Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Dampak Aksi Pemukulan Wasit pada Sepak Bola PON

15 September 2024   14:08 Diperbarui: 15 September 2024   20:30 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi Pemukulan Wasit oleh Pemain (kanan) Sulteng saat semfinal Sepak Bola PON XXI 2024 Sumut Sabtu (14.09.2024) antara Aceh vs Sulawesi Tengah. (Tangkapan Layar TV/Siaran PON Aceh-Sumut)

Antusiasme publik sepak bola di Tanah Air yang belakangan ini sedang tinggi, tiba-tiba dikejutkan dengan drama pemukulan wasit di arena bergengsi Pekan Olahraga Nasional di Banda Aceh, Sabtu (14.09.2024) lalu. Wasit Eko Agus Sugih Harto tergeletak setelah disambut pukulan seorang pemain Sulawesi Tengah saat wasit berlari menuju kotak penalti.

Pertandingan perempat final sepak bola PON XXI 2024 antara tim tuan rumah Aceh melawan Sulawesi Tengah diwarnai beberapa kejadian yang dinilai oleh publik, kontroversial. Tim Sulawesi Tengah dalam posisi unggul lewat gol Wahyu Alman Poru di menit ke-24.

Laporan dari kantor berita Antara mengatakan, bahwa tim Aceh yang tertinggal dalam situasi menyerang namun tak berhasil menembus pertahanan solid pemain-pemain Sulawesi Tengah.

Kontroversi terjadi saat injury time, pertandingan ditambah 13 menit karena banyak kejadian selama 90 menit. Dan pada 90+7 wasit memberi 'hadiah' penalti pada Aceh setelah Nur Mahyudin dinilai dijatuhkan oleh pemain Sulawesi Tengah.

(Dari rekaman gambar, terlihat pemain Aceh berkostum merah terlihat terjerembab, bisa karena diganjal atau bisa terjadi juga itu aksi diving pura-pura jatuh terganjal, agar lawan diberi kartu oleh wasit).

Kejadian itu memicu amarah pemain-pemain Sulteng. Bahkan ketika wasit Eko Agus Sugih Harto tengah berlari menuju kotak penalti, disambar dengan pukulan telak ke arah rahang kanan (dalam gambar sampai wasit menengok, karena kerasnya pukulan), dan wasit pun terkapar dan menggeletak. Bahkan wasit Eko harus dibawa keluar lapangan dengan mobil ambulans yang memasuki lapangan untuk menjemput korban pemukulan.

Sulteng Tiga Kartu Merah

Muhammad Rizki kemudian mendapat kartu merah karena memukul wasit. Padahal, sebelumnya sudah ada dua pemain Sulawesi Tengah yang kena kartu merah, yakni Wahyu Alman di menit 74 dan M Akbar di menit 83. Genap sudah pemain Sulteng tinggal berdelapan di lapangan permainan.

Penalti Aceh di menit 83 gagal membuahkan gol. Beberapa menit kemudian, Aceh kembali mendapat penalti karena wasit pengganti menilai ada handsball. Kali ini, Akmal Juanda mampu membuat skor menjadi 1-1. Maka pertandingan pun harusnya berlanjut ke extra time untuk memperebutkan siapa yang bakal melaju ke final.

Namun, kubu Sulawesi Tengah sudah tidak bersedia melanjutkan pertandingan lagi. Mereka memilih untuk Walk Out (WO) pada laga yang digelar hingga hampir tengah malam tersebut. Aceh melaju ke final menang WO. Tuan rumah bertemu Jawa Barat di final.

Menambah Rapor Merah

Apapun alasan yang melatari aksi pemukulan terhadap wasit Eko Agus Sugih Harto, yang pasti tindak memukul wasit di lapangan sepak bola tetap merupakan sebuah pelanggaran serius yang tak boleh terjadi.

Karena kejadian pemukulan wasit Eko itu menjadi viral, baik melalui tayangan Reels di Facebook maupun TikTok dan Twitter di media sosial, bukan tak mungkin tayangan gambar yang 'eye catching' itu ditonton oleh mata dunia. Citra sepak bola Indonesia kembali tercoreng.

Di mata sepak bola dunia, saat ini sudah ada enam "nilai rapor merah" yang tertuju pada sepak bola Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, nilai merah Indonesia ini menjadi pertimbangan internasional dalam setiap event sepak bola yang dilangsungkan di negeri ini.

Lima nilai rapor merah Indonesia ini adalah, (1) Kerusuhan suporter yang mengakibatkan terjadinya Tragedi Kanjuruhan pada 5 Oktober 2022. Kepolisian Republik Indonesia mengkonfirmasi 131 korban jiwa akibat tragedi di Stadion di kota Malang Jawa Timur ini. Data ini sesuai laporan sebelumnya dari Dinas Kesehatan Kabupaten Malang yang menyebutkan sebanyak 131 orang meninggal akibat tragedi ini. Sebagian terinjak-injak saat berdesak-desak keluar karena gas air mata, dan sebagian karena korban kerusuhan. Sebuah peristiwa paling tragis dalam sejarah sepak bola Indonesia.

Peristiwa ke (2) Kekerasan antar suporter pada bulan September 2018 yang menyebabkan nyawa seorang pendukung sepak bola Persija bernama Haringga Sirla tewas dipukuli oleh sekelompok suporter Persib Bandung di luar Stadion Gelora Bandung Lautan Api.

Insiden ini terjadi sebelum pertandingan antara Persib dan Persija, yang merupakan dua klub besar dengan rivalitas panjang di Indonesia. Kekerasan antar suporter ini mencoreng wajah sepak bola Indonesia, sehingga masalah hooliganisme sepak bola di Indonesia menjadi sorotan dunia internasional.

Kemudian (3) Kasus Mafia Sepak Bola menyangkut pengaturan skor yang terjadi pada akhir 2018 sampai awal 2019. Beberapa petinggi PSSI dan pengurus klub ditangkap karena terlibat dalam pengaturan skor.

Salah satu kasus besar melibatkan anggota Komite Eksekutif PSSI dan sejumlah wasit yang menerima suap untuk mengatur hasil pertandingan. Kasus ini memperburuk reputasi liga dan menunjukkan adanya masalah mendalam terkait integritas di tubuh sepak bola Indonesia.

Nilai rapor yang ketiga ini bisa saja semakin bertambah lagi, bukan soal atur skor akan tetapi memenangkan tuan rumah PON. Bisa saja itu terjadi, kalau saja memang benar-benar tindakan kontroversial wasit Eko Agus Sugih Harto  dilatarbelakangi sentimen memenangkan tuan rumah. Tetapi ini belum terbukti secara resmi, seperti yang diduga publik PON Aceh dan Sumut kali ini.

Nilai rapor merah keempat (4) adalah keterlibat pejabat dalam sepak bola dengan mencuatnya Kasus Edy Rahmayadi (2018). Edy Rahmayadi, mantan Ketua Umum PSSI yang juga menjabat sebagai Gubernur Sumatra Utara, sempat menjadi sorotan karena dianggap tidak fokus menjalankan tugas di PSSI.

Pada awal 2019, Edy mengundurkan diri setelah banyak kritik atas kinerjanya di PSSI. Terutama terkait pengelolaan liga dan prestasi buruk timnas Indonesia. Kontroversi ini memperlihatkan adanya masalah struktural di PSSI, di mana pejabat negara terlibat langsung dalam manajemen sepak bola, tetapi tidak mampu memberikan kinerja yang diharapkan.

Rapor kelima (5) adalah Manajemen Liga yang buruk. Terjadi Dualisme Kompetisi (2011-2013). Pada periode 2011 hingga 2013, Indonesia sempat mengalami dualisme kompetisi sepak bola, yakni antara Liga Super Indonesia (LSI) dan Liga Prima Indonesia (LPI).

Dualisme ini muncul karena konflik internal di PSSI dan menyebabkan adanya dua liga yang berjalan secara bersamaan. Akibatnya, klub-klub terpecah, prestasi tim nasional menurun, dan terjadi kebingungan di antara suporter. Kondisi ini mencoreng kredibilitas liga domestik dan mengganggu perkembangan sepak bola nasional.

Rapor merah keenam (6) tentunya adalah saat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dijatuhi sanksi berupa pembekuan oleh Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) selama delapan tahun pada 30 Mei 2015. FIFA resmi mengumumkan pembekuan PSSI.

Alasan utama pembekuan ini adalah intervensi pemerintah Indonesia dalam urusan PSSI, yang dianggap melanggar statuta FIFA. Menurut FIFA, setiap asosiasi sepak bola nasional harus bebas dari campur tangan pihak ketiga, termasuk pemerintah. PSSI gagal mengatasi dualisme klub dan liga yang berjalan. Selain itu pemerintah Indonesia melalui Menteri Pemuda dan Olahraga juga terbukti melakukan intervensi terhadap tata kelola sepak bola Indonesia.

Angka Rapor Merah Ketujuh

Tambah lagi sekarang angka rapor merah ketujuh (7) pemukulan wasit oleh pemain sepak bola dalam sebuah kejuaraan resmi nasional, Pekan Olahraga Nasional di Stadion Dimurthala, Banda Aceh pada hari Sabtu (14/9/2024).

Karena menjadi viral tidak hanya di medsos Tiktok, Reels, Twitter dan Facebook saja, akan tetapi juga dalam tayangan-tayangan televisi nasional, maka bukan tak mungkin ini akan semakin mencoreng wajah sepak bola Indonesia yang muram.

Aksi pemukulan di lapangan sepak bola, tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun -- termasuk karena ketidak-adilan wasit pemimpin pertandingan. Bahkan di dunia sepak bola, pemukulan terhadap wasit maupun perkelahian antar pemain itu merupakan pelanggaran paling serius.

Sanksi berat tidak hanya mengancam ditimpakan pada pemain pelakunya, akan tetapi juga bisa pada timnya, dan dalam konteks PON -- daerah tempat tim bernaung di cabang sepak bola. Pemain bisa mendapat saksi cukup lama tidak boleh bermain sepak bola, bahkan bisa terjadi si pemain dapat larangan bermain seumur hidup.

Apakah wasit sebagai pengadil pertandingan lepas dari sanksi?

Ketidakbijakan wasit dalam mengeksekusi keputusan di lapangan, dan apabila terbukti terjadi "pengaturan kalah menang" di baliknya? Bukan tidak mungkin wasit pun harus ditindak tegas oleh Komisi Wasit ataupun PSSI. Bisa skorsing, dan kalau memang serius bisa pemecatan, bisa pula diparkir selama beberapa waktu tak boleh memimpin pertandingan.

Tentu, semuanya harus melalui pemeriksaan dan penyelidikan yang serius di karangan aparat sepak bola kita atas peristiwa di Stadion Dimurthala Banda Aceh akhir pekan lalu itu... *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun