Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Komang Ayu, Anak Buleleng Si Pendekar Piala Uber

5 Mei 2024   03:19 Diperbarui: 5 Mei 2024   07:20 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika dibanding Ester Nurumi vs Kim Ga-Ram, pertarungan Komang Ayu vs Kim Min-Sun si anak kembar ini terbilang tidak begitu alot meski rubber game. Komang memiliki pukulan lengkap dan bervariasi, sehingga menyulitkan Kim Min-Sun yang sebenarnya memiliki permainan ideal untuk masa depan: main kidal, tubuh ramping bakat bakal tinggi, dan memiliki senjata smes silang loncat yang tajam -- kelebihan khas pemain bulu tangkis kidal. Hanya perlu lebih matang lagi.

Permainan net rupanya memang menjadi senjata andalan pemain-pemain putri Indonesia, setelah dulu Susi Susanti si juara Olimpiade 1992 "mempopulerkan" permainan net silang yang mengecoh lawan -- yang kini tidak hanya dikembangkan di putri, akan tetapi juga bulu tangkis putra dunia baik di tunggal maupun ganda.

Namun karena keasyikan main net dan penempatan bola, rata-rata pemain putri Indonesia secara permainan menjadi kurang tajam. Justru Korea menampilkan permainan-permainan putri yang ideal -- lebih banyak menekan lawan dengan smes-smes, ketimbang penempatan bola. Korea kalah matang bermain karena kalah pengalaman, menjadi faktor penentu kekalahan mereka.

Permainan "terlalu asyik netting dan penempatan bola" di kalangan pemain Indonesia juga terasa di nomor ganda, baik Apriyani Rahayu/Siti Fadia Ramadhanti maupun Ribka Sugiarto/Lanny Tria Mayasari. Persentase main tajam dengan smes pemain putri Indonesia, lebih sedikit ketimbang para Korea. Terutama Siti Fadia serta Ribka Sugiarto, perlu lebih tajam lagi. Justru Lanny Tria Mayasari, mampu mengimbangi permainan tajam pemain-pemain Korea yang seperti bermotto -- kalau bisa ambil smes, mengapa bermain-main cantik dengan penempatan bola tetapi tidak mematikan?

Saat penentuan kemenangan di tunggal ketiga inilah, publik disuguhi permainan cakep Komang Ayu yang ternyata memiliki ketajaman permainan dan sekaligus juga penempatan bola yang jitu dan mental baja menghadapi saat kritis. Cocok sebagai pemain tunggal ketiga yang sering menjadi penentu jika angka berimbang 2-2.

Ketahanan mental ini terlihat pada diri Komang Ayu -- yang pada saat-saat terakhir kemenangan Indonesia, nyaris dikejar oleh si kembar Kim Min-Sun. Saat Kim mulai mengejar ketinggalan 16-19, 17-20. 18-20 game ketiga Kim Min-Sun mengajukan "challenge" sebuah bola tipis. Ternyata benar, tipis masuk garis, sehingga Kim berhasil nambah angka dan nyaris mengejar Komang Ayu, 19-20. Beruntung sebuah smes Komang Ayu pun membuahkan angka kemenangan 21-19. Kalau tidak? Lain lagi ceritanya...

Berbagi Final sejak 1986

Indonesia berbagi final dengan China di Piala Thomas dan Piala Uber, sungguh sebuah peristiwa sejarah bulu tangkis yang sudah lama tak terjadi. Terakhir, Indonesia berbagi final di Piala Thomas dan Uber sudah terjadi 38 tahun silam.

Ketika itu tahun 1986 di zaman Susi Susanti dan Alan Budikusuma, baik di Piala Thomas maupun Uber yang berhadapan adalah pemain Indonesia dan China. Hanya saja, bagi Indonesia catatan sejarah ini tidak mencuat di permukaan karena kedua-dua final ini dimenangkan oleh China. Sehingga, terjadilah catatan sejarah di bulu tangkis dunia, China "mengawinkan gelar" juara beregu putra dan putri dunia Piala Thomas dan Uber di China.

Kali ini Anthony Ginting, Jonatan Christie dan kawan-kawan beruntung bisa membuat peristiwa sejarah terulang: China dan Indonesia berbagi final. Anthony Ginting dan Jojo membawa Indonesia ke final di Piala Thomas serta Gregoria Mariska dkk di Piala Uber -- seperti 1986, China versus Indonesia. Anthony dan Jojo mendapat keberuntungan, mengalahkan dengan relatif lancar China Taipei di semifinal, 3-0. China Taipei memuluskan Indonesia, karena menyingkirkan lawan yang lebih berat bagi Indonesia, yakni Denmark dengan Viktor Axelsen dan kawan-kawan.

Anthony Sinisuka Ginting membuka kemenangan atas China Taipei mengalahkan "si pembunuh raksasa" Chou Tien-Chen dua games langsung, 21-18, 21-19. Partai kedua ganda, rada alot dan angka bergerak satu angka demi satu angka. Fajar Alfian/Muhammad Ryan Ardianto akhirnya menundukkan Lee Yang/Wang Chi-Lin 16-21, 21-19, 21-18 dalam pertarungan sangat ketat. Chou Tien-Chen adalah pemain yang mengalahkan juara dunia dua kali, Viktor Axelsen sehingga Denmark juara Piala Thomas 2018 terhenti di perempat final langkahnya. Padahal, Axelsen peringkat satu dunia dan Chou Tien-Chen peringkatnya hanya 47 di BWF.

Jonatan Christie yang peringkat kelima dunia dengan mudah menundukkan pemain peringkat 23 Wang Tzu-Wei dua game langsung, 21-11, 21-16. Kemenangan Jojo ini membawa Indonesia kembali mengulang peristiwa final Indonesia vs China di Piala Thomas dan Piala Uber seperti 1986.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun