Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghidupkan Kolom Komentar di Ruang Publik Virtual

10 April 2018   22:22 Diperbarui: 10 April 2018   22:34 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belum dapat dikatakan lengkap bilamana dalam proses komunikasi tidak ditemui apa yang disebut respons atau umpan balik (feedback), yaitu reaksi berupa tanggapan, pendapat atau istilah lain sejenis.

Munculnya respons merupakan suatu tanda bahwa transaksi informasi maupun interaksi berlangsung sehingga pada gilirannya terbangun dinamika sosial dalam diskursus/wacana yang dikemukakan. Respons bisa dalam bentuk isyarat, sisipan simbol dan bahasa verbal.

Lazimnya respons muncul untuk mencapai pengertian yang sama antara komunikator (sumber informasi, penulis)  dan komunikan (pembaca) sehingga kegiatan komunikasi akan berkelanjutan.

Respons bisa juga muncul karena beberapa hal yang perlu ditambahkan untuk saling melengkapi. Sangat dimungkinkan lagi muncul respons justeru kontra terhadap apa yang disampaikan oleh sumber informasi sehingga inipun perlu mendapat cermatan sebagai bentuk interaksi.

Dalam kancah Kompasiana, respons hampir selalu atau kadang kala muncul atas artikel atau karya tulis yang berhasil ditayangkan. Tersedia pilihan penilaian/vote dan kolom komentar yang memang diperuntukkan bagi para pembaca yang budiman.

Siapa saja bisa atau boleh memberikan respons sesuai ide/gagasan, pendapat/opini atau pemikirannya masing-masing. 

Ini  menunjukkan bahwa setiap kompasianer diberi kesempatan sama untuk berbagi, menyampaikan apa yang hendak diungkapkan melalui ruang publik virtual, sehingga aspirasi maupun wacana menjadi semakin berkembang.

Tanpa terkecuali, dilihat dari status sosial para penulisnya sangat beragam, tak terbatas dan tak ditemui kecenderungan diskriminasi. Dari pejabat, tokoh (formal/nonformal), pengusaha hingga rakyat biasa/awam, yang berpendidikan tinggi hingga yang mungkin hanya lulusan sekolah dasar tidak dilarang untuk menulis di Kompasiana. 

Bahkan bagi mereka yang tidak mengenal dunia kampus pun (tidak bergelar) ditemui tulisan-tulisannya bisa menduduki  posisi Headline/Artikel Utama karena menurut pertimbangan admin memang layak. Atmosfir demokrasi komunikasi sangat kental di ruang publik Kompasiana. 

Pada tataran ini,  kehadiran Kompasiana  menampakkan fungsinya sebagai penyalur aspirasi dan informasi bagi seluruh rakyat untuk berpartisipasi, memberi kemudahan akses dalam berbagi informasi dan berinteraksi  secara online bahkan realtime sehingga diharapkan komunitasnya semakin berdaya.

Jika fungsi tersebut hidup dan terus berjalan,  tentunya akan  mendorong terbangunnya civil society yang kuat. Pembelajaran awal berdemokrasi  dalam artian menyampaikan aspirasi, memberikan respons berupa penilaian/vote atau berkomentar  dari, oleh, untuk siapapun perlu dihargai, diapresiasi dan mestinya lagi menjadi layak dipahami.

Nah, persoalan atau masalahnya sekarang tidak lain yaitu sejauhmana respons yang telah berlangsung dalam ruang publik virtual, termasuk di Kompasiana?

Tentunya tidak elok bilamana dalam membahas sesuatu tanpa cermatan sebagai bahan analisis yang dikemukakan.   Sebab itu, berdasarkan pengalaman penulis berpartisipasi aktif secara acak selama beberapa bulan terakhir dan ikutan memberi vote/penilaian serta ikut berkomentar setelah membaca karya-karya tulis dalam lingkup ruang publik Kompasiana -- ditemui bahwa respons (terutama komentar) dari para pembaca yang budiman cenderung belum optimal.  Namun untuk vote/penilaian lumayanlah, hampir semua kolom yang tersedia dimanfaatkan.

Barang tentu banyak faktor penyebabnya mengapa kolom komentar menjadi kurang optimal difungsikan.  Sangat boleh jadi di antaranya dikarenakan topik tulisan/artikel yang berhasil ditayangkan kurang menggugah, kurang memenuhi kepentingan umum/tuntutan masyarakat, minim nilai proksimitas, dan faktor subyektivitas lainnya.

Dilihat dari sisi sumber informasinya, mungkin si penulis tergolong orang super sibuk sehingga komentar tak berbalas, interaksi sosialpun mandeg. Bahkan pula ada penulis yang mungkin berkarakter "cuek bebek"  mau tulisan direspons atau tidakpun tak masalah.

By the way, yang penting nulis, karyanya sudah terpublikasikan, aktualisasi diri, aspirasi maupun uneg-unegnya tersalurkan dan respons yang muncul tak dianggap perlu, apalagi dibalas, show must go on!

Sedangkan dari sisi pembaca, bisa jadi kemampuan memaknai sebuah tulisan/artikel yang tidak sama, bisa juga mengalami "gagal paham" sehingga tidak punya "amunisi" atau kurang berani/takut untuk memberikan respons atas karya tulis yang telah dibacanya. 

Hal ini terlihat dari tulisan/artikel-artikel yang sesungguhnya cukup berbobot malahan cenderung minim mendapatkan komentar, ibarat patung yang berada di tengah keramaian -- hanya dilirik tanpa mendapat perhatian apalagi diapresiasi pengunjung. Kalaupun jumlah view-nya banyak, sangat mungkin tulisannya dikonsumsi oleh  mereka (netizen) di luaran sana alias yang bukan kompasianer.  

Kehadiran Kompasiana yang kini terus bertransformasi seiring perkembangan teknologi informasi  sesungguhnya telah memberi kenyamanan dan kemudahan kepada kita semua untuk layanan konektivitas, bertransaksi informasi, berinteraksi bahkan memungkinkan kita untuk berkolaborasi sekaligus  membangun dinamika sosial mencapai masa depan yang semakin baik.

Dan saya pun sebagai salah satu kompasianer tentunya patut untuk mengucapkan terimakasih atas penyediaan ruang publik virtual selama ini.

Menjadi perlu untuk diketahui, bahwa berkontribusi melalui cara menyumbangkan tulisan di Kompasiana sama halnya dengan kita sudah masuk dalam kegiatan berkomunikasi antarsesama. Berkomunikasi secara utuh/lengkap bilamana topik yang disampaikan telah mengundang respons (feedback) untuk mencapai pengertian yang sama, syukur bisa mendorong pengayaan wawasan antarkompasianer.

Memang komentar dalam hal ini tidak "diharuskan" namun akan lebih afdol bilamana proses komunikasi  dilengkapi unsur berupa respons para pembaca sehingga berlangsung interaksi sosial yang selanjutnya akan menumbuhkan  perkembangan walaupun dalam artian sebatas kognitif.

Menghidupkan kolom komentar di ruang publik virtual memang membutuhkan proses pembelajaran bersama. Itu semua sangat bergantung pada tingkat pemahaman siapa saja yang terlibat di dalam proses komunikasi. Hal ini juga mengingat bahwa budaya berkomunikasi akan tercipta di dalam setiap komunitas dan teknologi yang dipergunakan.

Nampaknya kompasiana sebagai saluran berita dan opini masyarakat (Citizen News and Opinion Channel) sejak 16 Januari 2018 lalu menaruh atensi dan sebagai kebijakan akomodatif dengan menambahkan satu fitur yang memungkinkan terpilih salah satu komentar dengan sebutan: KOMENTAR TERPOPULER. Ini sekaligus mengindikasikan bahwa kolom komentar merupakan bagian yang juga penting dalam menumbuh-kembangkan interaksi antara penulis dan pembaca yang budiman,  sehingga pada gilirannya akan menunjang dinamika sosial.

JM (10-4-2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun