Hari ini, Rabu (17 Februari 2016) bertempat di Bangsal Kepatihan, Gubernur DIY Sri Sultan HB X secara resmi melantik tiga pasangan Bupati dan Wakil Bupati yang baru terpilih, yaitu Drs. H. Suharsono dan H. Abdul Halim Muslih sebagai Bupati/Wakil Bupati Bantul. Badingah dan Immawan Wahyudi sebagai Bupati/Wakil Bupati Gunungkidul, Sri Purnomo dan Sri Muslimatun sebagai Bupati/Wakil Bupati Sleman.
Dalam acara pelantikan Bupati dan Wakil Bupati untuk masa bakti 2016-2021 dari hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 2015 yang berlangsung hikmat tersebut, Sri Sultan HB X mengambil sumpah ketiga pasangan bupati/wakil bupati. Usai pembacaan petikan putusan Menteri Dalam Negeri yang dilakukan oleh Sultan, ketiga kepala daerah dan wakilnya kemudian masing-masing menandatangani pakta integritas.
Pada prosesi pelantikan ketiga pasangan Bupati dan Wakil Bupati, Sri Sultan HB X menginginkan bahwa para bupati yang telah dilantik - bisa bekerja sebaik mungkin. "Saya percaya saudara akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Semoga para bupati dapat bersinergi dengan Pemda DIY dalam mengambil kebijakan serta mendapat dukungan masyarakat,” imbuhnya.
Bekerja sebaik mungkin sesuai tugas dan tanggung jawab dan juga dapat bersinergi dengan Pemda DIY ini sesungguhnya merupakan kalimat yang mempunyai/memiliki penuh makna dan sangat substansial menyangkut berbagai bidang atau aktivitas yang akan dilakukan dalam rangka memberdayaan segenap potensi di wilayah masing-masing.
Betapa tidak, secara umum harapan Sri Sultan tersebut menghendaki bahwa para bupati baru yang telah dilantik itu dapat bekerja sesuai amanah yang diemban, dapat melaksanakan berbagai bidang sesuai visi dan misi, tujuan, sasaran, program, indikator kinerja dalam suatu sistem maupun mekanisme kerja secara proporsional sekaligus professional.
Sedangkan, pada kalimat yang menyebutkan bersinergi dengan Pemda DIY dalam mengambil kebijakan mengisyaratkan secara umum bahwa betapa pun di era otonomi daerah di mana masing-masing kabupaten memiliki kewenangan untuk mengurus daerahnya sendiri, namun mengingat kabupaten Bantul, Gunungkidul, dan Sleman merupakan bagian dari wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) maka masing-masing kebijakan yang diputuskan di daerah diharapkan bisa menyesuaikan diri.
Menyesuaikan diri, dalam artian umum bahwa setiap daerah/kabupaten setidaknya memahami relasi/kewenangan diatur berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun klasifikasi urusan pemerintahan terdiri dari 3 (tiga) urusan yakni urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.
Mungkin perlu dijelaskan, bahwa urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Sedangkan urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Pada lingkup lebih luas, relasi/kewenangan menjadi penting dipahami dan dilakukan karena pelaksanaan pembangunan nasional perlu dilakukan sinkronisasi dan sinergitas sehingga prioritas pembangunan nasional dan pembangunan daerah dapat berjalan serasi, tidak tumpang tindih, dan pada gilirannya mendukung sasaran pembangunan nasional.
Itu semua perlu dipahami oleh masing-masing pemerintah daerah, termasuk Pemkab Bantul, Pemkab Gunungkidul, dan Pemkab Sleman – supaya kebijakan-kebijakan yang dirumuskan atau diputuskan tidak bertumpang tindih dengan kebijakan pemerintah tingkat provinsi (cq. Pemda DIY) maupun pemerintah pusat.
Demikian halnya dalam konteks keistimewaan Yogyakarta, sejalan dengan UU No.12 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan payung hukum yang turut menaungi Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Sleman. Sebagai konsekuensinya, segala proses pembangunan daerah di Kabupaten Bantul, Gunungkidul dan Sleman secara hierarkis tidak akan terlepas dari strategi dan prioritas pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Sebagai contoh: salah satu keistimewaan DIY yaitu di bidang kebudayaan. Dalam Bab IX pasal 31 ayat (1) disebutkan, Kewenangan kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c diselenggarakan untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY.
Sebagai konsekuensi dan implementasi dari pelaksanaan Keistimewaan DIY ini, maka pembangunan di bidang kebudayaan di Kabupaten Bantul, Gunungkidul dan Sleman – akan selalu selaras/serasi dan mengacu pada perundangan yang mengatur tentang keistimewaan tersebut.
Di kabupaten Bantul, Gunungkidul dan Sleman sekitarnya tersebar berbagai kebudayaan dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Semuanya perlu dilakukan identifikasi dan spesifikasi sebagai asset daerah yang sangat berharga, baik kebudayaan dalam bentuk artefak maupun pertunjukan seni dan budaya.
Hasil cipta, rasa, karsa dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta perlu dijaga kelestariannya. Terutama pembangunan di bidang kebudayaan yang lebih ditekankan pada nilai-nilai (value) yang terkandung dalam setiap benda-benda budaya/artefak, baik yang tidak bergerak atau yang bergerak – sehingga nilai-nilai kehidupan yang didukung masyarakatnya itulah yang memberi kontribusi terhadap perilaku para pelaku pembangunan daerah yang membumi, berkearifan lokal (local wisdom), berkarakter dan berjati diri. Di sinilah letak keistimewaan Yogyakarta.
Berjati diri (ber-kepribadian) ini pantas mendapat perhatian dan layak pula digarisbawahi mengingat proses pembangunan, termasuk di daerah selalu bersentuhan dengan globalisasi (era pasar bebas) beserta nilai-nilai liberal yang dibawanya – yang belum tentu berdampak positif sehingga jangan sampai warga Yogyakarta, bangsa Indonesia yang berdaulat dan mandiri akan kehilangan dasar pijakan (identitas kelokalan) berupa kebudayaan daerah yang adiluhung, yang istimewa, sebagai landasan meraih masa depan. Ini tentunya sesuai amanat dalam ideologi Pancasila, sehingga kita menjadi bangsa berdaulat dalam bidang politik, mandiri di bidang ekonomi serta menjunjung tinggi kepribadian/berjati diri sebagai bangsa yang berkarakter. Semoga.
JM (17-2-2016).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H