Kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah menghapus pemeriksaan hasil negatif Covid-19 melalui rapid test antigen maupun PCR sebagai syarat perjalanan domestik terhadap pengguna transportasi darat, laut, udara telah mengundang beragam opini.
Secara formal kebijakan tertuang dalam SE Kementerian Perhubungan No.21 Tahun 2022. Dan sehari setelah kebijakan baru tersebut diumumkan, berlaku mulai 8 Maret 2022 maka kemudian respons berupa tanggapan atau pendapat bermunculan di berbagai media.
Hal demikian bisa dipahami, mengingat kebijakan tersebut menyentuh kepentingan sebagian besar warga, terutama bagi mereka yang sudah kebelet melakukan perjalanan antarkota di dalam negeri, makin longgar persyaratannya dan menggugah euforia setelah dua tahun "terkurung" di rumah gegara pandemi tak kunjung usai.
Tak kalah menarik pendapat lain yang menyebutkan walau mendukung kebijakan tersebut, masih disertai catatan terutama perlunya kehati-hatian atau kewaspadaan, mengingat mobilitas sosial yang tinggi cenderung berpotensi penularan virus corona penyebab Covid-19.
Ada lagi pendapat yang kurang mendukung kebijakan, dengan alasan semakin bebas orang bermobilisasi akan memperbesar risiko penyebaran virus.
Disebutkan pula kebijakan tersebut bisa menjadi bumerang dan membuat kasus Covid-19 kembali meningkat, lengah sedikit saja kasus bisa naik lagi.
Nah, berbagai tanggapan ataupun pendapat yang terus berkembang belakangan ini terkait kebijakan pemerintah menghapus hasil negatif Covid-19 melalui rapid test antigen maupun PCR sebagai syarat perjalanan domestik tentunya wajar-wajar sajalah, menambah ramenya opini publik sehingga suasana semakin dinamis. Khususnya yang dilontarkan melalui bermacam media.
Lagi pula, dalam negara yang menganut sistem demokrasi memang kita tak perlu alergi terhadap rame atau riuhnya wacana yang terus berkembang. By the way, kalau tidak boleh rame ya tidak usah lagi kita omong demokrasi, setidaknya pada tataran masyarakat awam.
Walaupun regulasi yang telah diputuskan pemerintah tetap harus dilaksanakan, dalam hal ini bukan berarti pemerintah menutup mata terhadap aspirasi yang tumbuh di tengah dinamika kehidupan masyarakatnya.
Ini lazim terjadi, karena aturan (kebijakan publik) yang sudah dirancang, diperhitungkan didasari pertimbangan berbagai aspek berikut dampaknya telah membuahkan keputusan yang kondisional (berdasarkan untung dan ruginya) masih memerlukan masukan untuk melengkapinya.
Perlu kiranya dipahami semua pihak bahwa penghapuskan pemberlakuan pemeriksaan hasil negatif Covid-19 melalui rapid test antigen maupun PCR sebagai syarat perjalanan domestik tentunya perlu diapresiasi, dicermati dan dipahami lebih jauh.
Dengan demikian tidak tergesa menanggapinya melalui euforia, tidak juga perlu dibebani keraguan, was-was atau kekhawatiran berlebihan, termasuk tidak saling adu argumentasi yang cenderung kontraproduktif.
Persoalan pandemi yang sesungguhnya merupakan persoalan bersama, bahkan hingga di lingkup global tidaklah cukup hanya sekadar dicarikan solusinya secara parsial, dan mengingat persoalannya cukup kompleks maka kolaborasi antarpihak terutama yang memiliki kompentensi sangat diharapkan.
Sejak melanda negeri ini, pemerintah dan segenap jajaran terkait serta berbagai pemangku kepentingan sudah banyak berbuat, info-info bagaimana cara menghadapi sudah mulai banyak dipahami masyarakat, bahkan pengalaman selama dua tahun lalu telah mengajari kita untuk bisa bertahan dalam suasana kenormalan baru supaya kehidupan dan segala aktivitas terus berkelanjutan.
Dalam tulisan ringkas ini, supaya lebih lengkap dan secara sederhananya untuk menuju kehidupan bersama yang lebih baik - kiranya kita tak perlu larut dalam perbincangan pro-kontra berkait pelonggaran perjalanan domestik belaka.
Menurut cermatan atau penilaian saya terhadap perkembangan opini yang mengemuka adalah baik-baik saja semuanya. Pendapat yang mendukung, yang mendukung disertai catatan, maupun yang kurang mendukung semuanya layak diapresiasi. Mengapa?
Ya, karena semua pendapat itu ternyata muaranya cenderung sama, yaitu sama-sama bermaksud dan bertujuan untuk mengendalikan pandemi Covid-19.
Hal yang cukup penting dalam konteks ini sebenarnya terletak pada satu pertanyaan yang perlu dipahami bersama. Siapakah pelaku perjalanan itu? Apakah semua orang berhak untuk melakukan perjalanan domestik tanpa tes antigen atau PCR?
Dalam ketentuan lebih lanjut juga telah disebutkan bahwa pelaku perjalanan yang tidak wajib menunjukkan hasil negatif melalui tes antigen atau PCR namun tetap menjaga protokol kesehatan, di antaranya:
- sudah divaksin minimal dua dosis,
- berusia di bawah 6 tahun, didampingi,
- perjalanan dalam aglomerasi perkotaan,
- pelaku perjalanan moda transportasi 3 T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Barang tentu untuk melengkapinya supaya lebih komprehensif dalam mengantisipasi pandemi Covid-19, perlu pula dipahamkan di sini bahwa pendekatan secara individual juga penting dilakukan.
Pendekatan ini bisa dibilang cukup krusial, lebih bersifat pribadi dan penekanannya lebih pada self control sebagai bagian dari etika sosial bagi masing-masing pelaku perjalanan.
Misalnya saja saya sebagai orang yang berstatus suspek, probable, atau punya kontak erat dengan pasien yang telah dinyatakan positif Covid-19, walaupun saya sudah divaksin lengkap maka tanpa aturan formalpun sudah sepantasnya atau sepatutnya saya menjalani rapid test antigen maupun PCR.
Ini penting untuk memastikan kondisi kesehatan diri, apalagi hendak melakukan perjalanan sehingga atas dasar kesadaran pribadi sekaligus sebagai bentuk kontribusi nyata, ikut meminimalisir dan berperanserta mengendalikan pandemi.
Self control, behavioral control menjadi penting. Ini merupakan pertimbangan etis manakala kita hendak melakukan perjalanan, termasuk perjalanan domestik selama ini.
Salam akhir pekan, have a nice day.
JM (12-3-2022).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI