Mulai dari Pasar Sore di seputaran Polres disusul masuk jalan utama (depan Landasan Terbang Adventis, Doyo), kawasan Doyo Baru, Kompleks Perkantoran Bupati, pertigaan Sarmi, Kompleks Angkatan Udara, hingga daerah yang disebut Hawai -- di kanan kiri jalan nampak semakin meriah dan gemerlapnya. Terlebih kalau mau cari kuliner kesukaan, tinggal pilih pastinya. Mulai dari yang berkelas hingga yang ada di emperan toko dan kakilima (banyak penjualnya dari luar Papua).
Kali ketiga berkunjung ke Sentani (Mei 2018) nampaknya tidak jauh berbeda dengan kunjungan kedua, kawasan Sentani sudah berkembang menjadi daerah sub-urban di mana aktivitas perekomenomian dan bisnisnya terus bertumbuh.
Hanya saja yang membedakan pada kunjungan terakhir tersebut yaitu kesejukan udaranya yang berkurang, jalanan dan arus lalu-lintas lebih meningkat, polusi udara juga demikian, hampir saban hari badan terasa gerah, walaupun sesekali turun hujan namun kondisi tetap gerah, kurang betah berlama-lama di ruangan sehingga selalu pasang alat pendingin (termasuk kalau berlama-lama ngompasiana, hehehe).
Di awal mula datang ke Sentani sangatlah nyaman karena udaranya sejuk membuat badan bugar, sehingga di waktu luang menggugah untuk betah menyusuri alam dan lingkungan sekitarnya. Bisa berkunjung ke pulau-pulau di Sentani Timur - Asei Besar, menikmati masakan lokal warga Papeda dan pisang rebus, hingga seputaran Situs Megalitik Tutari (Sentani Barat), menanjaki lereng pegunungan Cyloop hingga Ifar Gunung (Situs Tugu Mac Arthur) sambil memandang dari kejauhan hilir mudik pesawat yang landing dan take-off di bandara, sungguh menambah energi positif dan meliarkan kilatan inspirasiku.
Sayangnya catatan dan kenangan itu semua menjadi terhenyak dan lenyap dalam pikiran seketika tatkala Minggu pekan lalu terdengar berita dari para kolegaku di sana bahwa "Sentani dilanda banjir bandang" setelah hujan kali ini, "air masuk rumah sekitar satu meter", permukiman jadi berantakan dan jalanan tak bisa dilewati, banyak orang mengungsi ke tempat aman."
Barang tentu peristiwa ini mengingatkan pada catatan dan amatan yang pernah penulis alami dan merasakan suasana lingkungan hidupnya selama mengunjungi Sentani dan sekitarnya dari waktu ke waktu.
Banyak asumsi dan mengemuka setelah banjir bandang melanda Sentani pada Minggu (17/3) dini hari lalu. Sebab utama yang paling mudah untuk "menghibur dan menenangkan diri" yaitu karena cuaca ekstrim, hujan berintensitas tinggi.Â
Di samping itu, kini sebagian wilayah kita dilewati gelombang aliran atmosfir tropis (Madden Julian Oscillation) yang diperkirakan melanda daerah Papua, Jateng, Jatim, NTT dan NTB seputarnya. Demikian bunyi "ramalan cuaca dan sudah masif menyebar.
Namun demikian, bukan berarti kita mengabaikan pengumuman perihal kewaspadaan seperti disebut di atas. Lebih dari itu persoalan banjir sesungguhnya juga sangat bergantung pada kondisi masing-masing daerah yang tidak sama topografi, berikut "sepak terjang" dalam pengelolaan hingga regulasi yang memayunginya - supaya antisipasi terhadap segala risiko dapat diminimalisir.
Hawa yang cenderung panas, membuat tubuh manusia selalu gerah, hilangnya kesejukan alami dan percepatan pembangunan infrastruktur tanpa diimbangi peningkatan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup tentunya jangan disepelekan.Â
Berdasarkan berbagai pengalaman ikutan bergabung tim, atas nama otonomi di daerah, seringkali ditemui di lapangan bahwa kebijakan-kebijakan di setiap daerah cenderung dipersepsi pengembangan hanya berfokus pada "pertambahan kas masing-masing" tanpa dibarengi pembangunan berwawasan terkait.