Dilihat dari pasal-pasal seperti dipaparkan di atas menunjukkan bahwa dimensi kebebasan atau kemerdekaan yang melekat pada tubuh pers tampak semakin luas, tidak hanya dalam lingkup politis bahkan hingga menyangkut soal kepentingan ekonomi atau bisnis seperti yang tercantum dalam Pasal 9 tersebut, maka sejak itulah booming pendirian perusahaan pers atau media massa terjadi, tumbuh bak jamur di musim penghujan.
Angin segar untuk memfungsikan media sebagai "barang ekonomi" semakin mendapatkan tempat dengan lahirnya regulasi yang membolehkan media penyiaran komersial beroperasi di Indonesia. Ini sekaligus menjadikan momentum yang pas bagi media arus utama (mainstraim media) berkiprah mengepakkan sayapnya ikutan arus globalisasi.
Dalam konteks ini, pastinya perlu dipahami bahwa globalisasi tidaklah jauh berbeda dengan liberalisasi sehingga melalui konsepnya yang lazim disebut dengan paradigma kekinian selanjutnya media massa menerapkan apa yang disebut ekonomi politik media, menjadikan berita sebagai  sebuah komoditas yang mempunyai nilai tukar.
Implimentasi dari konsep tersebut, tidak jarang sebuah peristiwa atau kejadian yang berhasil diliput, digali atau dihimpun oleh awak media kemudian "diolah sedemikian rupa" (dibingkai) kemudian disajikan kepada khalayak  agar mendapat banyak perhatian dengan sasaran target audiennya meningkat.
Bagi kalangan awam, seringkali berita-berita yang disampaikan melalui media di era kekinian tidak sesuai dengan realitasnya. Atau dalam istilah yang paling banter terdengar adalah "pemelintiran berita" atau sebutan serupa.
Penyebutan atau penilaian oleh para awam tersebut tentu tidak salah, namun menjadi penting dipahami dan disadari bahwa itulah paradigma yang digunakan oleh media massa modern dalam upaya meraup kepentingan bisnisnya demi kelangsungan perusahaan.
Dalam kaitan ini, jangan heran bilamana muncul dalam acara infotainment atau sejenisnya disuguhkan kehidupan para artis, keretakan keluarga, bahkan menyangkut wilayah privasipun diungkap tuntas supaya khalayak atau pemirsa terperangah, terharu dan tentunya terpikat untuk berlama-lama menerima terpaan media yang bersangkutan.
Tidak hanya itu, apapun peristiwa atau kejadian yang sekiranya mengundang perhatian khalayak luas -- akan "dikemas" sedemikian menariknya agar memikat para konsumen berita. Dilihat dari teknik peliputan dan sumber informasinya saja yang cenderung satu sisi (onesdie coverage) Â mengindikasikan bahwa terkandung tendensitas yang masih layak dicermati.
Nah, yang sering menjadi persoalan atas kehadiran media massa modern dengan pola tingkahnya yang sudah mengindustri (mengglobal) seperti sekarang, tentu hal demikian menurut penulis perlu terus dikritisi.
Untuk pemberitaan yang bersifat hiburan, mungkin masih bisa dipahami bahwa topik yang disampaikan kepada khalayak dikomodifikasi sesuai "ramuan" awak media untuk meraup rating dan profit sebanyak mungkin seiring kebebasan/kemerdekaan yang dimiliki.
Namun yang patut disayangkan atau celakanya kalau berita-berita tentang bencana serius yang mengundang banyak korban harta dan nyawa manusia ini -- dibingkai atau dikemas (dikomodifikasi) sedemikian biasnya sehingga efek-efek atas  pemberitaan justru menambah persoalan baru.