Persoalan pengangguran hingga kini masih menjadi perbincangan yang tak pernah ada usainya. Terutama di negeri tercinta ini, walaupun dari tahun ke tahun belakangan terjadi fluktuasi naik turunnya angka pengangguran -- namun jumlahnya tetap berada di kisaran 7 (tujuh) juta orang lebih atau sekitaran lima persen dari seluruh penduduk.
Terhadap persoalan ini, pemerintah telah berupaya untuk meminimalisir jumlah pengangguran melalu berbagai kebijakan yang akan mendorong penciptaan lapangan kerja (dalam Kompas.com - 17/08/2016) seperti  penyediaan anggaran infrastruktur melalui APBN, BUMN dan swasta. Pemerintah juga akan mendorong investasi khususnya investasi di industri padat karya.
Di samping itu pemerintah juga akan mempersiapkan tenaga kerja dengan keahlian tertentu sesuai dengan permintaan industri atau investor. Salah satu program prioritas 2017 adalah meningkatkan pendidikan vokasi dan keahlian tenaga kerja.
Nah itulah sekilas deskripsi pengangguran di negeri ini, belum lagi kalau para penganggur menunggu terbentuknya struktur kelembagaan yang akan bersedia menampung tersebut masih menunggu dalam waktu tertentu, seiring pertumbuhan ekonomi yang hingga kini masih berproses menjalani rencana untuk mencapai targetnya.
Pada sisi lain, Â era pasar bebas dengan karakter liberalisasinya terus merasuk hingga tenaga kerja (buruh) asingpun masuk ke Indonesia menyebabkan persaingan semakin sengit. Sangat dimungkinkan kita tersisih untuk merebut peluang kerja karena mereka lebih memiliki skilldan bekerja sesuai ketentuan standard internasional.
Kehadiran teknologi modern juga secara langsung atau tidak -- akan turut serta memberikan andil terhadap keputusan rasionalisasi tenaga kerja. Sistem dan mekanisme kerja yang lebih efisien dan efektif telah menjadikan pilihan sehingga pengurangan tenaga kerja akan menambah jumlah pengangguran di kemudian hari.
Menyikapi kondisi demikian, akankah para pencari kerja (penganggur yang jumlahnya bertambah) selalu menunggu dan terus menunggu tawaran atau peluang kerja dari lembaga/organisasi seperti perusahaan-perusahaan, maupun lowongan kerja di sektor jasa termasuk menunggu pendaftaran penerimaan pegawai negeri/aparat sipil negara? Bukankah itu semua memerlukan proses waktu, seleksi dan banyakan justeru yang tidak diterima.
Dalam hal ini kita harus jujur bahwa cara pandang yang lemah terhadap dunia kerja. Pada umumnya orang menunggu peluang dan selalu ketergantungan pada struktur sosial (lembaga/instansi, baik pemerintah maupun swasta) yang menyediakan lapangan kerja. Ini sudah saatnya ditinggalkan. Langkah menciptakan peluang perlu kita bangkitkan sehingga jiwa kemandirian tumbuh untuk menyukupi kebutuhan hidup.
Banyak peluang bisa diciptakan, salah satunya adalah menekuni dunia kepenulisan (karya fiksi atau non-fiksi)Â yang menurut saya tak akan pernah mengalami bangkrut, lebih mandiri, jauh dari ketergantungan orang lain (leluasa), tidak harus menunggu peluang (tetapi mampu melihat peluang dan mengembangkan sesuai kapasitas), lebih demokratis, ide/gagasan yang disampaikan kepada khalayak bisa bermanfaat atau setidaknya ikut serta menunjang (to support) terhadap perubahan sosial. Pentingnya lagi untuk dipahami bahwa dunia penulisan bisa menghasilkan reward (penghasilan) serta tidak akan pernah dipensiunkan.
Berdasar pengalaman, mungkin pula orang lain mengalami hal serupa, bahwa saya pribadi berminat dalam dunia kepenulisan sejak menginjakkan kaki di lingkungan kampus di mana pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (science) Â semakin menghiasi hidup dan kehidupan keseharian.
Banyak bahan bacaan/pinjam buku perpustakaan, banyak berdiskusi, dan banyak paper/makalah yang telah saya susun, tadinya hanya dikonsumsi untuk kalangan internal -- (setelah diolah/editing, ditambah perspektif baru, disesuaikan gaya/bahasa media penerbitannya) ternyata melalui seleksi redaktur banyak yang bisa dimuat untuk dipublikasi dan dikonsumsi khalayak.
Mengurangi kegiatan demonstrasi dan mengalihkan pada dunia menulis untuk dipublikasikan melalui media massa sama halnya ikut menyumbang pemikiran terhadap perubahan sosial di negeri ini. Seperti di lingkungan kampus sendiri waktu itu ada penerbitan/tabloid 'Gelora Mahasiswa' Bulaksumur, dan di kota Yogyakarta banyak penerbitan pers seperti: Harian Bernas, KedaulatanRakyat, Masakini, Eksponen, Yogya Post, serta banyak penerbitan majalah lokal.
