Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perlunya Pengawalan Dana Rekonstruksi Pasca-Bencana

12 Oktober 2018   22:27 Diperbarui: 13 Oktober 2018   00:00 1054
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mumpung masih anget-angetnya topik bencana alam terutama gempa bumi beruntun yang telah menerpa beberapa wilayah negeri kita dan masih menjadi agenda setting media, ada baiknya ikut ambil bagian memberikan pendapat dalam perspektif lain yang mungkin bisa melengkapi.

Sepintas cermatan, jika dilihat dari langkah-langkah penanganan dan pengamanan beberapa peristiwa bencana belakangan, secara umum dapat dikatakan cukup melegakan. Setidaknya, proses penanganan awal berupa darurat bencana, mulai pertolongan medis hingga bantuan pangan dan obat-obatan maupun logistik berhasil dilakukan -- walau mungkin di sana-sini ada yang perlu dioptimalkan.

Semuanya bisa dipahami, mengingat sebagian besar kita masih belum terlatih kemampuan mitigasi namun dengan sebatas peralatan yang kita punya serta dilandasi kemauan dan budaya gotong royong kuat, merupakan modal sosial yang sangat membantu penanganan korban setiap kali terjadi bencana.

Peristiwa gempa bumi di Lombok (NTB) dan Palu (Sulteng) beruntun yang bermagnitudo 7 telah membawa banyak korban menggambarkan bahwa tugas sosial-kemanusiaan kita terpanggil, banyak kalangan perduli dan tidak sedikit menyumbang bantuan untuk meringankan derita para korban di sana.

Pemerintah pun tidak tinggal diam, begitu bencana terjadi -- sesegera pula para petinggi negeri secara simultan menengok langsung, ikut merasakan apa yang dirasakan para korban bencana sehingga mereka yang terdampak bencana terbantu dan berkurang beban mentalnya.

Demikian halnya berbagai institusi publik (pemerintah maupun swasta/komunitas) telah dikerahkan, bekerja keras, berpartisipasi membantu/menolong para korban sesuai kapasitas, tugas pokok dan fungsinya masing-masing sampai dengan kondisi aman serta keadaan darurat bencana dinyatakan usai dilakukan.

Hingga tulisan ini disusun, kedua lokasi bencana (di NTB dan Sulteng) tersebut menjelang/sudah  rampung ditangani. Proses tanggap darurat telah berhasil dilakukan. Selengkapnya di sini: kompascom, dan di sini: Kompas.com.

Di bagian penghujung penanganan pasca-bencana/gempa, yang telah meluluh-lantakkan alam sekitar seisinya -- kemudian sampai tahap yang dinamakan rehabilitasi dan rekonstruksi. Ini penting karena kawasan terdampak bencana perlu pemulihan kondisi normal seperti semula agar kehidupan berlangsung dinamis.

Sedangkan terhadap infrastruktur yang rusak segera diperbaiki atau dilakukan rekonstruksi supaya sarana dan prasarana (terutama permukiman dan perumahan, serta fasilitas publik) kembali berfungsi, kegiatan ekonomi, sosial, budaya serta aktivitas lain tumbuh serta bangkit lagi.

Nah, membincang rehabilitasi dan rekonstruksi ini mengajak kita untuk memahami beberapa persoalan penting, dengan harapan bisa berjalan seperti diharapkan. Kawasan yang terdampak bencana menjadi pulih, kehidupan setempat bergairah, lebih aman dan tertata, yang semuanya dikoordinasikan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB) atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)/Pemerintah Daerah.

Lazimnya, sebelum rehabilitasi dan rekonstruksi dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan kajian seksama oleh lembaga berwenang sehingga terkumpul data yang realistis, termasuk identifikasi maupun perhitungan atas segala kerusakan, baik fisik maupun non-fisik. Disusul analisis berbagai aspek terkait selanjutnya kerugian akibat bencana dapat ditaksir/disimpulkan.

Kasus-kasus bencana alam/gempa bumi berskala besar yang banyak menelan korban, mendapat perhatian khalayak luas barang tentu juga menggugah berbagai kalangan. Mengalirnya bantuan kemanusiaan membuktikan bahwa keperdulian terhadap sesama masih tumbuh di mana-mana, tanpa mengenal sekat-sekat dan wilayah geografis. Termasuk bantuan dari luar negeri/negara sahabat hampir selalu ditemui manakala bencana alam terjadi di negeri ini.

Pemerintah juga sudah mempersiapkan dana khusus menyangkut persoalan ini. Melalui APBN, APBD dana bantuan selalu siap dikucurkan disesuaikan peruntukannya. Dapat dicontohkan, Gempa Tektonik Jogja 2006 yang menelan kerugian mencapai 29,2 trilyun -- telah tercukupi sehingga secara umum pemulihan pasca-bencana dapat berjalan sesuai perencanaannya.

Di sisi lain, betapapun tersedianya dana/anggaran yang menyukupi bukan berarti everthing is running well.  Dalam konteks ini, masih menyisakan persoalan yang perlu mendapat perhatian bersama. Besarnya dana bantuan kemanusiaan bukan berarti pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana terbebas dari risiko yang sering dihadapi.

Di tengah kehidupan masyarakat dimana tingkat kesadaran hukum yang masih rendah, dan lemahnya fungsi lembaga publik, tidak menutup kemungkinan kucuran dana (bantuan kemanusiaan) "dipermainkan" oleh pihak-pihak tertentu. Dana/material bantuan korban bencana bisa tidak utuh diterima oleh mereka yang berhak. Di Jogja pun kasus seperti ini terjadi tatkala rekonstruksi pasca-gempa 2006 berlangsung.  

Bisa dibaca contoh di sini: regional.kompas.com dan ini: jogja.tribunnews.com

Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi penyalahgunaan atau korupsi terhadap dana bantuan kemanusiaan (rekonstruksi), tak terkecuali di NTB dan Sulteng maka ada kalanya belajar dari beberapa kasus dicontohkan tersebut, diperlukan langkah berupa pengawalan dana rekonstruksi.

Perlunya mengoptimalkan pengawalan/pengawasan terutama oleh organisasi non-pemerintah atau masyarakat. Di samping itu kebijakan publik terkait hal ini perlu dikonsep sesuai kondisi nyata di lapangan.

Dari berbagai kasus yang pernah terjadi, titik-titik rawan risiko penyalahgunaan dana kemanusiaan (rekonstruksi) pasca-bencana/gempa antara lain dimulai dari pengadaan barang bantuan, distribusi, rekrutmen pelaksana/tenaga, hingga pemberian upah para pekerja.

Hal ini perlu dilakukan pengawalan untuk meminimalisir/mencegah  kemungkinan "dimainkan"  - sehingga bantuan dana maupun barang yang disalurkan kepada mereka yang sedang menderita kesusahan benar-benar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

JM (12-10-2018).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun