Dua orang berbeda agama, berkawan dekat. Keduanya baik satu sama lain. Orang pertama beragama X, sering merasa iba terhadap orang kedua yang beragama Y.
"Sayang sekali, orang sebaik kawanku ini tidak mendapatkan petunjuk untuk memeluk agamaku. Kasihan, dia tidak akan bisa masuk surga. Segala kebaikannya akan tertolak. Karena cuma agamaku yang diterima di sisiNya"
Sebaliknya orang kedua juga berpikiran sama. Menyayangkan nasib temannya yang beragama X yang tidak bakal masuk surga, karena hanya agama Y lah yang diterima di sisiNya."
Berkali-kali mereka saling berdoa diam-diam agar kawannya mendapatkan petunjuk sehingga bisa memeluk agama yang benar.
Mungkin saja, kita juga merasakan hal yang serupa. Kitalah si pemilik agama yang benar itu. Kitalah sang calon penghuni surga itu. Sementara orang lain, saudara kita, kerabat kita, sahabat kita yang berbeda agama, sebaik apapun dia, maka nerakalah tempatnya. Kita, mungkin tanpa sengaja, menjadikan diri kita sebagai hakim. Padahal, sesungguhnya kita tidaklah tahu apa-apa melainkan sedikit saja. Dan akupun begitu. Aku yang memeluk agamaku ini lantaran warisan dari orang tuaku, seringkali mengklaim bahwa orang-orang dari agamaku saja yang layak masuk surga. Duh, Tuhan ampuni hamba...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H