Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jangan "Permainkan" Berita Bencana Alam

18 Juni 2018   19:00 Diperbarui: 20 Juni 2018   10:07 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Seiring dinamika sosial politik serta semakin pesatnya perkembangan dunia komunikasi dan informasi ditandai regulasi maupun teknologi yang menyertainya, selanjutnya perubahan paradigma pemberitaan media ikutan mengalami perkembangan dari masa ke masa.

Tak terkecuali kehadiran media dalam meliput, mengolah, dan menyebarluaskan suatu peristiwa atau kejadian mengalami pula perkembangan hingga menemukan formula yang menyesuaikan dengan zamannya.

Dulu di era orde lama,  kehadiran media (massa) diperlukan atau dimanfaatkan untuk mendukung/menyiarkan nilai-nilai perjuangan bangsa setelah Indonesia merdeka. Nilai kejuangan sebagai bangsa yang baru merdeka menggema di hampir setiap pemberitaan-pemberitaannya.

Demikian halnya di era orde baru kehadiran media dianggap penting sebagai "corong" untuk memantabkan pelaksanaan pembangunan nasional. Salah satu implikasinya tidaklah mengherankan bilamana keberadaan media di-subordinasikan dalam sistem pemerintahan.

Selama tigapuluh dua tahun media cenderung lebih dititikberatkan untuk difungsikan sebagai pemerkuat hegemoni kekuasaan sehingga (terutama) kontrol sosial berlangsung kurang optimal. Kalaupun ada "kritik pedas" sebagai sikap kritis di kalangan media -- paling tidak harus mau berhadapan dengan peringatan keras yang berujung pada pembredelan.

Sejak reformasi bergulir ditandai lengsernya rezim orde baru, keberadaan media (pers) semakin menemukan bentuknya terutama terkait dengan kebebasan atau kemerdekaan yang melekat pada salah satu fungsinya. Kondisi demikian semakin memperkokoh keberadaan media sebagai pilar keempat demokrasi di samping trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Lahirnya Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers yang berlaku hingga sekarang telah menunjukkan gegap gempitanya sebuah kebebasan atau kemerdekaan yang diperjuangkan sejak orde sebelumnya. Ini ditemui dalam di Bab II Pasal, 3 sampai dengan Pasal 6 dan Bab III Pasal 7 dan 8, serta Bab IV Pasal 9 s/d Pasal 14.

Di antara pasal-pasal terkait kebebasan pers ini dapat dilihat pada Pasal 3 yang menyebutkan, kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Demikian dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara. Ayat (2) menjelaskan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Ayat (3) menyatakan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Kemudian ayat (4) menyebutkan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

Cupilkan lain mengenai kebebasan pers, telah pula dijamin dalam Pasal 9 ayat (1), setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Adapun ayat (2) menyatakan, setiap perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia.

Dimensi kebebasan semakin luas

Dilihat dari pasal-pasal seperti dipaparkan di atas menunjukkan bahwa dimensi kebebasan atau kemerdekaan yang melekat pada tubuh pers tampak semakin luas, tidak hanya dalam lingkup politis bahkan hingga menyangkut soal kepentingan ekonomi atau bisnis seperti yang tercantum dalam Pasal 9 tersebut, maka sejak itulah booming pendirian perusahaan pers atau media massa terjadi, tumbuh bak jamur di musim penghujan.

Angin segar untuk memfungsikan media sebagai "barang ekonomi" semakin mendapatkan tempat dengan lahirnya regulasi yang membolehkan media penyiaran komersial beroperasi di Indonesia. Ini sekaligus menjadikan momentum yang pas bagi media arus utama (mainstraim media) berkiprah mengepakkan sayapnya ikutan arus globalisasi.

Dalam konteks ini, pastinya perlu dipahami bahwa globalisasi tidaklah jauh berbeda dengan liberalisasi sehingga melalui konsepnya yang lazim disebut dengan paradigma kekinian selanjutnya media massa menerapkan apa yang disebut ekonomi politik media, menjadikan berita sebagai  sebuah komoditas yang mempunyai nilai tukar.

Implimentasi dari konsep tersebut, tidak jarang sebuah peristiwa atau kejadian yang berhasil diliput, digali atau dihimpun oleh awak media kemudian "diolah sedemikian rupa" (dibingkai) kemudian disajikan kepada khalayak  agar mendapat banyak perhatian dengan sasaran target audiennya meningkat.

Bagi kalangan awam, seringkali berita-berita yang disampaikan melalui media di era kekinian tidak sesuai dengan realitasnya. Atau dalam istilah yang paling banter terdengar adalah "pemelintiran berita" atau sebutan serupa.

Penyebutan atau penilaian oleh para awam tersebut tentu tidak salah, namun menjadi penting dipahami dan disadari bahwa itulah paradigma yang digunakan oleh media massa modern dalam upaya meraup kepentingan bisnisnya demi kelangsungan perusahaan.

Dalam kaitan ini, jangan heran bilamana muncul dalam acara infotainment atau sejenisnya disuguhkan kehidupan para artis, keretakan keluarga, bahkan menyangkut wilayah privasipun diungkap tuntas supaya khalayak atau pemirsa terperangah, terharu dan tentunya terpikat untuk berlama-lama menerima terpaan media yang bersangkutan.

Tidak hanya itu, apapun peristiwa atau kejadian yang sekiranya mengundang perhatian khalayak luas -- akan "dikemas" sedemikian menariknya agar memikat para konsumen berita. Dilihat dari teknik peliputan dan sumber informasinya saja yang cenderung satu sisi (onesdie coverage)  mengindikasikan bahwa terkandung tendensitas yang masih layak dicermati.

Nah, yang sering menjadi persoalan atas kehadiran media massa modern dengan pola tingkahnya yang sudah mengindustri (mengglobal) seperti sekarang, tentu hal demikian menurut penulis perlu terus dikritisi.

Untuk pemberitaan yang bersifat hiburan, mungkin masih bisa dipahami bahwa topik yang disampaikan kepada khalayak dikomodifikasi sesuai "ramuan" awak media untuk meraup rating dan profit sebanyak mungkin seiring kebebasan/kemerdekaan yang dimiliki.

Namun yang patut disayangkan atau celakanya kalau berita-berita tentang bencana serius yang mengundang banyak korban harta dan nyawa manusia ini -- dibingkai atau dikemas (dikomodifikasi) sedemikian biasnya sehingga efek-efek atas  pemberitaan justru menambah persoalan baru.

Berkait masalah tersebut, penulis pernah diminta untuk menulis di sebuah jurnal salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta di sini. Dan kitapun masih akan selalu berharap kepada media apapun bahwa jangan "permainkan" berita bencana (terutama bencana alam) yang merenggut banyak korban dengan sajian informasi yang tidak akurat sehingga berdampak mengganggu stabilitas sosial dan keamanan. 

Jika ini diabaikan, sama halnya media telah "merampas" ruang publik (publicsphere) yang seharusnya digunakan atau dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama.

Link terkait.

JM (18-6-2018).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun