Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mokat Ake, Budaya Megalitik di Lembah Baliem

9 September 2018   16:11 Diperbarui: 9 September 2018   16:28 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
megalitik di situs Hitigima, Asotipo, Jayawijaya (JM)

Prosesi pengahantaran arwah dilakukan di honai adat dipimpin kepala suku diikuti Kema, Tulem, dan Yaman (orang-orang penting dalam adat). Setelah ritual selesai Wesagun (Yaman) keluar dari honai adat membawa isoak ke tempat arwah (wakunoakma). Beliau (Wesagun) juga dibekali sepotong daging babi untuk melakukan perjalanan pengahantaran arwah (apune hetulolugun).

Yang menarik dalam ritual tersebut, ketika Wesagun keluar dari honai adat untuk melakukan perjalanan penghantaran arwah, semua masyarakat yang ada disekitar tidak boleh melihatnya, atau mereka harus memalingkan wajah dari arah Wesagun. Ini dilakukan supaya kelak dapat menghindar dari terjadinya malapetaka.

Jalan arwah ini mulai berlangsung pada saat Wesagun keluar dari kampung Asoma untuk mengantar arwah menuju wakunoakma. Ketika Wesagun dalam perjalananya akan melalui jalannya sendiri, sedangkan arwah akan menuju ke arah jalan arwah (mokat ake) yang telah tersedia yaitu berupa susunan batu yang bentuk atau bangunannya dibuat seperti pagar.

Hal demikian merupakan bukti bahwa orang yang meninggal itu telah melewati jalan arwah tersebut ditandai kehadiran dan bunyi kicauan burung kiwiko/hiwusa melompat-lompat pada tiang batu (menhir) yang berdiri di dekat jalan arwah. Ini juga menandakan bahwa arwahnya sedang melakukan perjalanan keluar dari kampung untuk menuju wakunoakma.

Setelah tiba di tempat perhentian sementara (Helep Owa Hegarekma), selanjutnya Wesagun akan menyimpan isoak tempat arwah (wakunoak) kemudian membakar sepotong daging babi yang dibawa dari kampung Asoma, sebagai tanda bahwa arwah tersebut telah sampai ke tempat perhentiannya.

Wesagun kemudian kembali ke kampung Asoma melakukan ritual pembakaran mayat atau kremasi di halaman yang telah disediakan. Seperti biasanya, sebelum acara pembakaran mayat, diawali pembagian daging babi maupun babi hidup. Utamanya khusus untuk honai-honai adat kerjasama, kemudian untuk orang yang datang dari jalur perang, disusul untuk paman dari orang yang meninggal (biasa diberikan babi hidup), terakhir untuk semua orang yang hadir, kemudian dilakukan makan bersama.

Nah, pada saat-saat pembakaran mayat ini berlangsung ada beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh sejumlah kelompok kerabat yang merasa sangat kehilangan, yaitu mereka melakukan potong jari, potong daun telinga, mandi lumpur, menggosokkan arang di seluruh tubuh, melukai bagian kepala di atas telinga, dan melakukan puasa tertentu.

Selesai pembakaran mayat dilakukan, kemudian sisa-sisa pembakarannya seperti abu dan tulang-tulang dikumpulkan dan dibungkus, setelah itu dikubur didekat tempat pembakaran mayat tersebut. Setelah seluruh ritual kematian di kampung selesai, maka Wesagun akan melanjutkan tugas penghantaran arwah dari Helep Owa Hegarekma atau tempat perhentian sementara, menuju wakunoakma tempat bersemayamnya roh-roh orang mati di sebuah ceruk yang berada di Gunung Hesagenam.

Sedangkan bagi kerabat yang tadinya melakukan potong jari, potong daun telinga, mandi lumpur atau menggosokkan arang diseluruh tubuhnya, dan melukai bagian kepala di atas telinga, akan melanjutkan dengan acara pelai (berkabung) selama + 3-4 minggu bahkan bisa mencapai 40 hari. Dalam acara pelai tersebut mereka berpuasa tidak makan-makanan tertentu, mandi lumpur, tidak bercukur, tidak mandi, tidak keluar rumah/kampung.

Dipenghujung akhir acara pelai, maka semua atribut yang digunakan dalam duka akan dikumpulkan dan dilarung pada malam hari di sungai, dan bersamaan dengan itu merekapun mandi di sungai dan berganti pakaian. Seluruh rangkaian acara pelai diakhiri dengan pesta bayar babi untuk yang berduka disusul acara makan bersama.

Jalan arwah (mokat ake) merupakan suatu gambaran tentang perjalanan hidup manusia suku Hubula yang kemudian mengalami kematian, mereka akan dihantarkan kembali untuk bersekutu dengan nenek moyangnya. Keberadaan jalan arwah ini sebagai sebuah bentuk keyakinan manusia tentang kepercayaan berkait sejarah asal usul nenek moyang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun