 Ketua PPKI Soekarno sendiri mengatakan bahwa UUD 1945 yang akan disahkan saat itu adalah UUD kilat, darurat, dan bersifat sementara yang perlu diperbaiki atau diubah kembali jika suasananya sudah kondusif.

Anggapan yang menyatakan bahwa UUD 1945 adalah sesuatu yang sakral sebagaimana yang digaungkan oleh rezim politik orde baru tidak sepenuhnya benar. Apabila keskralan yang dimaksud adalah bertujuan untuk menjaga kemurnian nilai – nilai luhur yang menjadi landasan bagi proses pembentukannya adalah hal yang dapat dibenarkan tetapi apabila ketika penyakralannya ditujukan kepada teks/susunan redaksi daripada UUD 1945, maka hal tersebut sangatlah disayangkan. 

Karena naskah UUD 1945 tidak sama sifatnya dengan kesucian naskah Kitab Suci yang memang diturunkan langsung melalui perantara wahyu Tuhan yang memiliki sifat Kesempurnaan yang jauh dari sifat kelemahan dan ketercelaan. Berbeda halnya dengan UUD 1945 yang hanya merupakan produk buatan manusia, sekalipun pada waktu perumusannya jauh dari sifat – sifat tidak terpuji, tetapi tetap saja ada kelemahan dan ketidaksempurnaan. Sebagaimana dipahami bahwa manusia tidak bisa terlepas dari nafsu dan berbagai kepentingan keduniawian yang menyelimutinya.

Sistem pemerintahan otoriter yang dijalankan oleh rezim orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto mencapai titik nadirnya ketika pada tahun 1998 segenap elemen masyarakat dan mahasiswa bahu membahu untuk menumbangkan rezim tersebut, walaupun ada peristiwa mengharukan yang mengiringi proses penggulingan kekuasaan pada saat itu. Seiring bergulirnya tuntutan reformasi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, tak luput pula sorotan tertuju pada tuntutan untuk melakukan amandemen atas UUD 1945. 

Banyak para kalangan akademisi pada saat itu menilai UUD 1945 sudah saatnya untuk dilakukan perubahan untuk menyesuaikan pada perubahan zaman yang semakin pesat. Maka MPR selaku lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengubah UUD 1945 membentuk Komisi Konstitusi berdasarkan Ketetapan MPR No 1/2002 dan Keputusan MPR No 4/2003 dengan tugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD NKRI Tahun 1945 oleh MPR.

Seiring bergulirnya waktu tidak dapat dipungkiri Amandemen UUD 1945 tersebut membawa kemajuan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dimana hal tersebut sangat kentara ketika melihat bahwasannya MPR telah dapat memutus mata rantai kemandekan konstitusional dan deskaralisasi konstitusi menuju kehidupan yang lebih demokratis, dengan menempatkan tempat asal kedaulatan (Locus of Souveregnity) yang semula di tangan MPR menjadi di tangan rakyat yang dijalanlankan menurut UUD. 

Dan juga yang patut diapresiasi pula yaitu, hadirnya lembaga baru seperti Komisi Yudisial yang bersifat independen yang bertugas memelihara kehormatan dan integritas hakim, yang selama masa pemerintahan sebelumnya peran lembaga legislatif sangat mudah diintervensi oleh lembaga kekuasaan lainnya, sehingga independensi dalam setiap putusannya dipertanyakan. Dengan adanya Komisi Yudisial pula kekuasaan kehakiman dapat dikontrol sehingga putusan yang dikeluarkannya sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Sebagaimana diketahui pula doktrin Hakim adalah Wakil Tuhan di bumi sangatlah rentan disalahgunakan untuk menutupi kecacatan dalam setiap putusannya yang berlindung di balik tugas suci yang diembannya.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai hasil dari amandemen tersebut, juga merupakan kemajuan lain di dalam sendi ketatanegaraan Indonesia. Pada masa lalu banyak sekali UU yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah dan DPR hanya dijadikan semacam rubber stamp tanpa bisa dibatalkan meski isinya diindikasikan kuat melanggar UUD. . Perubahan atas UU yang bermasalah pada masa lalu hanyalah dapat dilakukan melalui legislative review yang dalam praktiknya sangat ditentukan oleh pemerintah. 

Dengan adanya MK semua UU yang dinilai bertentangan dengan UUD dapat dimintakan judicial review (pengujian yudisial) untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional sehingga tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dapat dikemukakan bahwa MK telah tampil sebagai lembaga negara yang independen dan cukup produktif mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi kehidupan ketatanegaraan yang demokratis.

Dalam konteks pemilu dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden pasca amandemen juga menunujukan perubahan ke arah yang lebih demokratis. Dimana sebelum amandemen pemilihan tersebut dilakukan melalui MPR yang sarat dengan kompromi dan lobi – lobi dari berbagai fraksi partai politik yang outputnya seperti bisa dilihat pada era Presiden Soeharto yang jelas sekali ada dominasi salah satu partai politik bahkan sampai mobilisasi PNS untuk memilih yang bersangkutan dengan intimidasi pencopotan apabila keinginan tersebut tidak terpenuhi. 

Yang akhirnya menciptakan kehidupan demokrasi di Indonesia menjadi tercoreng dan KKN selalu mewarnai perjalanan pemerintahan pada waktu itu. Setelah amandemen, maka pemilu dilakukan langsung oleh rakyat , dimana rakyat bebas untuk menjatuhkan pilihannya sesuai dengan aspirasi dan hati nuraninya. Ditambah pula dengan kehadiran KPU sebagai penanggungjawab pelaksanaan pemilu yang bersifat independen dan bebas dari kooptasi pemerintah dan partai – partai politik yang dominan.

Komposisi dan keanggotaan MPR juga mengalami perubahan pasca amandemen. Dimana yang sebelumnya anggota MPR yang terdiri dari para anggota DPR yang terpilih ditambah utusan golongan dan daerah , maka pasca amandemen mengalami perubahan menjadi terdiri dari anggota DPR sebagai representasi dari partai politik dan anggota DPD sebagai perwakilan daerah. Hal tersebut tentunya suatu perkembangan yang berarti, pasalnya DPD sebagai transformasi dari utusan daerah lebih dapat mewakili aspirasi dari daerah ketimbang pendahulunya. 

Walaupun kewenangannya hanya terbatas pada mengajukan dan ikut membahas RUU saja, dimana keputusan final ada di tangan DPR. Tetapi hal tersebut merupakan sebuah kemajuan untuk lebih mendengarkan dan turut serta dalam memahami denyut jantung perkembangan daerah yang dilakukan melalui mekanisme otonomi daerah melalui sistem desentralisasi.

Di tengah euforia dan optimisme dalam merasakan berbagai kemajuan dalam sistem ketatanegaraan dan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, maka setelah bergulirnya waktu keberlakuan UUD 1945 hasil amandemen mulai dipertanyakan relevansinya dalam menjawab berbagai tantangan kehidupan demokrasi yang berputar secara cepat. Berbagai kalangan menilai masih terdapat beberapa kelemahan terhadap hasil amandemen tersebut. Salah satunya dilontarkan dari Valina Singka Subekti, mantan anggota KPU dan PAH 1 MPR. 

Beliau menyatakan ada berbagai kelemaham dan ketidaksempurnaan pada saat proses amandemen tersebut dilakukan. Yang pertama, bahwasanya selama proses perubahan UUD 1945, peran elite fraksi di PAH BP MPR dan DPP partainyasangat besar. Kedua, warna aliran mempengaruhi secara terbatas pandangan dan sikap fraksi. Ketiga, proses politik di MPR selama perubahan pertama sampai keempat UUD 1945 diwarnai kompetisi, bargaining, dan kompromi. 

Keempat, perdebatan fraksi-fraksi di PAH BP MPR juga diwarnai kepentingan partai. Hal tersebut tentunya mengindikasikan bahwa UUD 1945 hasil amandemen terdapat kelemahan lantaran dominanya kepentingan politik yang medominasi dalam penyusunannya. Yang berimbas pada hasil amandemen tersebut tidak mencerminkan kehendak luhur dari masyarakat melainkan lebih bertendensi pada kepentingan pragmatis para elite politik.

Perubahan dinamika masyarakat dan bangsa yang diakibatkan proses globalisasi dan universalisme pemahaman akan kehidupan yang lebih demokratis, menuntut penyesuaian atas segala sendi hukum dan politik negara Indonesia. Tak terkecuali adapatasi UUD 1945 untuk dapat menjawab tantangan dari kompleksitas permasalahan masyarakat yang selalu berkembang. 

Keniscayaan amandemen UUD 1945 merupakan suatu hal yang mendesak untuk segera dilakukan dalam rezim reformasi yang mengakomodasi transformasi struktural sistem dan bangunan ketatanegaraan, demi terciptanya kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia yang lebih demokratis. Dimana bangunan sistem ketatanegaraan Indonesia dan sistem politik sebagai urat nadi dalam memutar roda pemerintahan mengandung urgensi untuk diadakan perubahan sebagai bagian untuk menjaga tatanan ideal bagi keberlangsungan sistem pemerintahan yang lebih efisien, produktif, dengan mengemban semangat keadilan substansial dan kesejahteraan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun