Suatu hari, seseorang akan dicek datanya oleh sistem dan dilarang untuk masuk ke area tertentu karena itu adalah zona merah. Sebuah simplifikasi yang mungkin lupa penerapan hal seperti itu hanya mungkin di negara komunis.
Indonesia punya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang walaupun lebih terkenal di publik sebagai senjata melawan ujaran kebencian, tetapi sebenarnya punya kekuatan yang cukup untuk melindungi data pribadi karena isi dari UU ITE mengatur bahwa data pribadi kita wajib diamankan dan diperlukan konsen dari pemilik data.Â
Semua data kita yang dimanfaatkan harus di anonimitas, jadi peruntukannya hanya agregat dan tidak akan membuka sama sekali detail pemiliknya.
Masih ingat kemenangan Trump yang didukung oleh Cambridge Analytica sampai Mark Zuckeberg (pemilik Facebook) dipanggil untuk memberikan keterangan?Â
Kamu mungkin terlewat hal ini, tetapi kasus Pemilu AS 2014 membuat berang banyak pihak. Kasus ini adalah salah satu yang menjadi dorongan General Data Protection Regulation (GDPR) disahkan. GDPR adalah undang-undang perlindungan data pribadi yang dibuat oleh European Union (EU) dan menutup segala celah yang bisa dilakukan orang-orang untuk menyalahgunakan data pribadi. Ada denda yang cukup besar jika ada organisasi atau perusahaan yang melanggar undang-undang ini.
Saya termasuk yang merasakan sendiri bagaimana GDPR ini di Belanda selain membantu melindungi data pribadi, sekaligus juga menyusahkan pembuatan aplikasi tracing di era krisis COVID-19.
Syarat pemenuhan perlindungan data yang begitu ketat sudah berarti memperlambat pengembangan sebuah aplikasi di masa krisis. Kalau Indonesia tinggal cespleng buat aplikasi, maka Belanda sampai sekarang belum juga meluncurkan aplikasi tracing COVID-19 akibat pemenang tender harus memenuhi semua tetek bengek GDPR.
Apa Yang Perlu Kita Perjuangkan?
Pertama, jika kamu merasa data pribadi itu penting maka berlakulah seperti itu. Jangan berikan data apapun sebelum kamu membaca consent sebuah layanan walaupun ini sebenarnya susah karena "privacy paradox".
Privacy paradox adalah kebiasaan seorang user yang menganggap bahwa data pribadi mereka harus aman, tetapi apa yang dilakukan bertolak belakang dengan keinginan mengamankan data pribadi.
Berikutnya, kamu harus tahu bahwa GDPR bisa dipakai dimana-mana dan Indonesia sendiri sudah berencana untuk mengadopsi walaupun sampai sekarang rencana tersebut belum tercapai juga. Tonton video Menkominfo ini tentang adopsi GDPR :