Pasal 66 ayat (1) pada UU Cipta Kerja menggantinya dan menjelaskan bahwa hubungan pekerjaan di antara pekerja, perusahaan subkontrak, dan perusahaan pengguna atau alih daya ditentukan melalui perjanjian tertulis yang menentukan jenis pekerjaan dengan waktu tertentu atau pekerjaan dengan waktu tidak tertentu.Â
Hal ini mengisyaratkan bahwa pengusaha menjadi lebih bebas memerintah buruh untuk melakukan jenis pekerjaan yang diminta oleh pengusaha dan mengaburkan batasan-batasan mengenai pekerjaan jenis apa yang dapat dikerjakan oleh pekerja alih daya.Â
Dua pasal di atas hanyalah segelintir contoh mengenai betapa hukum di Indonesia masih minim keberpihakannya kepada buruh atau pekerja. Undang-undang yang semestinya menjadi produk hukum dan politik penopang regulasi demi melindungi hak-hak buruh, malah menjadi bumerang.Â
Pemerintah selaku pihak yang memiliki otoritas untuk membuat peraturan masih lebih mengunggulkan kesejahteraan investor, namun itu dilakukan dengan mengorbankan kemaslahatan para buruh.Â
Undang-undang ini bukan saja bermasalah dari segi substansi namun juga penggarapannya yang dianggap tidak melibatkan pihak-pihak terdampak, waktu yang terlampau singkat untuk penyelesaiannya, serta jauh dari transparansi kepada publik, sehingga saat ia muncul, tak heran kritik untuknya dilemparkan dari berbagai sisi. Â Â
UU Omnibus Law Cipta Kerja, Inkonstitusional Bersyarat?Â
Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 25 November 2021 menyatakan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja berstatus inkonstitusional bersyarat disebabkan oleh tidak adanya keterbukaan terhadap publik serta ambiguitas sifatnya; apakah merevisi undang-undang yang sudah ada atau membuat undang-undang yang baru. Oleh karena itu, MK masih memberi kesempatan kepada pemerintah untuk memperbaiki UU ini dalam kurun waktu dua tahun.Â
Meski sudah ditetapkan inkonstitusional bersyarat, yang artinya pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi, pada kenyataannya praktis Omnibus Law masih membawa banyak persoalan pelik di meja.Â
Padahal, jika sudah menyandang status inkonstitusional bersyarat, mestinya pemerintah dapat dengan tanggap memperbaiki dan mengevaluasi undang-undang, pemerintah juga bertanggung jawab membuat regulasi yang tetap menguntungkan kedua belah pihak tanpa harus mengorbankan pemenuhan pihak lain (dalam kasus ini adalah buruh atau pekerja).Â
Kurun waktu dua tahun itu sudahkah digunakan seefektif dan seefisien mungkin untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada rakyat? Atau justru dua tahun hanyalah bilangan angka bagi pemerintah untuk terus menutup mata dan abai pada kewajibannya kepada rakyat? Â Â
Keberpihakan pada Investor Berkedok Fleksibilitas? Â