Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Keris Banjar dari Hulu Sungai Selatan

12 September 2024   21:02 Diperbarui: 21 September 2024   14:03 2925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keris Sampana Pipilis dan Sampana Kijang Koleksi Wahyu Ramadhan dari Banjarmasin. (Foto Dokumentasi Pribadi/Wahyu Ramadhan)

Kalimantan memang bukan negeri keris seperti Jawa. Tetapi bukan berarti Kalimantan tidak memiliki keris. Justru keris Kalimantan memiliki kekhasan tersendiri seperti yang ada pada keris-keris Banjarmasin, jejak sebuah kesultanan di Kalimantan Selatan.

Bilahnya memang memiliki pengaruh keris Jawa, lantaran kaitan historis lama dengan kerajaan Majapahit di Jawa di abad ke-14 silam. Tetapi ada juga seperti keris Bugis dan Sulawesi karena hubungan sejarah Banjar di masa lalu. Gaya Melayu Sumatera mengunjuk gaya kesultanan Banjar setelah memeluk Islam.

Tetapi bentuk paling khas tiada duanya di Nusantara adalah hulu kerisnya. Hulu keris Banjar berbentuk hulu burung Melayu, dan ada juga yang mirip gaya nunggak semi Jawa akan tetapi berhias intan berlian dengan gosokan khas intan prongkol. Gosokan kuno khas Martapura pusat penggosokan intan di Kalimantan Selatan.

Warangka atau sarung keris pun khas Banjar. Sedikit mirip warangka pesisiran di Jawa, akan tetapi modelnya dibuat sedemikian rupa sehingga orang akan mengenal bahwa itu adalah warangka keris "gayaman" Banjarmasin.

"Orang di sini menyebutnya Kumpang Biji Ampalam..," tutur Wahyu Ramadhan (34) seorang kolektor dan penggemar keris Banjar, dalam sebuah obrolan kedai kopi di Kota Lama Banjarmasin akhir Agustus 2024 lalu.

Kumpang, kalau dalam bahasa Jawa adalah warangka, atau sarung keris. Sedangkan Biji Ampalam adalah biji "mempelam" (mangga muda). Kalau di Jawa Tengah dan juga Cirebon, disebutnya "pelokan". Seperti pelok, biji mangga. Sebagian lagi warangka Banjarmasin menyerupai sarung keris gaya kerajaan Gowa di Sulawesi. Tetapi hulu kerisnya, selalu khas Banjarmasin.

Putri Manjinguk

Meski banyak dipengaruhi dari budaya luar, akan tetapi terminologi perkerisan di Banjarmasin umumnya dalam bahasa Banjar. Seperti hulu keris Melayu, yang seperti burung menengok itu disebutnya sebagai Putri Manjinguk, yang maknanya Putri menoleh. Di Jawa dan juga Melayu, sosok hulu Putri Manjinguk itu disebut Jawa Demam. Bedanya, Putri Manjinguk itu berhias intan berlian gemerlap khas Banjar.

Keris-keris Banjar umumnya memakai terminologi yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan serta binatang. Banyak pengaruh Melayu, lantaran di kawasan hilir Sungai Martapura banyak pendatang dari Riau, Sumatera, sisa jejak-jejak perdagangan Kalimantan dan Sumatera di masa lalu.

Jejak perdagangan masa lalu juga terdapat di Kota Baru di Pulau Laut yang berseberangan dengan "ujung kaki" Sulawesi. Di Kota Baru banyak terdapat penduduk-penduduk asal Bugis Sulawesi.

Hulu keris berhias intan berlian yang bentuknya mirip hulu keris Nunggak Semi di Yogyakarta, disebutnya sebagai Hampulur Jagung yang maknanya tongkol buah jagung.

