untuk matahari
mungkin aku lebih luput berterimakasih
daripada memakimu
pun para penyair bohong-bohongan, misalnya aku
lebih menganak-tirikanmu dibanding bulan
atau lebih puas melihatmu lelah sebagai senja
kau tahu, aku hanya butuh teduh
teduh yang sederhana
sesederhana burungburung yang nangkring di ranting
tapi di sini kota, aku kira kau memakluminya
teduh di sini adalah ada di kekakuan bangunan
dan aku amat takut pada teduh semacam itu
yang semakin menjadikan mataku beku
di sini ranting dicukupi sembarang pohonan yang renggang
sinarmu yang mencoba menjarah sisa-sisa angin
seperti menghempaskanku pada api pemanggang
lidahku semakin akrab dengan sumpah serapah
dan keluh kesah
pujipuji hanya ketika menjelang malam
dan selepasnya
begitulah penyair sundal sepertiku
matahari, tubuhmu dicap dengan umpatan-umpatan garang
apalagi di tempat gersang, di kotaku
mungkin tinggal para ibu yang menjemur pakaian basah
yang akan tetap melihatmu dengan riang
atau sepasang kekasih yang tengah bermesraan
saat kau hendak terbenam
setelah itu mereka pun berlalu, ke dalam rumah
dan kau kembali sendirian, mendengar kesah orang-orang
berulang-ulang!
[JM; Jakarta, 17 Oktober 2011]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H