Sudah merupakan kelaziman di antara kita bahkan terbiasa mengucapkan rasa bersyukur setelah memperoleh nikmat. Ungkapan yang pantas dikemukakan terutama kepada pihak-pihak yang telah memberikan sesuatu kepada kita adalah dengan menyampaikan/mengucapkan: terimakasih.
Jika kita cermati dalam kegiatan sehari-hari, ternyata banyak di antara kita mengucapkan terimakasih disertai berbagai embel-embel, setelah atau sebelum kata itu disampaikan atau diucapkan. Paling sering ditemui ungkapan tersebut ketika dilangsungkan sambutan misal: penerimaan tamu, upacara-upacara peresmian – pembukaan - penutupan berbagai kegiatan, dan lain-lain.
Entah sadar atau tidak, entah apa maksud dan tujuan kenapa selalu disertakan embel-embel atau tambahan kalimat yang cukup variatif tersebut? Beberapa di antaranya sebagai berikut:
- Terimakasih yang sebanyak-banyaknya…
- Banyak-banyak terimakasih…
- Terimakasih yang sebesar-besarnya…
- Terimakasih yang sedalam-dalamnya…
- Terimakasih yang setinggi-tingginya…
- Terimakasih yang tak terhingga…
- Terimakasih sekali…
dan sebagainya.
Nah, bukankah pengucapan terimakasih disertai embel-embel itu merupakan cara yang tidak efisien? Nampak sepele, namun mengajak kita berpikir sejenak untuk menyoba “merasakannya” maksud-maksud tersebut. Kadang dalam hati sempat geli bercampur lucu setelah mendengar ungkapan tersebut.
Dalam konteks catatan ini kita tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Hanya saja kenapa selalu diucapkan seperti itu dan bukankah cukup menyebutkan: Terimakasih. Bagaimana menurut anda?Selamat berhari Minggu !
JM (10-4-2011).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H