Ilustrasi, kekerasan pada anak (shutterstock)
Anak sebagai aset bangsa masa depan sesungguhnya layak mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Perlindungan anak belakangan ini cenderung kurang optimal sehingga kasus-kasus yang menimpa kehidupan anak masih sering terjadi dan ditemui di beberapa tempat.
Secara sadar atau tidak, anak masih belum mendapat perlakuan sewajarnya. Entah dilupakan atau terlupakan mengingat semakin padatnya kegiatan duniawi di era global yang berakibat menurunnya perhatian terhadap keberadaan maupun pemberdayaan anak, terutama dalam pembentukan sikap mereka menuju manusia dewasa sebagai penerus generasi.
Kasus-kasus kekerasan terhadap anak merupakan contoh betapa masih diperlukan adanya atensi sekaligus perlindungan terhadap anak. Baik kekerasan simbolik maupun kekerasan fisik masih terjadi sehingga hal ini mengindikasikan bahwa hak asasi anak belum menampakkan perkembangan yang signifikan seperti halnya telah dicanangkan dalam program pemerintah untuk melindungi anak-anak di negeri tercinta ini.
“Minggir kamu, sana ke belakang, ini urusan orangtua, kamu nggak boleh ikutan dengar.” Demikian bentak seorang bapak (ketika sedang berbincang dengan tamu) kepada anaknya yang masih bocah dan lugu. Cara berkomunikasi dengan anak yang terkesan otoriter dan kurang manusiawi ini sesungguhnya dapat dikategorikan ‘kekerasan simbolik’ terhadap anak.
Dalam dimensi lebih luas, kekerasan simbolik bisa juga disampaikan melalui komunikasi tidak langsung, misalnya saja disajikan melalui teks-teks maupun produk informasi visual lewat media yang dipublikasikan dan dikonsumsi oleh anak-anak. Terlebih di era ‘kebebasan pers/media’ yang seringkali disalahartikan untuk memenuhi kepentingan sepihak ataupun ekonomi politik media > telah memengaruhi kesesatan khalayak (anak), walaupun sebatas kognitif. Dampak-dampak psikologis komunikasi lewat media ini seingkali terabaikan dan barang tentu secara tidak langsung ikut andil dalam membentuk pola pikir anak.
Sedangkan kekerasan fisik terhadap anak-anak juga masih terjadi, misalnya kasus yang mencuat belum lama yaitu tewasnya Engeline (8 tahun) di Denpasar Bali merupakan salah satu contoh yang patut menjadikan pemikiran serta menggugah semua kalangan/pihak terkait untuk perduli terhadap hidup dan kehidupan anak di masa mendatang. Terlepas dari motif apa yang melatarbelakangi hingga Engeline tewas, yang jelas proses hukum/peradilan harus tetap berjalan.
Enyahkan kekerasan dan ubah kebiasaan
Masih banyaknya kasus yang menimpa dunia anak, pastinya semua pihak sepakat untuk mengenyahkan perilaku kekerasan (dalam berbagai bentuknya) terhadap anak-anak di muka bumi. Mereka ini sebagai makhluk yang selayaknya tumbuh berkembang menjadi dirinya sebagai manusia yang sesungguhnya mempunyai potensi. Generasi yang lebih tua dan kondisi lingkungan di mana anak berada sudah sepantasnya belajar untuk memahami dunia anak demi pertumbuhan maupun perkembangannya.
Kebiasaan-kebiasaan atau kultur yang kurang mendukung seperti membentak, cenderung merendahkan seorang anak merupakan cara berkomunikasi yang salah. Termasuk pula memanjakan anak terlalu berlebihan hanya untuk memenuhi keinginannya (bukan kebutuhan) tanpa memikirkan dampaknya merupakan kebiasaan yang keliru dan justru akan menyesatkan si anak di kemudian hari. Melalui sikap dan berkerendahan hati dalam memerhatikan pertumbuhan serta pemberdayaan anak maka semuanya itu dapat dilakukan.
Nah, sejenak jika kita kembali mencermati kasus tewasnya seorang bocah bernama Engeline di Denpasar Bali beberapa waktu lalu, akibat telah dilakukan kekerasan fisik, maka beberapa hal pantas menjadi perhatian kita bersama.
Seharusnya Engeline tidak tewas! Penulis berpendapat demikian atas dasar pemikiran bahwa gejala-gejala kekerasan terhadap anak belum/kurang bahkan tidak pernah diperdulikan oleh lingkungannya.
Betapa tidak, orang-orang yang berada/penghuni di sekitar rumah tinggalnya (selain tuan rumah/keluarga) tidak pernah melaporkan kepada RT/RW atau pihak berwenang setempat tentang adanya penganiayaan yang sering dilakukan terhadap Engeline. Demikian halnya di lingkungan sekolah, di kalangan pendidik (baca: guru) sudah mengetahui tanda-tanda bahwa Engeline kerap datang terlambat, berpakaian dan berperawakan lusuh, lebam bekas dipukul seharusnya perlu diseriusi untuk ditelusuri sebab-sebabnya.
Itu semua tidak pernah dilakukan, tidak juga pernah dilaporkan kepada pihak berwenang (kepolisian atau Komnas HAM Anak). Kebiasaan membiarkan kejadian/peristiwa yang sesungguhnya melanggar hukum ini merupakan kultur yang salah dan sudah saatnya diubah. Kebiasaan untuk melaporkan suatu kejadian/peristiwa yang menurut peraturan formal tidak dibenarkan cenderung masih (sangat) rendah di lingkungan kita. Kesadaran hukum dalam arti luas ternyata masih perlu ditingkatkan, terutama keperdulian terhadap anak belum optimal diwujudkan. Kebanyakan beberapa kalangan hanya bisa “berteriak-teriak” setelah peristiwanya berlalu dan membawa korban fatal.
Semoga peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli 2015 ini tidak hanya dilakukan aktivitas seremonial dan hanya bersifat formalitas belaka. Keperdulian terhadap anak masih perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh, perlu ditumbuhkembangkan supaya anak-anak lebih berdaya menapak masa depan mereka. Salam perduli anak :smile:
JM (23-7-2015).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H