Kurangnya sosialisasi bencana nonalam ini berakibat pula terhadap minimnya pengetahuan mengenai risiko yang akan terjadi, lemahnya kemampuan mengantisipasi ancaman pandemi Covid-19 atau dengan perkataan lain kemampuan masyarakat tentang kesiapsiagaan menghadapi wabah penyakit masih rendah.
Walaupun di sana-sini kemudian muncul langkah pencegaha sesuai protokol kesehatan, disebarkan serentak melalui berbagai media -- namun itu belum banyak diadopsi seluruh masyarakat. Buktinya masih ditemui orang tidak memakai masker di tempat umum, kerumunan juga masih ditemui di beberapa tempat, jaga jarak fisik masih dipahami dan dilakukan setengah hati.Â
Dilihat dari timing upaya pencegahan dan penanganan yang berlangsung dalam waktu bersamaan -- menunjukkan penanggulangan bencana masih dititik beratkan pada tanggap darurat berpendekatan emergency response. Masyarakat di sini kurang banyak dilibatkan sehingga jumlah korban terjangkit wabah Covid-19 masih relatif besar.
Pentingnya mitigasi bencana nonalam
Upaya penanganan bencana sesungguhnya sudah tercakup dalam UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Secara garis besar langkah yang perlu dilakukan menyangkut manajemen bencana antara lain: tahap prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana.
Singkat penjabarannya yaitu tahap prabencana berupa mitigasi dan preparedness (kesiapsiagaan) terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan guna mempersiapkan diri menghadapi bencana. Ini penting supaya masyarakat terlibat untuk mengantisipasi bencana dan terorganisir.
Tahap tanggap darurat merupakan seluruh rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat peristiwa bencana berlangsung untuk menangani dampak buruk yang akan terjadi.
Tahap pascabencana sebagai langkah rehabilitasi dan rekonstruksi merupakan upaya pengembalian keadaan masyarakat pada situasi kondusif, sehat, dan layak sehingga dapat hidup seperti sediakala sebelum peristiwa bencana terjadi, baik secara fisik maupun psikologis.
Sekilas dari paparan di atas, dalam kaitan pandemi Covid-19 yang melanda negeri kita jelaslah tak pernah ditemui apa yang disebut tindakan prabencana. Masyarakat seolah "mendadak" dihadapkan marabahaya wabah virus tanpa berbekal pengetahuan bagaimana menghadapinya.
Munculnya kebingungan, keambiguan, saling lempar kesalahan, lambannya kerja birokrasi terutama di tingkat daerah, semuanya masih tergagap-gagap karena memang tidak pernah diajarkan/dilatih menghadapi bencana nonalam seperti wabah penyakit ini.
Belajar dari pengalaman tersebut, sudah saatnya segera dipikirkan betapa pentingnya mitigasi bencana nonalam dan jika memang perlu dipikirkan pula mitigasi bencana sosial seperti telah disebutkan dalam regulasi kebencanaan.