Sharing dan connecting, merupakan dua kata yang selalu melekat di benak-ku ketika mulai meng-klik www.kompasiana.com. Hanya dua kata kunci itulah yang seolah terngiang-ngiang dalam telinga untuk melanjutkan langkah awal tatkala jari-jari hendak menari di atas keyboard komputer butut kesayanganku.
Betapa tidak, memasuki kancah dunia maya maka kita akan bertemu sekaligusbergabung bersama khalayak beragam pola, gaya, sikap/perilaku, kepentingan, bahkan berbeda dalam cara memandang suatu masalah – perlu disadari itu semua. Berarti pula, diriku pun menjadi pantas untuk beradaptasi dengan komunitas baru yang saban hari bertumbuh dinamis tanpa henti. Demi membangun relasi, tegur sapa, berucap salam, mengapresiasi sebuah karya merupakan pilihan etis sebagaimana kita manusia berbudaya.
Perkataan berbudaya ini kalau dikatakerjakan menjadi kebudayaan - seringkali hanya sebatas diucap di permukaan, sepintas keluar dari bibir manis tak bermakna dan setelah itu hilang tanpa bekas. Kadang juga kebudayaan tidak sedikit diartikan sebatas benda (artefak) yang berarti sesuatunya tampak atau kasat mata. Akankah cukup sebatas itu pemaknaan budaya bagi kita yang tergabung di komunitas kompasiana?
Lalulintas komunikasi dan informasi terus menerus bersliweran (hilir mudik) bersumber dari setiap warga serta dikonsumsi oleh segenap warga itu sendiri telah menjadi aktivitas sehari-hari. Sejalan dengan sebutannya sebagai media sosial maka ruang publik virtual menjadi milik warga, milik bersama, sedangkan pihak penyedia layanan (baca: www.kompasiana.com) hanyalah menjaga agar server tetap kuat dan lontaran konten tak melanggar ketentuan layanan. Itu semua, tiada lain demi kenyamanan warga sebagai komunitas pengguna.
Bertambah padatnya arus informasi sesungguhnya menjadikan “kekayaan” tersendiri bilamana masing-masing memahami diri. Di sinilah antarkompasianer dapat saling berbagi, berelasi tanpa memandang status. Dalam suasana egaliter demikian tidak ada lagi yang merasa superior bahkan cenderung menyurutkan motivasi dan kreativitas kompasianer terutama para pembelajar, termasuk diriku. he-he…
Untuk mengantisipasi benturan kepentingan, biasanya tercermin dalam beda pandangan atau pemikiran agar tidak semakin menjalar menjadi tindakan/sikap kontraproduktif, ada baiknya kita semua tersadar bahwa kita sebagai insan yang ber-kebudayaan.
Dalam artian sempit, kebudayaan telah dipaparkan di atas. Namun jika dimaknai lebih mendalam lagi maka kebudayaan itu sejatinya merupakan sebuah perilaku (behaviour) didasari nilai-nilai (values) yang dianut dalam kehidupan. Seperti halnya kebersamaan dalam pluralitas dan toleransi yang tinggi, saling menolong, membantu, menghormati, tenggangrasa - merupakan bagian dari nilai-nilai dimaksud. Jika ini yang menjadi dasar pijakan kita berbuat, berperilaku dalam bergaul, betapa indahnya relasi yang terbangun. Saling belajar, saling berbagi dalam suasana asah, asih dan asuh - akan menjadikan orang semakin dewasa dan bijak berteman atau bergaul dengan sesama. Semoga.
JM (15-4-2011).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H