Keris-keris di Banjarmasin, tradisinya dulu bilahnya tidak diwarangi. Berbeda dengan keris-keris Jawa utamanya Jawa Tengah, yang banyak diwarangi sehingga kontras antara besi pamor yang cemerlang dengan besi dan baja yang cenderung hitam abu-abu. Kalau toh dicuci agar sedikit kontras, keris Banjar paling dipencet dengan jeruk seperti kebiasaan lama keris-keris Bugis, mattompang.

Keris Banjarmasin yang sarungnya khas Banjar, Kumpang Biji Ampalam. (KrisDisk/Karsten Sejr Jensen)
Keris Banjarmasin yang sarungnya khas Banjar, Kumpang Biji Ampalam. (KrisDisk/Karsten Sejr Jensen)
Sampana Carita

Dalam terminologi Jawa, keris-keris Sempana adalah keris yang umumnya memiliki luk atau kelokan sembilan dengan detil tertentu. Akan tetapi keris Sampana di Banjarmasin itu adalah keris-keris lurus. Dengan berbagai variannya.

Sampana Daun di Banjarmasin itu adalah keris lurus polos, tanpa detil (ricikan. Jw) apa-apa. Di Jawa disebutnya Dapur Brojol. Kalau keris lurus yang mirip keris Sumatera Anak Alang, itu disebutnya di Banjar sebagai Sampana Pipilis. Kalau keris Bahari di Sumatera, yang ramping seperti Anak Alang akan tetapi sedikit lebih panjang, di Banjar disebutnya Sampana Ilalang.

Keris Sampana Carita dari Banjar Koleksi Wahyu Ramadhan, Banjarmasin. (Foto Dokumentasi Pribadi/Wahyu Ramadhan)
Keris Sampana Carita dari Banjar Koleksi Wahyu Ramadhan, Banjarmasin. (Foto Dokumentasi Pribadi/Wahyu Ramadhan)
"Paling dikenal di Banjar adalah Sampana Carita," tutur Wahyu Ramadhan, yang asli Banjar dan sejak dulu orang  tuanya pun penggemar keris-keris Banjar. Wahyu sudah menyukai keris-keris Banjar semenjak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

"Sampana Carita itu (menurut kepercayaan Banjar) pemiliknya pintar bicara, cocok jadi penasehat raja..," kata Wahyu Ramadhan. Berbeda dengan di Jawa, bahwa keris Sempana itu luk sembilan sedangkan Carita itu luk 11, maka Sampana Carita yang terpopuler di Banjar itu adalah keris lurus. Namun dengan detil bilah tertentu. Yakni, ada semacam lobang dua (krawangan) di depan dan belakang, (bagian alas bilah keris yang berhimpitan dengan ganja atau dasar bilah di Jawa). Semacam lubang dua krawangan.

Keris Pasopati Galung Arjuna Koleksi Wahyu Ramadhan dari Banjarmasin. (Foto Dokumentasi Pribadi/Wahyu Ramadhan)
Keris Pasopati Galung Arjuna Koleksi Wahyu Ramadhan dari Banjarmasin. (Foto Dokumentasi Pribadi/Wahyu Ramadhan)
"Lubang itu disebutnya tindhik. Dalam legendanya, lubang itu terjadi karena kena kuku (cakar) Nagarunting sehingga berlubang," tutur Wahyu Ramadhan pula. Sampana Carita milik Wahyu malah merupakan Sampana yang bilahnya indah, berlubang dua, dengan hiasan pamor yang ditempa dengan teknik miring.

Keris Sampana Pipilis dan Sampana Kijang Koleksi Wahyu Ramadhan dari Banjarmasin. (Foto Dokumentasi Pribadi/Wahyu Ramadhan)
Keris Sampana Pipilis dan Sampana Kijang Koleksi Wahyu Ramadhan dari Banjarmasin. (Foto Dokumentasi Pribadi/Wahyu Ramadhan)
Sampana Kijang adalah keris lurus yang memilik sosok cembung di tengah. Atau "ngadhal meteng" menurut istilah di Jawanya. Maka selain ada Sampana Daun, Sampana Kijang, Sampana Pipilis, Sampana Ilalang, Sampana Carita, ada pula keris lurus Pasupati Landeyan Kencana, serta Pasupati Galung Arjuna sebab memakai 'gelungan' (sekar kacang Jw) di bagian gandhik kerisnya.

Salah satu tempat tempa besi di Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Nagara, lokasi dulu para empu tradisional dulu di era kerajaan Nagara Daha di Kandangan, Kalimantan Selatan. (Foto Pemkot Banjarmasin)
Salah satu tempat tempa besi di Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Nagara, lokasi dulu para empu tradisional dulu di era kerajaan Nagara Daha di Kandangan, Kalimantan Selatan. (Foto Pemkot Banjarmasin)
Empu di Hulu Sungai Selatan

"Lokasi empu keris dulu di Kabupaten Hulu Sungai Selatan daerah Nagara," kata Wahyu Ramadhan, sekitar 143 km dari Banjarmasin. Sampai kini pun daerah Nagara ini banyak dihuni penduduk yang profesinya pandai besi.

Profesi pandai besi di Nagara kini banyak terdapat di desa Tumbukan Banyu dan Sungai Pinang, Kecamatan Daha Selatan dan desa Panggandingan, Kecamatan Daha Utara. Penduduk yang memiliki keahlian menempa besi menyebar di tiga kecamatan, yaitu Daha Selatan, Daha Utara dan Daha Barat yang berada di wilayah adiminstratif Kota Kandangan, Kabupatan Hulu Sungai Selatan.

Mereka saat ini memang tidak lagi membuat keris seperti di abad 14 silam. Akan tetapi membuat berbagai alat dari besi tempa dan baja seperti balirih (parang yang melebar ke arah pucuk), parang bungkul (parang khas banjar yang melebar ke pucuk tetapi agak menunduk), parang lais (parang khas banjar yang melebar ke pucuk akan tetapi cenderung melengkung ke atas), cangkul, arit, kapak, pisau.

Awalnya dulu kala para pandai besi (yang konon dulu berawal dari pendatang Jawa) membuat senjata tradisional saja, tetapi pada perkembangannya sampai masa kini membuat alat-alat kebutuhan masyarakat seperti mata tajak (cangkul khas banjar, yang mata cangkulnya ramping seperti parang melengkung), pisau sembelih, pisau sadap untuk keperluan hutan dan sebagainya.

Seorang pandai besi secara tradisional di Kalimantan Selatan biasanya tinggal dan membuat usaha tempa besinya di dekat pasar-pasar umum atau pasar hewan tempat berkumpulnya para petani di desa masa kini.

Dalam hal proses tempa, berbeda dengan para pandai besi di Jawa. Pandai-pandai keris Banjar mereka tidak memakai bara dari arang kayu jati seperti di Jawa. Di Kalimantan Selatan para pandai besi memakai arang kayu ulin (kayu besi) karena panas yang dihasilkan bisa lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kayu-kayu lainnya di Kalimantan.

Sementara bahan baku besi, di masa lalu berasal dari bahan besi lokal Kalimantan, maka kini mereka membeli dari para pengumpul besi di Sungai Pinang yang biasa mengambil besi ke daerah Banjarmasin. Bahan baja biasa diambil dari bekas per mobil tronton atau per mobil tambang yang tebalnya sekitar dua sentimeter, baja impor pabrikan tentunya.

Jejak Kediri dan Majapahit

Kerajaan maritim Majapahit umumnya meninggalkan jejak senjata-senjata tradisional berbentuk keris di negeri mitra-mitra dagangnya di seantero Nusantara. Dan setelah menjadi tradisi setempat, maka tradisi keris dikembangkan sesuai kebijakan lokal masing-masing. Sehingga memiliki kekhasan sendiri, tak sama dengan keris-keris Jawa.

Daerah Nagara merupakan wilayah rawa-rawa dan perairan yang mayoritasnya dihuni oleh Suku Banjar Batang Banyu. Sebelum identitas "Banjar" lahir, wilayah ini adalah ibu kota Kalimantan Selatan yang bernama Kerajaan Nagara Daha, penerus Kerajaan Negara Dipa alias Amuntai.

Amuntai (dalam bahasa Banjar artinya: murung) terletak di pertemuan tiga sungai, Sungai Negara, Sungai Tabalong dan Sungai Balangan yang berjarak sekitar 190 km arah utara dari kota Banjarmasin, ibu kota Kalimantan kini.

Nagara Dipa alias Amuntai disebut sebagai Daha, seperti julukan sebuah kerajaan di zaman Kediri (1042-1222)  di Jawa Timur. Dan apabila dirunut asal muasalnya, adalah  Ampu Jatmaka alias Empu Jatmika seorang saudagar kaya asal Keling.

Keling, (Menurut Verbeek 1889:10 dan Munoz 2009:401-435) merupakan negara bawahan Majapahit di barat daya Kediri. Empu Jatmika merupakan anak seorang saudagar sekaligus Tumenggung bernama Mangkubumi atau disebut juga sebagai Saudagar Jantam. Berdasarkan saran ayahnya, Empu Jatmika diutus melakukan perjalanan untuk mencari "negeri yang tanahnya suam dan berbau wangi".

Disebut dalam buku Rogier Verbeek seorang geologis dan ahli ilmu pengetahuan alam, perjalanan dari Keling di Kediri menuju Pulau Hujung Tanah (Kalimantan) berjarak dua bulan pakai kapal laut.

Pengungsi Perang Ganter

Beberapa sumber sejarah mengungkapkan, Empu Jatmika alias Ampu Jatmaka adalah pengungsi dari Kediri (Jawa Timur) pasca Pertempuran Genter atau Ganter pada abad ke-13 (1222 Masehi, era berdirinya Singasari Ken Arok).

Ada pula sejarawan yang berpendapat, perjalanan ekspedisi Empu Jatmika ke Kalimantan merupakan Kebijakan Ekspansionis maharaja Majapahit Hayam Wuruk pada tahun (1355) (ekspedisi ketiga) untuk menyerang kerajaan Dayak Ma'anyan Nan Sarunai yang bercorak "Kaharingan".

Kaharingan sendiri adalah agama asli suku Dayak di Kalimantan, bahkan sebelum masuknya agama-agama lain dari luar Kalimantan. Agama pribumi pra-Hindu yang sebagian masih dianut suku Dayak ini, diyakini bukan merupakan aliran animisme ataupun dinamisme.

Beberapa peninggalan pertempuran masih bisa ditemukan, seperti jejak pertempuran pertama (1358), pertempuran kedua pada Desember (1362). Pertempuran-pertempuran ini diingat dalam sejarah lama Kalimantan sebagai Nansarunai Usak Jawa oleh suku Dayak Ma'anyan, mengakibatkan runtuknya kerajaan Nan Sarunai.

Empu Jatmika kemudian mendirikan kerajaan Negara Dipa bercorak Hindu pada tahun 1387 dengan mendirikan negeri Candi Laras yang terletak di sebuah sungai Bahan (hilir). Candi Laras menjadi bawahan raja Kerajaan Kuripan, kerajaan lokal yang sudah lebih dulu berdiri di kawasan sungai ini.

Dalam sebuah catatan, Raja Kuripan yang tak memiliki anak kemudian mengadopsi Empu Jatmika sebagai anak untuk menjadi raja penerus tahta Kuripan. Namun karena Empu Jatmika merupakan keturutan waisya (pedagang), ia lalu membuatkan patung sepasang dewa dan dewi dari kayu jati di Candi Agung sebagai legitimasi raja yang disembah rakyat. Empu Jatmika meneruskan kekuasaan bapa angkatnya Raja Kuripan yang tak dikaruniai keturunan.

Kerajaan Kuripan kemudian diubahnya menjadi Negara Dipa. Ibu kota dipindahkan dari Candi Laras ke Candi Agung (Amuntai) di hilir Sungai Bahan (Sungai Negara) yang bercabang menjadi Sungai Tabalong dan Sungai Balangan, serta sekitar sungai kecil Pamintangan anak Sungai Negara.

Lambung Mangkurat

Empu Jatmika yang asal Jawa itu memiliki dua anak, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat (Lembu Mangkurat) yang di kalangan lokal disebut sebagai tokoh Dayak Ma'anyan bernama Dambung Mangkurap. Lambung Mangkurat menjadi penguasa ke-2 Negara Dipa dengan gelar Ratu Kuripan. Sejak era Lambung Mangkurat ini, Negara Dipa berhasil memperluas wilayah dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting.

Sesuai pesan ayahnya, Empu Jatmika, Lambung Mangkurat pun melaksanakan laku tapa di Sungai Luhak Bagaya, agar memperoleh putri yang muncul dari buih sungai. Junjung Buih, maknanya muncul dari buih.

Menurut penelitian sejarawan JJ Ras, Putri Junjung Buih yang muncul dari buih itu dipercaya sebagai putri asli Dayak. Ia kemudian dijadikan Raja Putri di Negara Dipa. Raja Putri ini memang sengaja disiapkan untuk kemudian dipersiapkan sebagai jodoh bagi seorang pangeran keturunan ksatria, yang sengaja dijemput dari Majapahit. Yakni Raden Putra alias Harya Kuwik putra Brawijaya V raja Majapahit dari seorang selir. Raden Putra inilah, yang di kemudian hari bergelar Pangeran Suryanata I.

Dalam susastra, Putri Junjung Buih putri Dayak ini dipercaya sebagai Jata atau Tambun, penguasa alam bawah yang dideskripsikan sebagai sosok naga maharaksasa penyangga bumi. Pernikahan Pangeran Suryanata (Hindu) dari Majapahit yang melambangkan Pangeran Matahari dengan Putri Junjung Buih yang memiliki dasar kepercayaan Kaharingan, disimbolkan sebagai "persatuan langit dan air".

Saat Putri Junjung Buih menjadi raja putri di kerajaan Negara Dipa, Lambung Mangkurat menjadi mahapatihnya. Keturunan Lambung Mangkurat, dan juga keturunan Putri Junjung Buih yang menikah dengan pangeran Majapahit Pangeran Suryanata, kelak menjadi raja-raka di Negara Dipa, leluhur para pangeran di Kesultanan Banjarmasin.

Kepercayaan tentang keturunan raja sebagai legitimasi untuk memimpin sebuah kerajaan, terus berlanjut dari Negara Daha di Amuntai, hingga kerajaan Banjar di Banjarmasin.

Menurut catatan beberapa sejarawan, Maharaja Suryanata yang keturunan Majapahit itu dalam berbagai kitab kuno disebut sebagai Kuda Banjaran Sari alias Cakra Nagara, pangeran Majapahit putra Angka Wijaya (versi Serat Kanda). Menurut catatan History of Java oleh Raffles, putra maharaja Suryanata alias Kuda Banjaran Sari ini dikirim ke Banjarmasin dengan banyak kapal serta pasukan sebagai penguasa pada sekitar 1437-1438 (1360 Syaka).

Sebelumnya, kerajaan Negara Daha ini sudah pernah lebih dulu ditundukkan oleh "jenderal ratu" (pemimpin perang) dari Pengging, Andayaningrat, kakek dari Hadiwijaya dari Pajang. Dan nama putra Brawijaya V yang dijadikan raja di Banjar, menurut catatan sejarah, adalah Panji Suranata. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun