Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mempertimbangkan Arus Balik Komunikasi Politik

24 April 2018   23:17 Diperbarui: 24 April 2018   23:19 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun pelaksanaan Pemilihan Presiden (Pilpres) masih akan berlangsung tahun 2019 namun komunikasi politik belakangan ini sudah menyeruak ke permukaan. Hal demikian ditandai munculnya statemen-statemen atau pernyataan para elit parpol bertendensi politis terutama dengan sasaran pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) -- Jusuf Kalla.

Di antara statemen atau pernyataan yang paling banyak mengundang respons, menjadi trending topic dimana-mana, bahkan viral di media sosial yaitu menyangkut dikotomi "partai setan" (hizbusy syaithan) versus "partai Allah" (hizbullah). Demikian pernah disampaikan Amien Rais saat memberikan tausiyah usai mengikuti Gerakan Indonesia Salat Subuh berjemaah di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (13/4/2018) pagi.

Menyeruaknya pernyataan ini tentu bisa dipahami, banyak hal yang ikut melatar belakangi, antara lain: semakin menguatnya dukungan dari berbagai kalangan terhadap Jokowi sehingga upaya dari berbagai pihak terutama "lawan politik" untuk menurunkan citra Jokowi serta partai-partai pendukungnya dan dilakukan melalui berbagai jurus untuk membentuk/memengaruhi opini publik.

Dalam perspektif kritis (paradigma kritis) hal demikian wajar adanya. Dunia akan sepi tanpa adanya sikap kritis tersebut. Hanya saja mengingat keterbatasan cara pandang dan kebanyakan orang dalam mengonsumsi berita masih menerima secara apa adanya sehingga persepsinya pun akan berbeda termasuk dampak atas pemberitaan media.

Pernyataan yang dibingkai dalam kata/ kalimat atau pilihan bahasa dalam konteks yang bernuansa politis akan menjadi jelas bilamana dibahas melalui analisis framing atau analisis wacana kritis. Langkah untuk memaknai apa yang tersirat  diharapkan bisa membongkar kandungan isi maupun pemikiran melalui analisis tersebut.

Nah yang menjadi kurang elok dalam konteks tersebut adalah dikait-kaitkannya urusan agama masuk di dalam pernyataan itu. Agama cenderung dimanfaatkan sebagai alat perjuangan politik, yang selama ini rentan terhadap terjadinya konflik kepentingan.

Ini yang perlu kita pahami dan sadari bahwa politik merupakan representasi otonomi dunia yang tidak seharusnya dikaitkan dengan urusan agama hingga menyebut Tuhan atau Allah. Akan lebih elok bilamana para elit/politisi bekerja sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat dan bangsa.

Dikotomi "partai setan" (hizbusy syaithan) versus "partai Allah" (hizbullah) barang tentu mengundang respons di sana-sini, bahkan partai-partai politik pendukung Jokowi merasa terganggu dengan pernyataan tersebut. Belum lagi massa rakyat yang sama-sama mempunyai pendukung dalam jumlah besar semakin terkotak-kotak dan ini (jika masing-masing tidak melakukan konsolidasi) sangat mungkin menambah persoalan baru.

Sekilas gambaran tersebut sekaligus menampakkan fenomena "permukaan gunung es" dan kurang memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi yang sedang dibangun selama ini.

Dalam konteks komunikasi, sesungguhnya komunikasi politik yang disampaikan para elit parpol bukanlah semata berjalan linier. Dampak lebih jauh menjadi layak dipertimbangkan karena bilamana terjadi blunder dalam menyampaikan pernyataan -- maka arus balik komunikasi politik justru akan menggugah sikap/perilaku kontraproduktif antarpendukung kandidat yang dijagokan dalam Pilpres 2019.

Memang tidaklah mudah membangun demokrasi di tengah pluralisme masyarakat dan struktur sosialnya yang cenderung tidak kondusif terhadap toleransi. Secara umum karakter masyarakat kita sangat rentan terhadap berbagai konflik, fragmentasi, dan menajamnya tingkat polarisasi sosial -- akan mudah terprovokasi bilamana disulut oleh pihak-pihak tertentu yang kurang bertanggungjawab.

Kini yang patut dipertanyakan, apakah institusi-institusi sosial dan politik di negeri ini sudah siap melakukan perubahan paradigma berdemokrasi dalam lingkup internal? Kecenderungan yang ada di kalangan parpol, ormas, organisasi keagamaan, dan lainnya masih menampakkan konfliknya. Persoalan ini sangat mendasar dan patut digugat bilamana diharapkan sebuah perubahan sistem demokrasi.

Mengaitkan isu-isu agama dalam komunikasi politik menjelang Pilpres 2019 sudah saatnya dihindari. Sudah waktunya kita tinggalkan polarisasi ideologi yang mengundang masalah berkepanjangan dan pastinya hal demikian kurang baik dalam upaya pencerdasan politik anak bangsa.

Isu-isu bermuatan SARA dimanfaatkan untuk mencari dukungan politik sekali lagi patut dipertimbangkan, terlebih mengingat dampaknya berupa arus balik komunikasi politik yang jika tak terkendalikan justru akan memecah persatuan dan kesatuan yang sudah terbangun selama ini.

Demokratisasi sebagai salah satu tuntutan reformasi memang terus berjalan, demikian halnya demokrasi komunikasi selalu dijamin. Namun mengingat kultur politik yang kurang mendukung sehingga semuanya dapat dikatakan hanya "berjalan di tempat." Reformasi yang didengung-dengungkan (tuntutannya: demokratisasi, supremasi hukum, menjunjung HAM) nampak masih sedang mencari bentuknya, entah sampai kapan.

JM (24-4-2018).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun