Ketimpangan dalam menilai virginitas terjadi pada norma sosial di Masyarakat. Masyarakat menjadikan patokan bahwa keperawanan merupakan salah satu hal yang harus dan tetap di pertahankan bagi seorang perempuan sebelum melangsungkan pernikahan. Topik tentang masalah Keperawanan sampai sekarang masih di bahas bahkan sampai menimbulkan perdebatan yang serius. Salah satu contoh nyata dari ketimpangan ini adalah banyak pasangan yang memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka karena permasalahan ini. Misalnya dari pihak perempuan diketahui sudah tidak virgin lagi. Perempuan yang telah kehilangan Keperawanannya akan di anggap sebuah aib yang memalukan bahkan di isolasi dari pergaulan Masyarakat. Virginitas menjadi mitos yang sangat sakral, seolah-olah jika perempuan tidak perawan habislah seluruh harapan hidupnya (Sitorus & El-Guyanie, 2009).
Ibarat mendapat barang yang bagus dan berkualias, perempuan yang masih perawan di anggap mampu menjaga kehormatannya karena identik dengan image perempuan baik baik. Perbincangan tentang hal Keperawanan akan terus di bahas di Negara yang masih terikat dengan budaya Patriarki seperti di Indonesia ini. Faktor utama yang akan menjadikan perempuan bermartabat dan memiliki kehormatan yang tinggi akan di nilai dari Status Keperawanannya tidak peduli dari cerita masa lalu perempuan itu misalnya karena korban Pelecehan Seksual, korban Pemerkosaan, Kecelakaan dan lain lain. Ukuran bahwa seorang perempuan masih perawan dinilai dari ada tidaknya pendarahan pada saat berhubungan seksual pertama kali. Faktanya, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur utama untuk menilai sebuah virginitas.
Hymen ( Selaput Dara) merupakan membran tipis seperti kulit, tidak berambut yang mengelilingi lubang vagina yang dapat dilihat dari orifisum vagina saat vagina terbuka. Hymen memiliki variasi ukuran dan bentuk yang beragam. DalM artian ini, bisa di katakan setiap perempuan meiliki kapasitas, bentuk dan ukuran selapur dara yang berbeda. Hymen dapat sering kali hilang atau mengalami yang namanya "perforasi" dalam masa kehamilan lima bulan atau sebelum bayi perempuan lahir karena Hymen sendiri merupakan sisa dari pembentukan embrio. Bahkan, tidak semua perempuan terlahir dengan Hymen. Keberadaan Hymen secara fisiologi anatomi tidak terlihat fungsinya secara jelas, terjadinya robekan pada hymen juga tidak menyebabkan gangguan Kesehatan. Penyebab robeknya selaput dara bisa bermacam -- macam. Tetapi, masyarakat umum hanya mengetahui bahwa selaput dara bisa robek karena telah melakukan hubungan seksual. Selaput dara bisa robek karena perempuan melakukan olahraga yang berlebihan yang dapat merobek hymen. Selain itu Pemerkosaan, Kecelakaan, Pelecehan seksual juga dapat merobek Hymen.
Jika Selaput Dara sampai sekarang tetap di jadikan sebagai tolak ukur Perempuan masih Perawan, itu sangat tidak adil. Perempuan menjadi tersubordinasi karena hal ini. Selaput dara bisa sobek karena berbagai hal bukan hanya karena semata -- mata melakukan hubungan seksual. Jika Keperawanan seorang perempuan di pertanyakan, bagaimana dengan laki -- laki sendiri? Sayangnya, penilian seperti ini tidak berlaku pada seorang laki -- laki. Mereka bebas untuk melakukan hal apa saja tanpa khawatir disaat mereka akan menikah, mereka akan di pertanyakan soal masalah keperjakaannya. Meskipun diketahui laki -- laki sudah tidak dalam status perjaka lagi, itu tidak akan menjadi hal yang perlu untuk diperdebatkan kelak. Penilian dan pemikiran seperti inilah yang menunjukkan adanya bias gender. Salah satunya adalah masalah keperawanan ini, yang sering kali dinilai sebagai sebuah kehormatan, kesucian, dan martabat yang tinggi sehingga mengharuskan perempuan mau tidak mau untuk menjaga moralnya salah satunya dengan cara menjaga keperawanan itu sendiri. Hal ini yang menjadi deskriminasi terhadap perempuan. Sebenarnya sah sah saja untuk menjaga suatu Keperawanan. Itu hak asasi dan akan menjadi sebuah pride (Kebanggaan) pada setiap individu. Tapi akar permasalahan yang saat ini sedang di bahas yaitu bagaimana konstruksi masyarakat yang menjadikan bahwa sebuah kata "perawan" dan "virgin" menjadi makna tersendiri yang menyebabkan terjadinya subordinasi pada Perempuan.
Pada dasarnya, Semua Perempuan itu Mulia dan Berharga. Bentuk diskriminasi yang di alami perempuan terkait virginity adalah salah satu bentuk dari sistem patriarki. Konstruksi patriarki ini yang membuat laki -- laki seolah memiliki hak atas keperawanan perempuan. Seolah harga diri dan kehormatan perempuan hanya terletak pada selaput dara. Padahal, kehormatan dan martabat perempuan tidak bisa hanya dinilai dari vagina. Hal ini sepatutnya tidak menjadikan perempuan sebagai bahan diskriminasi sosial karena menjadi perawan atau tidak adalah pilihan seseorang. Terlepas dari hal itu, itu setiap perempuan yang sudah tidak perawan masih mendapatkan hak nya dalam masyarakat. Virginity merupakan suatu bentuk dan contoh nyata dari ketidakadilan gender di Indonesia. Stereotip perempuan nakal dan tidak baik tidak bahkan di anggap sebuah aib yang memalukan adalah bentuk labeling negatif yang akan di dapatkan jika seorang perempuan gagal menjaga keperawanannya. Di sisi lain hilangnya keperawanan juga tidak hanya karena faktor pergaulan bebas namun ada faktor lain seperti kecelakaan atau pemerkosaan serta pelecehan seksual di masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H