Penerbitan-penerbitan Itu menjadi 'lahan untuk menanam tulisan/artikel/reportase' bahkan merambah ke lokal Jawa Tengah: Harian Suara Merdeka, Harian Sore 'Wawasan' serta di Jawa Timur: Surabaya Post, Jawa Pos, Karya Nyata, Â Jawa Barat: Bandung Pos. Sedangkan penebitan lokal luar Jawa: Â Bali Post (Denpasar), Banjarmasin Post(Banjarmasin), dan Harian Pedoman Rakyat (Ujungpandang/Makassar) -- semuanya pernah memuat tulisan/artikel yang saya kirim.
Dari sekilas gambaran nyata itu sudah membuktikan bahwa dunia kepenulisan  sesungguhnya = profesi. Semua orang bisa melakukan, hanya bermodalkan kemauan dan selalu menambah pengetahuanatau wawasan. Menjadi penulis tidak harus berpendidikan tinggi, semua orang boleh ambil bagian, tidak pula memandang usia, jenis kelamin, kedudukan, atau status sosial lainnya. Percuma saja selalu menyandang embel-embel/gelar dan status sosial tetapi tidak pernah menulis dan dipublikasikan kepada khalayak, ilmunya tak memberikan arti bagi masyarakat luas.
Di samping sudah biasa menulis, sayapun sejak dulu bekerja sebagai pegawai di lingkungan birokrasi. Namun kalau boleh memilih, menulis manjadikan pilihan karena lebih bisa mengembangkan kreativitas, tidak terikat sistem/mekanisme kerja organisasi, punya ruang lingkup luas, di manapun dan kapanpun bisa menyampaian ide/gagasan yang kita tulis. Lagi pula di dunia birokrasi kerapkali berurusan dengan kalangan struktural, di mana sesuatu yang seharusnya ada menjadi tiada dan yang seharusnya tiada malahan menjadi ada. Di sinilah salah satu kekurang nyamanannya.
Dunia kepenulisan tentu banyak menjanjikan, mulai dari menulis buku, artikel jurnal (terakreditasi atau belum terakreditasi), majalah (semi ilmiah atau populer), menjadi editor, pemakalah dalam seminar, menyusun tutorial untuk pemberdayaan masyarakat desa, bahkan seringkali diminta untuk membantu menulis naskah pidato pejabat daerah dengan topik tertentu merupakan kegiatan menulis yang tak akan ada hentinya. Pendek kata, pekerjaan menulis itu tidak akan pernah mengenal istilah > pensiun! Berbeda dengan bekerja di lingkungan pemerintahan atau swasta, apapun kedudukan yang disandang pada saatnya nanti pasti diberhentikan karena sudah waktunya menerima gelar 'pensiunan.'
By the way, di lingkungan dekat kita sendiri (di lingkup Kompasiana), banyak peluang yang bisa ditangkap dan dikembangkan. K-Rewards, Kolaborasi Interaktif Kompasiana (https://kik.kompasiana.com/hidup-dari-ngeblog/), kompetisi ngeblog dengan berbagai pilihan tema, dan topik-topik lain yang ditawarkan berikut hadiahnya -- merupakan peluang layak untuk pengembangan diri di bidang penulisan.
Apalagi di luaran sana, pilihan pekerjaan berkait dengan dunia penulisan sangatlah banyak jumlahnya. Terlebih di zaman kekinian yang ditunjang kehadiran teknologi informasi telah memberikan kemudahan dalam hal efisiensi. Hanya saja kembali pada sejauhmana kita bisa membaca atau mencari peluang kemudian ikut mengisinya sesuai kemampuan atau kapasitas diri. Â Â
Sebagai wacana penutup, sekali lagi memilih pekerjaan tidak harus selalu menunggu peluang atau menunggu lowongan kerja dari struktur lembaga/instansi baik di lingkungan negeri maupun swasta. Semuanya itu masih memerlukan seleksi, di samping harus memenuhi kualifikasi misalnya ijazah, usia, pengalaman kerja, jenis kelamin, kelakuan baik, kadang pula dituntut harus punyai kendaraan/SIM, belum menikah, dan tetek bengekyang tentu menambah ribet.
Memilih pekerjaan sebagai penulis sesungguhnya cukup menjanjikan, nilai kemandiriannya itulah yang mendorong kita dituntut menjadi semakin kreatif. Menjadi penulis juga secara langsung atau tidak -- ikut meminimalisir jumlah pengangguran yang cenderung membengkak di negeri ini. Di tengah perekonomian yang tidak menentu (berfluktuasi), pertumbuhan ekonomi nasional yang masih berproses, persaingan kerja semakin ketat, penguatan dollar yang kemungkinan merebet terjadi PHK perlu diantisipasi mulai sekarang.
Memang berprofesi sebagai penulis tidak serta merta menjadi kaya raya seperti para konglomerat yang mengelola perusahaan padat modal. Setidaknya dari hasil jerih payah usaha di bidang penulisan bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan yang perlu dipahami bahwa bekerja menjadi penulis tidak semata mengharapkan reward (penghasilan), lebih dari itu membangun relasi dengan berbagai kalangan menjadi penting karena hal ini akan membuka peluang berjangka panjang.
JM (13-4-2018).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H