Cukup menggugah perhatian kita bersama bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dikenal dengan sebutan miniatur Indonesia (berbagai suku ditemui/menuntut ilmu, kerja), kental dengan julukan kota budaya, kota pendidikan, kota gudeg karena kuliner khas lokal, dan masyarakatnya yang familier -- koq tiba-tiba dikejutkan dengan adanya kasus kurang nyaman di hati.
Terpetik berita (dalam Tempo.co, 15/11/2019) bahwa beberapa peristiwa intoleransi terjadi di wilayah DIY, bahkan sepanjang tahun 2019 Â telah ditemui tiga kasus intoleransi di Kabupaten Bantul. Lengkapnya sini: https://grafis.tempo.co/read/1887/intoleransi-di-bantul-dan-diy-yogyakarta-dalam-2014-hingga-2019
Yah, namanya saja kasus. Karenanya tak layak jika kemudian disimpulkan dan digeneralisir bahwa Yogyakarta sudah tidak ramah lagi seperti didengung-dengungkan selama ini. Dan perlu dijelaskan di sini bahwa Yogyakarta secara umum masih aman, nyaman. tentram dan damai. Adanya  kasus tersebut jangan sampai "karena nila setitik, merusak susu sebelanga" kan?
Itulah perkembangan beberapa waktu belakangan. Kasus intoleransi ternyata tidak hanya ditemui di DIY, kasus serupa cenderung muncul di banyak tempat. Hal ini mengajak kita untuk segera menyikapi, supaya jangan sampai merebak. Setidaknya, kondisi sosial dan keamanan nasional tetap dijaga sehingga pemberdayaan rakyat di seluruh daerah terjamin kelancarannya. Terkait, baca ini: https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2019/11/25/511/1025651/mengapa-intoleransi-merebak-di-bantul-ini-jawaban-sri-sultan-
Mengingat peristiwa ini (kasus intolerensi) terjadi di DIY, pastinya penulis ikut merasakan prihatin. Realitas media dalam meliput dan memberitakan kasus tersebut juga perlu diuji, bahkan setelah melakukan check and recheck ternyata benar adanya. Lebih jauh tentu tidak hanya sebatas prihatin, namun menggugah penulis untuk melihat sebab musabab mengapa itu terjadi dan sejauh mana penanganannya telah dilakukan.
Terhadap tiga kasus intoleranasi sepajang tahun 2019 khusus di Kabupaten Bantul menjadi menarik dicermati. Fokus dan lokusnya semakin penting diungkap dan dikaji sehingga dapat memberikan gambaran lebih luas, mencari langkah pemecahan serta mengantisipasi jangan terulang kasus serupa di kemudian hari.
Untuk melengkapi pemberitaan yang telah dipublikasikan media, ada baiknya penulis menemui langsung orang nomor satu di kabupaten ini yaitu Bupati Bantul, Drs.H.Suharsono dalam kaitannya dengan kasus intoleransi sekaligus sebagai refleksi tahun 2019 di bawah kepemimpinannya.
Kasus-kasus yang terjadi sepanjang tahun 2019 di antarnya, bulan April 2019 seorang pelukis bernama Slamet Jumiarto (42) bersama isteri dan anaknya ditolak tinggal (menyewa rumah) di Dusun Karet, Kecamatan Pleret -- karena dia tidak beragama Islam.
Dalam waktu tiga bulan berikutnya (Juli 2019), Â warga Bandut Lor, Argorejo, Kecamatan Sedayu menolak ibadah di rumah seorang Pendeta (Tigor Yunus Sitorus) yang sekaligus menjadi gereja. Pemkab Bantul mencabut izin mendirikan bangunan (IMB), kemudian kasusnya berlanjut ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun akhirnya gugatan dibatalkan oleh penggugat (pendeta) melalui kuasa hukumnya.
Di bulan November 2019, sejumlah warga di Dusun Mangir Lor, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan menolak upacara Piodalan yang digelar di rumah penduduk setempat (Utik Suprapti). Lengkapnya, di sini: https://regional.kompas.com/read/2019/11/15/17295001/upacara-piodalan-diprotes-sultan-hb-x-saya-minta-pak-bupati-menangani?page=all.
Terhadap tiga kasus yang berbeda ini, semuanya dapat diselesaikan sehingga tidak merebak dan meresahkan, semua pihak yang terlibat akhirnya bisa saling memahami.
Untuk kasus pertama, ditemukan aturan yang berlaku di Dusun Karet ternyata diskriminatif. Pemkab Bantul (diprakarsai Bupati Drs H.Suharsono) selanjutnya memfasilitasi untuk membuat aturan baru, sehingga Slamet Jumiarto dan keluarganya boleh menempati rumah kontrakannya.
Kasus kedua, sebenarnya hanya berurusan dengan persyaratan izin mendirikan bangunan (IMB). Jika prosedur dan persyaratan IMB tersebut dilengkapi  sesuai aturan, bukan tidak mungkin tempat ibadah/gereja tersebut diperbolehkan.
Sedangkan kasus ketiga, lebih terfokus pada izin penyelenggaraan acara, belum terjalinnya komunikasi oleh kelompok agama atau aliran kepercayaan kepada warga Dusun Mangir khususnya dan Desa Sendangsari umumnya sehingga warga setempat belum memiliki gambaran yang jelas tentang keberadaan Paguyuban Padma Buwana dalam rangka memperingati Ki Ageng Mangir atau odalan sebagai salah satu tradisi.
Nah, bagaimana Bupati Bantul Drs H.Suharsono dalam menyikapi beberapa kasus intoleransi di daerahnya sehingga semuanya menjadi clear, terbangun kesepahaman untuk hidup bersama secara aman, nyaman, tenteram, rukun dan damai.
Dalam wawancara santai bersama penulis (di dalam mobil dan di warung Bakmi Jawa, beberapa waktu lalu) disebutkan bahwa "setiap kasus harus dicermati, didengar dan dipahami substansi masalahnya. Di mana kasus itu terjadi, siapa saja yang terlibat, apa yang menjadikan sebab-sebab dan bagaimana solusi terbaik yang perlu dilakukan. Kita harus menghormati semua pemeluk agama/kepercayaan karena memiliki hak dan kewajiban sama. Di samping itu, kita harus menegakkan hukum yang berlaku sah di negeri ini."
Ditambahkan pula, bahwa dirinya sebagai orang nomor satu di Kabupaten Bantul, "berusaha untuk tidak langsung menyalahkan orang per-orang atau kelompok manapun. Setiap kasus yang menjurus intoleransi memiliki sebab-sebabnya sendiri. Sebab itu, langkah yang perlu diambil adalah dengan melakukan dialog atau bertatap muka, mendengarkan dan menampung semua keluhan disusul kemudian berdiskusi bersama semua pihak yang terlibat sehingga terjalin komunikasi, menyamakan persepsi yang pada gilirannya terbangun kesepahaman, semua kepentingan terakomodasi," ujarnya.
Berkait persoalan kerukunan umat beragama di wilayah Bantul, dalam pekembangannya di akhir tahun 2019 ternyata terpetik berita yang cukup melegakan. Baca di sini: https://jogja.tribunnews.com/2019/12/24/pengasuh-ponpes-sunan-kalijaga-gesikan-semoga-perayaan-natal-penuh-berkah. Hal ini turut membuktikan bahwa toleransi  masih terbangun di wilayah ini.
JM (31-12-2019).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H