Gerobak sampah Hasyim adalah separuh hidupnya. Kotak seukuran bak mandi yang terbuat dari kayu dan seng itu adalah harta berharga ia bekerja. Selain sebagai tempat menyimpan hasil memungut, gerobak itu juga menjadi tempat tidur Hasyim dan istrinya di kala malam. Tak ada kamar apalagi rumah yang mampu mereka sewa. Terlalu sayang mengeluarkan uang 300 atau 400 ribu untuk menyewa sementara penghasilan pekerjaan mereka juga tak menentu. Sudah menjadi hal biasa bagi mereka tidur beratapkan langit tanpa bantal apalagi selimut.
Matahari tepat berada di atas kepala ketika aku menyambangi kawasan Menteng. Meski hawa Jakarta panas luar biasa namun rimbunnya pepohonan di Menteng mampu meneduhkan suasana. Di ujung Jalan Cendana aku bertemu dengan Hasyim. Ia sedang menyantap makan siangnya ketika aku mengajaknya berkenalan. Sejenak ia menghentikan kegiatannya dan kami saling memperkenalkan diri. Sadar bahwa ia belum menuntaskan makannya aku pun mempersilakan Hasyim menikmati kembali santap siangnya.
Hasyim adalah salah satu masyarakat kelas pinggiran yang setiap hari turut meramaikan wilayah elit Menteng. Sehari-hari Hasyim bekerja sebagai pemulung dan Menteng menjadi salah satu rute yang wajib ia lewati. Hasyim bekerja tak sendiri. Istrinya, Hasanah, setia membersamainya selama menjalani kehidupan sebagai pemulung di Jakarta. Sepasang suami istri ini sama-sama berasal dari Jember, Jawa Timur.
Menu Hasyim siang ini sederhana saja. Ia membeli nasi uduk yang disiram kuah santan. Makannya lahap meski hanya ditemani lauk tempe. Hasyim membeli makan siang pada penjual nasi langganannya yang sama-sama mangkal di Jalan Cendana.
Istri Hasyim tak terlihat di sampingnya. Rupanya Hasanah sedang mencuci baju di seberang jalan, tepat di depan proyek pembangunan sebuah rumah. Hasanah memanfaatkan air yang mengalir dari selang untuk mencuci baju-baju mereka. Selesai mencuci Hasanah lapar juga. Ia memesan nasi kepada sang penjual namun ternyata ia sudah kehabisan. Sebagai ganti Hasanah membeli empat tempe goreng seharga dua ribu rupiah untuk mengganjal perutnya.
Ujung Jalan Cendana tengah hari ini jadi semarak. Selain kehadiran keluarga Hasyim dan pedagang nasi, hadir pula satpam kompleks dan tukang rongsokan. Kelompok kecil ini terlibat perbincangan akrab sesekali diselipi guyonan yang menghangatkan suasana. Setiap topik pembicaraan selalu bermuara pada tema yang sama, politik. Gaung pemilihan presiden ternyata sudah menyebar dari perdebatan serius di televisi hingga obrolan para pemulung di bawah pohon mangga.
“Eh elu presiden milih siapa?” tanya penjual nasi kepada teman-temannya.
Si satpam hanya diam. Ia masih sibuk mengunyah gorengan. Tukang rongsok menyahut,”Gak kenal semua, lagian gak dapet duit juga, hahahah...” Belakangan terjadi debat ala akar rumput antara tukang nasi dan tukang rongsok soal Prabowo atau Jokowi kah yang berhak memimpin negeri ini. Tukang nasi bersikukuh membela Prabowo sementara tukang rongsok merasa tak perlu ambil pusing siapa yang harus ia pilih nanti.
Hasyim dan Hasanah tak bisa berlama-lama mengobrol. Mereka harus kembali memulung. Waktu istirahat yang nikmat harus disudahi ketika Hasyim mengajak Hasanah beranjak pergi. “Yuk bu jalan sekarang,” kata lelaki itu pada istrinya.
Segera mereka berjalan menjauh dari kerumunan kecil itu. Hasyim dengan tenaganya yang utuh berjalan sembari menarik gerobak sampah. Kemeja hijau lengan panjang dan celana pendek warna coklat menjadi pelindungnya menghadapi sengatan matahari. Tubuhnya yang legam terlihat semakin suram karena bajunya lusuh dan warnanya mulai memudar. Giginya menguning karena tak tersentuh pasta gigi. Bau keringat Hasyim yang bercampur dengan panas matahari membuatnya aroma tubuhnya seperti besi berkarat.
Istrinya, Hasanah, mengikuti dari belakang sambil menenteng karung. Kulitnya juga hitam seperti Hasyim. Dandanan Hasanah khas dandanan wanita Madura. Ia melilit pinggangnya dengan sarung putih sebatas betis. Kaos lengan pendek warna merah ditabrakkan dengan kerudung oranye menyala yang membelit kepala. Kerudung Hasanah diikat sekenanya di bawah dagu menampakkan lehernya yang penuh daki.
Setiap hari pasangan pemulung ini menempuh puluhan kilometer mengais sampah dengan berjalan kaki. Alas kaki mereka hanya sandal jepit tipis yang tinggal menunggu ajal. Tali pengait sandal bisa putus hanya dengan sekali sentak.
Jika malam tiba, pasangan ini menuju Gondangdia. Tepat di depan kantor BRI mereka menggelar tempat untuk beristirahat.Di bawah lampu jalan mereka melewatkan ribuan malam. Ukuran gerobak yang tak seberapa besar hanya mampu memuat Hasanah. Jika malam mereka banyak mengumpulkan sampah, Hasanah harus berbagi tempat dengan sampah-sampah itu. Hasyim sendiri memilih tidur di samping gerobak beralaskan karton. Keadaan menjadi runyam manakala turun hujan. “Gerobak kita ada tutup plastiknya jadi kalau hujan ibu bisa terlindung. Kalau bapak mengungsi ke pinggiran pos satpam. Biasanya masih ada bagian di luar bangunannya yang tidak kena hujan,”ujar Hasyim bercerita. Hasyim ringan saja berbicara. Nadanya datar seperti seorang anak yang mengabarkan ibunya kalau ia akan menginap di rumah temannya.
Sepanjang siang yang terik ini mata mereka teliti memeriksa setiap jengkal jalan berharap menemukan sampah yang laku dijual. Tak lupa mereka mengais setiap tong atau bak sampah yang mereka lewati. Plastik bekas air mineral laku dijual seharga Rp 4.000,00-Rp 5.000,00/kg. Kertas HVS dan kertas kardus dihargai Rp 1.000,00-Rp 1.500,00/kg sementara untuk besi-besi tua Rp 2.000,00/kg. Hari ini aku berhadapan dengan realita bahwa satu botol bekas yang kita buang ternyata menjadi penentu makan tidaknya sebuah keluarga.
Hasanah bergerak lincah memungut setiap sampah yang dibuang sembarangan. Kawasan komunitas berpagar seperti Menteng adalah salah satu daerah penyumbang sampah terbanyak. Ratusan kubik sampah rumah tangga dihasilkan oleh kaum elit dan itu menjadi surga buat Hasyim dan Hasanah. Langkah Hasanah mendadak terhenti. Dipungutnya benda kecil berkilauan di pinggir trotoar. Dengan raut wajah bersinar ia menunjukkan benda yang ditemukannya barusan. Selingkar uang logam seratus rupiah. “Lumayan mbak dikumpulkan bisa buat uang jajan anak di kampung,” kata Hasanah.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Di depan Taman Suropati, Hasyim menunjuk sebuah rumah. Rumah yang ditunjuk bercat putih dan di halamannya berkibar bendera Indonesia. “Rumah Pak Jokowi,” katanya singkat.
Sepanjang perjalanan, Hasyim kerap berhenti untuk menyeka hidungnya dengan daster lusuh yang tergantung di gerobak. Kata Hasanah, suaminya sedang flu. Pukul 14.00 WIB perjalanan sampai di Jalan Lembang. Hasyim dan Hasanah memutuskan untuk berhenti sejenak. Mereka perlu menata dan membersihkan hasil pungutan mereka sebelum dijual ke pengepul. Dikeluarkannya semua isi gerobak. Gelas, botol plastik, kardus, hingga tudung saji bekas terhampar di trotoar.
