Mohon tunggu...
Ghina RohadatulAisy
Ghina RohadatulAisy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Sebelas Maret

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Dalang Utama atas Inkonsistensi Emisi Net-Zero

10 Mei 2024   08:40 Diperbarui: 10 Mei 2024   08:41 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peningkatan konsentrasi gas emisi rumah kaca dianggap sebagai dalang utama perubahan iklim tak beraturan di bumi. Beberapa negara tak terkecuali Indonesia sedang mengkhawatirkan isu ini karena ditakutkan akan berdampak terhadap keberlangsungan ekonomi, politik, maupun dunia pendidikan ke depannya. Negara yang menyebut diri mereka sebagai negara maju dan super power sedang berlomba-lomba menciptakan suatu inovasi dan ide baru guna membantu negara lain supaya mampu menghadapi berbagai aspek permasalahan termasuk yang timbul akibat perubahan iklim. Selain itu, banyak organisasi maupun aliansi yang melakukan tugas besar untuk mencapai net zero emissions. Sebuah skenario ketika perusahaan tidak mengeluarkan lebih banyak karbon dioksida daripada yang mereka keluarkan dari atmosfer. Bagi sebagian orang, garis akhirnya terletak pada tahun 2050 dan 2060, batas waktu yang ditetapkan oleh PBB untuk memerangi krisis iklim. Salah satu inovasi dari teknologi terbarukan saat ini adalah mobil listrik seperti Tesla. Mobil listrik Tesla telah menjadi pemimpin dalam upaya menuju net zero emissions dengan berbagai inisiatif dan teknologi yang mereka kembangkan. Fasilitas yang telah disediakan perusahaan produksi Tesla mampu mendorong lebih banyak orang untuk beralih ke kendaraan beremisi rendah.

Pentingnya mengurangi emisi gas rumah kaca hingga mencapai nol netto tidak bisa diragukan lagi dalam menjaga kelangsungan hidup planet bumi bagi generasi mendatang. Namun, perjalanan menuju net zero emissions memerlukan kolaborasi yang kuat dari pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan karena tantangan yang dihadapi akan sangat kompleks dilihat dari berbagai aspek kehidupan. Muncullah Perjanjian Paris yang merupakan kesepakatan internasional yang ditandatangani pada tahun 2015 oleh negara-negara anggota Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) termasuk Indonesia. Perjanjian ini memiliki tujuan utama yaitu membatasi kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat Celcius di atas level pra-industri dan mereka juga berusaha untuk membatasi kenaikan tersebut hingga 1,5 derajat Celsius. Perjanjian Paris menyerukan upaya bersama dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, dan memberikan dukungan finansial kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini dianggap sebagai tonggak penting dalam upaya internasional untuk mengatasi perubahan iklim. Net zero emissions akan tercapai ketika karbon yang dihasilkan dari bumi mampu menyeimbangi karbon yang dihilangkan pada proses carbon removal.

Meskipun sudah tercipta kerja sama dengan negara lain dalam mengambil langkah konkret guna mengurangi emisi gas rumah kaca, realisasi dari perjalanan menuju net zero emissions tidak semudah itu. Mengubah infrastruktur energi untuk beralih ke sumber energi terbarukan memerlukan suntikan dana besar dan perubahan yang signifikan dalam kebijakan energi. Ironisnya, manusia yang diberi akal dan hati nurani inilah yang cocok disebut sebagai dalang/tokoh utama dari climate change ‘trope’ yang sedang marak menjadi perbincangan di kancah internasional. Sebagai pihak yang andil dalam membuat kebijakan, mereka juga yang melanggar kebijakan tersebut. Sumber Daya Manusia masih harus diedukasi terkait pentingnya kesuksesan “Net Zero Emissions” ini. Siapa lagi kalau bukan mereka yang menikmati dampak kesuksesan kegiatan ini? Selain itu, masyarakat di seluruh dunia tak terkecuali di negara Indonesia masih bergantung pada energi fosil. Penggunaan bahan bakar semakin meningkat karena jumlah permintaan atas produksi kendaraan juga meningkat, serta sektor energi masih sangat bergantung pada bahan bakar energi tak terbarukan seperti batu bara, minyak, dan gas alam. Hal ini sungguh mengkhawatirkan mengingat banyak kawasan di Indonesia maupun negara di kawasan Asia Tenggara cukup rentan terhadap dampak dari krisis iklim.

Indonesia maupun beberapa negara lain sedang bekerja sama mengambil langkah-langkah konkret untuk mengurangi emisi gas rumah kaca bumi. Sebagai generasi muda yang akan menjadi angkatan kerja di era transisi energi menuju net-zero emission 2060, mereka sedang digerakkan untuk terlibat aktif dalam agenda pengendalian perubahan iklim. Hal ini mencakup kegiatan berupa peningkatkan efisiensi energi, pengembangan sumber energi terbarukan, dan perluasan area hutan dan lahan hijau. Selain itu, upaya inovasi teknologi untuk penyimpanan karbon juga harus didorong agar tujuan net zero emissions dapat tercapai. Upaya kolaboratif untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada usaha global mencapai tujuan Perjanjian Paris. Aksi yang diberikan sejauh ini sudah bagus dan efektif. Namun, perkembangannya tergolong cukup lambat karena aktivitas manusia yang lama-lama tidak terkendali dan selalu menyimpang dari kebijakan menjadi penghambat tujuan utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun