Kalau anda tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya, atau setidaknya pernah beberapa waktu berkunjung ke Yogyakarta, banyak hal menarik sebagai bahan berbagi. Salah satunya yaitu ditemui beberapa tempat di seputar trotoir atau di tepi jalanan - ada warung makan sederhana bertenda plastik biasanya warna oranye atau biru. Nah, itu dia yang namanya warung angkringan. Keberadaan "warung rakyat" ini sering disorot, namun kucoba melihat dari perspektif lain sehingga dapat saling melengkapi. Di tahun 1980-an fenomena warungan di Yogyakarta mulai nampak di beberapa tempat. Jenis warung angkringan sering menjadi ajang makan malam anak kos, sambil berbincang apa saja bersama komunitas setempat. Booming warung ini mulai terlihat ketika memasuki tahun 1990-an, warung angkringan muncul di mana-mana. Hanya saja yang membedakan, pada awalnya warung angkringan hanya buka di malam hari - namun sejak tahun 2000-an seiring jumlahnya yang kian menjamur, maka dapat ditemui warung angkringan buka pada siang dan malam, bahkan ada yang sampai pagi hari. Tumbuh pesatnya "warung rakyat" atau ada yang menyebut "warung koboi" dan ada juga yang menamai "warung kucing" ini sejalan dengan krisis keuangan dan inflasi yang mengakibatkan dayabeli menurun. Warung angkringan datang dengan konsepnya yang murah- meriah- ramah ternyata disambut positif konsumen. Bayangkan saja, hanya dengan membawa uang Rp 3 s/d 5 ribu kita bisa menikmati makan menu sederhana, perut kenyang dan bertambah teman. Berbagai menu tersedia di warung "Angkringan Jamino" Jalan Imogiri Barat Km.5 Yogyakarta, antara lain:
menu
harga
Nasi sambel teri/tempe
1000
Tempe goreng/bacem
500
Tahu goreng/bacem
500
Sate telor puyuh
1500
Kepala ayam goreng
2000
Bakwan goreng
500
Ketela goreng
500
kerupuk
500
Kacang goreng
500
Pisang godok
500
Pisang goreng
500
Teh panas/es
1000
Jeruk panas/es
1000
Kopi panas
1500
Jahe panas
1500
Kopi susu jahe panas
2000
Susu jahe panas
2000
Rokok eceran
1000
Lombok
gratis
Air putih matang
gratis
Yang menarik serta membuat diriku penasaran untuk selalu berangkring-ria adalah suasananya yang khas. Kenapa kusebut khas? Yah bagaimana tidak, warung angkringan ini tak pernah membeda-bedakan pembeli (tak ada diskriminasi), suasananya egaliter banget. Walaupun rata-rata pembelinya kalangan buruh, namun semua tanpa memandang kelas - karyawan/pegawai atau siapa pun boleh nangkring sambil menyantap menu yang telah disediakan. Perbincangan di warung angkringan ini sepertinya tak pernah habis, selalu ada-ada saja. Semakin banyak pembeli maka semakin asyik ngobrolnya, apalagi di antara pembeli sudah saling kenal akrab, obral-obrolnya tambah gencar, banyak topik peristiwa yang datang silih berganti. Mulai peristiwa aktual yang bernilai proksimitas misalnya soal korban bencana alam berkait peristiwa meletusnya Gunung Merapi, pascagempa, hingga masalah banjir lahar dingin yang belakangan ini masih dikhawatirkan melanda kota Yogyakarta dan sekitarnya. Topik yang tak kalah asyiknya sebagai teman santap juga menyangkut gossip soal artis, perempuan cantik penipu, soal sepakbola, atletik, isu lokal, isu-isu nasional kayak rencana Gedung Dewan walau sepintas dibahas tanpa ada penengah sehingga sering ngelantur (melebar) kurang fokus. Itulah yang kusebut sebagai komunikasi warungan, lalu lintas informasinya padat dan berjalan cenderung tanpa batas bak gayung bersambut tanpa menghadirkan sebuah solusi. Informasi dalam komunikasi warungan memang banyak didapat, beragam topik mengemuka meskipun hanya sebatas permukaan. Nah, walaupun tak banyak diperoleh info-info "berkualitas" - setidaknya di warung angkringan aku bisa mengetahui peristiwa apa yang sedang dihadapi atau sedang dipikirkan oleh warga di kalangan komunitas arus bawah. Melalui cara berbaur merakyat inilah diriku semakin memahami apa yang sedang berlangsung dalam kehidupan nyata mereka. Mampir di warung angkringan untuk sekadar membeli segelas kopi jahe panas boleh saja. Hanya ingin menikmati teh/kopi nasgitel (panas-legi-kenthel) juga boleh, bahkan tidak membeli dan hanya ikutan nimbrung nangkring pun tak masalah. Penjual angkringan tidak bakalan marah. Semuanya boleh berbaur untuk saling bertransaksi info aktual atau membincangkan sesuatu yang pernah dilihat, dirasakan, tak terkecuali curhat atau keluhan pun bisa dilontarkan dan ditanggapi santai berbarengan. Di warung-warung angkringan yang lingkungan sekitarnya luas - juga disediakan gelaran (tikar) untuk lesehan bilamana tempat duduk sudah penuh. Di tempat lesehan ini seringkali obrolan berlangsung relatif lama - terutama bagi sekelompok kecil pembeli yang sudah saling kenal lantas duduk bersama membincangkan sesuatu bagi yang memiliki kesamaan kepentingan. Sambil ngobrol di lesehan, mereka bisa memesan tambahan minuman dan menu makanan jika memang diinginkan. Dari sekilas gambaran tersebut, rupa-rupanya dapat diketahui adanya kecenderungan bahwa manusia memanglah sebagai makhluk sosial yang membutuhkan interaksi antarsesama. Komunikasi dalam kelompok terbatas ala warungan merupakan salah satu wadah bertemunya wong cilik (rakyat kecil) untuk saling menyampaikan uneg-uneg yang selama ini mungkin tidak pernah tersalurkan. Di tempat seperti inilah secara langsung mereka berbagi info, saling berkeluh, saling mengutarakan nasibnya di tengah pergulatan panjang yang saban hari dihadapinya. Melalui cara "menggauli" dan lebih dekat dengan mereka serta ikut berpartisipasi merasakan nikmatnya nasi kucing (nasinya memang pulen), sambel tempe dan teri, rasanya diriku lebih menyatu untuk memahami aspirasi masyarakat lapisan akar rumput. Setidaknya dapat menjaring tanggapan, opini, pandangan, keluhan, curahan hati dalam menyoroti peristiwa atau kejadian berkait kepentingan rakyat yang terus berkembang selama ini. JM (8-4-2011).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H