Bau sampah menyeruak namun Hasyim dan istrinya tak tampak terganggu dengan hal itu. Sampah-sampah yang terkumpul dipisahkan menurut jenisnya. Cukup lama pasangan itu memilah dan memilih sampah. Tangan mereka yang keriput terlihat kotor oleh tanah. Hasanah ingat dia masih menyimpan gorengan di dalam gerobak. Ia mencuci tangannya dengan air yang ia bawa dalam botol plastik ukuran 1,5 liter. Selesai mencuci tangan, Hasanah lalu menyantap gorengan. Air yang dipakai mencuci tangan nampak keruh. Entah karena penampakan botolnya yang sudah buluk atau memang dasar airnya keruh. Yang jelas Hasanah tak nampak jijik sedikitpun.
Usai menyantap gorengan ia menyegarkan tenggorokannya dengan es Kuku Bima yang tadi dibeli di Jalan Cendana. Hasanah minum separuh lalu menyodorkan sisanya kepada Hasyim. Satu plastik es untuk berdua adalah salah satu cara untuk menghemat biaya.
“Hei ada acara Prabowo di depan. Coba ke sana pasti banyak sampah,” tiba-tiba seorang penjual minuman bersepeda menghampiri Hasyim. “Nantilah, ini masih belum selesai membersihkan plastik,” jawab Hasyim. “Jangan menyesal ya, pokoknya aku udah ngasih tau,” lanjut lelaki bersepeda. Hasyim hanya mengangguk tanda mengerti.
Dua puluh menit berlalu. Hasyim dan Hasanah selesai mengerjakan tugas mereka. Puluhan tumpukan yang terdiri dari gelas air mineral berpindah tempat dari karung ke dalam gerobak. Hasyim menyeret kembali gerobaknya menuju tempat acara Prabowo berlangsung. Hasanah seperti biasa berjalan lambat di belakangnya. Kebetulan tempat acara berlangsung termasuk rute Hasyim menuju rumah pengepul di Manggarai.
“Waduh udah selesai acaranya. Kita telat bu,” keluh Hasyim pada Hasanah. Sampah-sampah memang masih berserakan tetapi sampah yang diburu Hasyim sudah tidak ada. Pelataran rumah yang dipakai untuk acara Prabowo tinggal menyisakan sampah makanan dan plastik kresek. Mereka berdua kalah cepat oleh pemulung-pemulung yang lain.
Suami istri ini kembali berjalan menuju Manggarai. Tempat pengepul yangdituju terletak di sebelah timur Pasar Manggarai. Hasyim tak mengenal siapa nama si pengepul. Namun, ia dan pengepul sudah hapal karena kerja sama telah terjalin sejak lama. Kadang kala jika Hasyim dan istrinya pulang ke Jember, mereka menitipkan gerobaknya pada pengepul yang biasa disebut bos.
Hasanah tangkas memungut botol dan gelas bekas yang dibuang sembarangan. Sembari menyusuri trotoar aku ikut mengamati kalau-kalau ada sampah yang terlewat oleh mata Hasanah. Sekali waktu kutunjukkan ada sebatang kayu yang mungkin bisa dijual. Hasanah menggeleng, “Nggak laku itu.” Tak lama kulihat botol air mineral, “Ada itu di pojok bu, tapi...” aku tak yakin dengan dugaanku dan Hasanah menyahut,” Oiya ada. Wah ada air kencingnya mbak. Harus dibuang dulu.” Wanita itu memungut botol yang kutunjuk, membuka tutup lalu membuang isinya. Ia lalu melemparkan botol yang sudah kosong itu ke dalam karung. Aku terdiam.
Akhirnya tibalah Hasyim dan Hasanah di rumah bos. Rumah si bos jauh dari kata rapi. Di luar rumah nampak timbangan dan tumpukan botol plastik yang menggunung tak beraturan. Seorang lelaki kurus berkaos singlet duduk di balik meja kecil sambil menghadap kalkulator. Hasyim mengeluarkan perolehannya dari dalam gerobak untuk ditimbang. Tanpa banyak bicara si kurus menimbang sampah-sampah Hasyim. Diambilnya nota dan tangannya bergerak cepat menuliskan pembayaran untuk Hasyim. Sore ini Hasyim berhasil mengantongi Rp 124.400,00. Jumlah yang lumayan untuk membeli makan dan disisihkan untuk tabungan.
Setiap bulan Hasyim mengirim uang kepada anak-anaknya di Jember. Ia mentransfer uang ke rekening anaknya di bank BNI. Mulanya ritual ke bank dan mengirim uang adalah kegiatan yang rumit bagi Hasyim dan Hasanah. Keduanya tak pernah makan sekolahan sehingga urusan baca tulis menjadi hal yang mustahil bagi mereka. Beruntung ia selalu dapat minta bantuan kepada petugas bank untuk melancarkan urusannya.
Meski tak bisa baca tulis Hasyim memiliki sebuah handphone. Anak pertamanya yang memberikan handphone itu. Jangan tanya bagaimana ia mengoperasikannya. Pemahamannya tentang handphone bersandar pada hapalan jumlah pencetan keypad. Pencet tombol tengah dan tanda bintang artinya membuka kunci. Jika hendak menelepon anaknya ia cukup memencet tanda panah ke bawah dua kali. Begitu pula dengan kontak-kontak yang lain. Tiga kali pencet untuk menghubungi menantunya dan lima kali pencet untuk meminta hutang pada penjual nasi.
Seperti pada umumnya handphone, sewaktu-waktu baterenya bisa habis dan minta di-charge. Untuk itu Hasyim sudah punya konter langganan di Manggarai. Dua ribu rupiah untuk pengisian baterai satu strip dan lima ribu jika ingin mengisinya sampai penuh. Di konter yang sama Hasyim juga biasa membeli pulsa. Ia membeli pulsa sepuluh ribu rupiah yang awet hingga dua puluh hari.
Rutinitas Hasyim dan Hasanah dimulai pukul 05.00 WIB. Mereka berangkat dari ‘rumahnya’ di Gondangdia menuju Menteng. Untuk menyegarkan tubuhnya, Hasyim mandi di Kali Gresik. Hasanah tak mau mau mandi di pinggir kali. Ia lebih memilih mandi di masjid atau kamar mandi umum Pasar Manggarai. Hasanah membayar dua ribu rupiah untuk sekali mandi. Karena harus membayar, ia hanya mandi sehari sekali. Pakaian kotor dicucinya di masjid atau pom bensin karena pihak pasar tidak mengijinkan kamar mandinya dipakai mencuci.
Bukan tanpa alasan Hasyim dan Hasanah merantau ke Jakarta. Keluarga mereka menanggung beban hutang di kampung sebesar Rp 12 juta. “Jumlahnya sekarang agak berkurang. Dulu sempat sampai Rp 30 juta,” kisah Hasyim. Kewajiban melunasi hutang masih ditambah menafkahi tiga orang anak, seorang menantu, dan seorang cucu. Ya, anak tertua Hasyim sudah berkeluarga namun ia tak pernah punya pekerjaan tetap. Menurut cerita Hasyim, anak tertuanya yang bernama Hasyim Ashari memiliki kepandaian bermain gitar dan mengaji. Anaknya kerap diminta tampil jika ada panggung di kampung atau acara hajatan. Meski demikian pendapatan sang anak belum bisa dikatakan layak untuk menghidupi keluarga sehari-hari.
Cikal bakal hutang diawali ketika pada tahun 1990 keluarga Hasyim mengalami rugi besar. Hasyim yang berdagang sayur dan cabai harus mengalami kebangkrutan lantaran puluhan kuintal cabainya tidak laku di pasaran. Cabai yang ia beli dari pengepul masih menumpuk sementara kondisinya kian membusuk. Alhasil uangnya tak berputar dan habis untuk biaya hidup dan sekolah anaknya.
Hasyim memberanikan diri mengambil kredit di bank yang belakangan justru makin mencekik perekonomian keluarganya. Hutang semakin membengkak dan Hasyim harus merelakan motornya untuk dijual. Tuntutan untuk melunasi hutang ditambah rasa malu membawa Hasyim dan Hasanah sampai ke Jakarta. Di tahun 1991 mereka memutuskan untuk menjadi pemulung di ibukota. Pasangan ini mulai mencari sampah puluhan kilometer setiap hari. Kendaraan utamanya adalah tungkai kaki mereka sendiri. Hasanah tak pernah bisa menyembunyikan air mata setiap kali Hasyim bercerita tentang hutangnya. Hasanah bosan hidup sengsara. “Saya pengen dagang lagi di kampung. Tapi mau bagaimana lagi uang selalu habis buat hidup sehari-hari dan bayar hutang,” kata Hasanah lemah.
Konsekuensinya, Hasyim dan Hasanah harus rela hidup terpisah dengan anak-anaknya. Mustahil membawa anaknya turut serta sementara mereka masih perlu melanjutkan sekolah. Anak kedua Hasyim kini duduk di bangku kelas dua SMP sementara yang paling kecil masih kelas dua SD. Beberapa kali dalam seminggu pasangan ini menelepon anak-anaknya. Tiap kali bertelepon, si bungsu selalu menanyakan kapan mamak dan bapaknya pulang.
Hidup miskin dan dipandang sebagai gelandangan rela mereka lakoni. “Makan sehari satu atau dua kali. Nggak pernah tiga kali. Kadang ada orang baik yang ngasih nasi bungkus, lumayanlah. Tapi kadang ada juga yang makanannya bapak tinggal. Sudah basi,” terang Hasyim. “Pernah ada orang mau jual pakaian ke bapak. Katanya kelaparan. Dia mencari saudaranya di Jakarta tapi nggak ketemu. Bapak kasihan, ingat sama diri sendiri kalau dulu suka kelaparan juga. Akhirnya bapak kasih Rp 30.000,00,” lanjut Hasyim panjang lebar. Dari cerita Hasyim aku tersadar, semiskin apapun seseorang ia masih tetap punya harga diri. Bukan berarti karena seseorang hidup susah kita lalu berhak memberinya remah-remah.
Malam semakin larut. Muatan sampah sudah ditukar dengan rupiah. Kini saatnya Hasyim dan Hasanah pulang ke ‘rumah’. Mereka berjalan menyusuri Jalan Surabaya menuju Gondangdia sambil tetap mencari sampah. Malam ini Hasyim menyeret gerobak tanpa mengenakan alas kaki. “Beberapa hari ini telapak kaki rasanya perih kalau kena sandal,” ujarnya.
Lampu jalanan memantulkan bayangan Hasyim dan Hasanah. Waktu menunjukkan pukul delapan malam ketika keduanya tiba di tempat biasa mereka tidur. Hasyim memarkir gerobaknya di pinggir jalan. Ia sengaja tak membawanya ke atas trotoar karena dilarang oleh satpam. Hasyim dan istrinya menggelar karton untuk duduk sejenak di bawah pohon. Masih terlalu cepat untuk tidur. Orang-orang masih ramai berlalu lalang dan yang demikian tidak membuat mereka nyaman beristirahat. Jeda waktu ini digunakan untuk ngobrol-ngobrol dan bersenda gurau sekadar melepaskan penat setelah bekerja seharian.
Tangan Hasyim merogoh bungkus rokok dari saku kemejanya yang lusuh. Disulutnya sebatang dan dihisapnya dalam-dalam. Ia perlu suasana santai sebelum tidur dan kenikmatan itu bisa dihadirkan lewat nyala sebatang rokok. Asap keluar dari mulut Hasyim. Mata tuanya mengikuti gerakan asap seolah ia ingin menitipkan beban hidup agar ikut menguap bersamanya. Di samping Hasyim, Hasanah mulai terkantuk-kantuk. Matanya yang sayu menandakan ingin segera dipejamkan. Ia meluruskan kaki kecilnya dan bersandar pada pokok bougenvil. Satu hari akan mereka sudahi. Hasyim dan Hasanah mengambil tempat, membiarkan dirinya dipeluk angin malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H