Ciri khas keris Hamengku Buwanan atau keris Ngayogyakarta itu umumnya prasaja, akan tetapi mrabu. Sederhana (prasaja), kurang gemerlap akan tetapi berwibawa dan memancarkan sifat raja (mrabu).
"Gagrak Yogya ada banyak. Akan tetapi pakemnya seperti (keris) Mataram Sultan Agung, lebih kecil namun memba-memba (memirip) Mojo," ungkap Gusti Yudhaningrat, salah adik kandung Sultan Hamengku Buwana (HB) X yang saat ini bertahta.
Gusti Yudho, panggilan akrab adik Sultan HB X banyak berkiprah di kesenian tradisional termasuk keris dan wayang kulit. Ia mengungkapkan hal ini dalam sebuah sarasehan khusus tentang keris di dalem Yudanegaran Yogyakarta, pada suatu Selasa (30.05.2018) enam tahun silam. Meski enam tahun silam, akan tetapi apa yang diuraikan Gusti Yudho waktu itu masih relevan sampai sekarang.
Fadli Zon, waktu itu juga hadir di Yudanegaran akan tetapi tentu saja belum jadi menteri, akan tetapi sebagai Ketua SNKI (Serikat Nasional Perkerisan Indonesia). Khalayak yang hadir, sangat beragam, dan umumnya adalah kalangan tradisionalis dan tentu saja banyak penggemar keris di antara mereka.
Sengaja diangkat kembali topik "Keris Hamengku Buwanan" ini, lantaran topik tentang itu sangat jarang mengemuka ke publik. Umumnya publik hanya tahu, bahwa keris Jawa itu adalah keris Surakarta. Sehingga sangat sering terjadi, jika ada perhelatan dengan nuansa tradisional, orang sering campur aduk. Ada yang memakai baju tradisional Sorjan Ngayogyakarta, tetapi kerisnya Surakarta. Atau sebaliknya.
Maklumlah, persewaan baju untuk penganten dan para among tamu, hanya menyediakan perlengkapan keris-kerisan. Umumnya bikinan Yogyakarta selatan, tetapi umumnya berbentuk keris-kerisan Surakarta, yang dibuat seadanya: warangka kasar, kodian, dan bilahnya pun hanya aluminum berbentuk serupa keris, atau keris temantenan dari bekas besi drum.
Antara Branggah dan Ladrang
Umumnya pekeris Surakarta memakai keris dengan warangka jenis Ladrang yang pangkal warangkanya serupa kapal melengkung. Padahal, dulu itu menggambarkan lengkungan sabut kelapa yang kering. Simbolisme kehidupan agraris yang dilambangkan dengan sabut kelapa. Sementara, negeri-negeri pesisiran seperti Cirebon, Banten, dan terutama Sumatera dan Sulawesi, mereka memakai gambaran perahu atau kapal. Sebagai perlambang kehidupan maritim.
Warangka Ladrang Surakarta, kalau di Yogyakarta namanya warangka Branggah. Sepintas mirip. Akan tetapi jika dicermati detilnya, baik bentuk daunan warangkanya, maupun bentuk gandar (sarung) bilahnya, sungguh berbeda. Katakanlah, yang satunya seperti bentuk daun singkong, yang satunya daun nangka, atau malah daun sawo dengan simbolismenya masing-masing.
Bagi mereka yang sudah terbiasa dengan keris-kieris Jawa, akan sangat berhati-hati untuk mencampur adukkan begitu saja, baju atau busana tradisional Beskap Surakarta dengan keris Yogyakarta. Atau baju Surjan Yogyakarta, tetapi kerisnya "keris-kerisan" Surakarta yang umum terdapat di persewaan baju-baju penganten dan among tamu di seantero Jawa.
Baik Ladrang (Surakarta) maupun Branggah (Yogyakarta) umumnya dipakai pada saat event-event resmi, pengantenan, perayaan tradisional. Sedangkan bentuk warangka keris sehari-hari, adalah jenis Gayaman. Gayaman Solo atau Surakarta, serta Gayaman Yogyakarta, sama-sama untuk keseharian. Dan umum pula dibawa atau dikenakan oleh para abdi dalem kraton sehari-hari, saat menjalankan pengabdiannya di dalam istana raja.