Di dunia ini hanya Rudy Hartono yang mampu menjuarai All England delapan kali pada nomor tunggal putra. Tujuh kali di antaranya dicapainya berturut-turut. Rudy bahkan menyimpan dua "piala tetap" All England, karena untuk meraih satu piala tetap orang harus juara tiga kali berturut-turut.
Ketika Sabtu (16.02.2024) kemaren Anthony Ginting dan Jonatan Christie memastikan diri bakal maju dalam partai All Indonesian Final di tunggal putra, harapan penonton bulu tangkis Indonesia kembali berbunga-bunga.
Indonesia memang sudah lama mengalami masa paceklik gelar di turnamen bulu tangkis paling bergengsi -- disamping bulu tangkis Olimpiade dan Kejuaraan Dunia -- di Birmingham ini. Terakhir kali Indonesia menampilkan juara tunggal putra All England tahun 1994, melalui Hariyanto Arbi.
Indonesia terakhir kali tampil dalam partai All Indonesian Final di All England juga 30 tahun lalu, ketika Hariyanto Arbi tampil sebagai juara mengalahkan Ardy B Wiranata. Setahun sebelumnya, Hariyanto Arbi juga tampil dalam All Indonesian Final mengalahkan juara dunia, Joko Supriyanto.
Partai All Indonesian Final di All England lainnya adalah: (1959) Tan Joe Hok vs Ferry Sonneville, (1969) Rudy Hartono vs Darmadi, (1971) Rudy Hartono vs Mulyadi, (1973) Rudy Hartono vs Christian Hadinata, (1976) Rudy Hartono vs Liem Swie King, (1978) Liem Swie King vs Rudy Hartono. Kini (2024) Anthony Sinisuka Ginting vs Jonatan Christie.
Catatan lain, tahun 1993 dan 1994 Indonesia memborong gelar juara tunggal putra dan tunggal putri melalui Hariyanto Arbi serta Susi Susanti, yang setahun sebelumnya tampil sebagai peraih medali emas pertama Indonesia di Olimpiade 1992 Barcelona. Di Barcelona, Indonesia bahkan juga juara di tunggal putra melalui Alan Budikusuma.
Baik Hariyanto Arbi dan Susi Susanti, keduanya mengalami peristiwa bersejarah di bulu tangkis All England. Lantaran, ketika mereka berdua juara pada 1993, pertandingan masih dilangsungkan di Wembley Arena, London, lokasi bersejarah All England sejak pasca Perang Dunia II. Tahun berikutnya, 1994, Hariyanto Arbi dan Susi Susanti juara di tunggal putra dan tunggal putri di tempat pertandingan baru, National Indoor Arena di Birmingham.
Serasa Juara Dunia
Sebegitu pentingkah juara All England? Setiap pemain bulu tangkis akan selalu menginginkan juara di All England, seperti halnya juara Wimbledon di dunia tenis. Bisa juara All England diibaratkan serasa juara dunia meski tak bermahkota.
Tahun 1970-an, ketika dunia bulu tangkis masih dirajai oleh pemain-pemain Indonesia serta pemain Denmark, bahkan ada pepatah. Pemain bulu tangkis serasa belum diakui sebagai juara dunia jika belum pernah juara di All England.
Pemain Indonesia pertama yang juara All England adalah Tan Joe Hok alias Hendra Kartanegara, yang sampai kini masih sehat di usia 86 tahun. Padahal, Malaysia sudah lebih dulu memiliki juara All England, seperti Wong Peng Soon dan Eddy Choong yang bergantian merajai turnamen tersebut dari sejak awal 1950-an sampai kemunculan Tan Joe Hok sebagai juara All England di tahun 1959.
Bagi perjalanan karir pemain bulu tangkis? Awal mula kontrak besar sponsorship, terutama Yonex yang menjadi sponsor All England sejak (1984), mengalir ke kocek pemain jika dia berhasil juara di All England. Itu sebabnya gelar juara All England menjadi impian bagi setiap pemain bulu tangkis dunia. Seperti juara Wimbledon saja di tenis.
Susi Susanti, mulai melejit dan kemudian bisa meraih medali emas Olimpiade juga dipicu oleh gelar juara All England lebih dulu. Susi Susanti semakin terlihat menanjak permainannya dan membuat gentar dengan permainan net silangnya yang khas (kini ditiru dan dikembangkan tak hanya di kalangan pebulutangkis putri, akan tetapi juga putra), juga di antaranya melalui All England.
Ketika Susi Susanti berhasil juara All England 1990, kemudian 1991, menyeruak di antara kehebatan pemain-pemain China pada masa itu, maka publik pun mulai menjagokan Susi merupakan salah satu pemain yang berpeluang tampil sebagai juara Olimpiade 1992, saat bulu tangkis untuk pertama kali diperebutkan medalinya di arena Olimpiade.
Padahal, sebelum Susi juara All England, saya sampai bosan mengikutinya di berbagai turnamen baik di Malaysia, Taiwan, Jepang, China maupun berbagai tempat Eropa seperti Denmark, Swedia, Inggris. Bosan melihat kekalahan demi kekalahan yang dialami Susi sebelum juara All England. Hampir selalu dikalahkan pemain-pemain China, seperti Li Lingwei, Han Aiping, bahkan juga sebaya Susi Susanti... Tang Jiuhong. Sampai kemudian tampil sebagai juara All England dan melejit jadi juara Olimpiade 1992, dan ketiga kalinya juara All England 1993.
Aklimatisasi
Aklimatisasi, penyesuaian diri pemain terhadap iklim dan cuaca lokal, adalah salah satu kunci seseorang untuk bisa perform dengan baik di berbagai turnamen. Sebab, tidak mudah bagi seorang pemain asal negeri tropis seperti Susi Susanti, Haryanto Arbi, untuk bisa 'tuned in' main di negeri-negeri dingin seperti di Inggris, apalagi Denmark, Swedia di Skandinavia.
Sebaliknya juga, pemain Eropa juga tidak mudah menyesuaikan diri dengan iklim dan hawa panas negeri tropis, setiap kali main di turnamen seperti Indonesia Open yang panas dan udaranya memiliki kelembaban tinggi. Mudah berkeringat, dan mudah capai, karena udara pengap.
Ketika Istora Senayan -- lokasi paling utama bagi turnamen bulu tangkis internasional di Indonesia di tahun 1960-1990-an masih belum berhawa dingin (AC) seperti sekarang ini, Istora disebut sebagai "neraka" pertandingan bagi pemain-pemain Eropa. Tidak banyak pemain Denmark yang berhasil melakukan aklimatisasi. Sehingga, banyak juara-juara Eropa mereka yang tumbang di Istora Senayan. Jens Peter Nierhoff misalnya. Baru tampil sebagai juara Eropa pada masa itu, langsung ngap, kepanasan dan langsung tumbang di babak-babak awal di Istora Senayan.
Salah satu pemain Denmark terhebat, yang berhasil melakukan aklimatisasi dengan baik di Istora Senayan, adalah Svend Pri. Salah satu catatan emas Svend Pri di Istora Senayan adalah ketika ia menundukkan Rudy Hartono di Piala Thomas (1974) di tunggal pertama.
Namun Denmark harus mengakui keunggulan Indonesia 8-1 dan Rudy Hartono dkk. meraih Piala Thomas, lambang supremasi kejuaraan bulu tangkis beregu. Â Svend Pri pula yang menghalangi Rudy Hartono untuk juara All England delapan kali berturut-turut, tahun 1975. Baru tahun 1976, Rudy juara All England untuk kedelapan kalinya.
Keberhasilan Anthony Ginting serta Jonatan Christie untuk tampil di All Indonesian Final di All England 2024 kali ini, membangkitkan kembali semangat Indonesia yang sudah terlalu lama naik turun, kekeringan prestasi bergengsi. Apalagi di semifinal kemaren, Anthony Ginting mengalahkan Viktor Axelsen yang hampir selalu mengalahkannya.
Semoga saja All Indonesian Final, serta salah satunya akan jadi juara All England di tunggal putra kali ini, membersitkan harapan bagi Indonesia untuk kembali meraih medali emas bulu tangkis di Olimpiade Paris 26 Juli s/d 11 Agustus 2024 nanti. Siapa tahu... *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H