Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Keris Ki Dukun Sumedang dan Kyai Dhukun Cirebon

7 Maret 2024   00:04 Diperbarui: 8 Maret 2024   01:11 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Juru Pelihara Museum Geusan Ulun Sumedang Pak Ahmad (alm) di kiri dan David Henkel di Geusan Ulun Sumedang 3 Februari 2014. (Foto Tira Hadiatmojo)

Caption-caption yang tertempel di etalase pusaka-pusaka Sumedang, seolah menyodorkan teka-teki sejarah Pajajaran di Tanah Pasundan. Pajajaran di akhir abad ke-16 itu merupakan Kerajaan Hindhu terakhir di Jawa. Posisinya makin terdesak oleh kekuatan baru di wilayah tengah dan barat di Jawa -- gabungan kerajaan Banten, Cirebon dan Demak pasca runtuhnya kemaharajaan Majapahit di Jawa Timur.

Pajajaran yang terancam akan dipunahkan oleh rivalnya, kerajaan Banten, secara diam-diam mengirimkan "empat utusan" yang disebut sebagai Kandaga Lante, terdiri dari Sang Hyang Hawu atau dikenalnya sebagai Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nangganan), Sanghyang Kondanghapa, serta Batara Pancar Buana yang julukannya di Kandaga Lante, sebagai Terong Peot.

Keempat utusan ini menyerahkan mahkota kerajaan Pajajaran yang terbuat dari emas, disebutnya sebagai Mahkota Bino Kasih sebagai simbolisasi menyerahkan kekuasaan Pajajaran -- yang nyaris diserbu kerajaan Banten -- kepada Sumedang dengan maksud untuk estafet kekuasaan atas wilayah kerajaan Pasundan.

Dan tidak tidak hanya mahkota, keempat Kandaga Lante itu juga membawa sejumlah pusaka kerajaan seperti pusaka Curuk Aul (kuku hantu) -- yang disebut sebagai 'duhung', kombinasi antara golok dan keris bentuknya -- serta berbagai pusaka lain kerajaan Pajajaran. Adapun keris pusaka Sumedang, Ki Dukun yang model (dhapur) nya khas -- berlekuk lima dengan ricikan (detil) genap di sor-soran (bagian bawah keris) seperti sekar kacang, greneng, jalen, termasuk pula detil hiasan Pudhak Sategal (pudhak itu bunga pandan yang jarang ditemui orang, sategal adalah seladang penuh bunga pandan).

Penyerahan Mahkota Binokasih kerajaan Sunda serta seluruh atribut kerajaan Pajajaran kepada Sumedang, membuat Pangeran Angkawijaya hari itu (pada saat kedatangan atribut-atribut Pajajaran) langsung dilantik sebagai Raja Sumedang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578-1608). Geusan Ulun sendiri adalah raja terakhir Sumedang, sebelum di era kolonial Belanda, Sumedang menjadi setingkat Kadipaten, yang dipimpin oleh Bupati Wedana.

"Sumedang menurut saya, museum daerah terbaik yang pernah saya lihat..," ujar David Henkel, kata sobat kurator ini, ketika melihat berbagai artefak yang memiliki riwayat jelas, dan otentik ini masih berada di etalase Museum Geusan Ulun lebih dari lima abad setelah diserahkan Pajajaran.

"Saya sudah melihat museum-museum Sumatera di Medan, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Palembang, Sonobudoyo di Yogyakarta, Radyapustaka di Surakarta. Museum Sumedang menurut saya terbaik...," kata David Henkel, yang mengaku sudah 30 tahun mengenal seluk beluk keris, serta 15 tahun menjadi kurator di Asian Civilization Museum di Singapura ini pula.

Menggosok bilah keris dengan kulit gabah di atas nampan saat Jamasan Pusaka di Geusan Ulun Sumedang Januari 2014. (Foto Tira Hadiatmojo)
Menggosok bilah keris dengan kulit gabah di atas nampan saat Jamasan Pusaka di Geusan Ulun Sumedang Januari 2014. (Foto Tira Hadiatmojo)

Tradisi terus berlanjut

Selain memiliki artefak yang jelas riwayatnya serta otentik, Museum Geusan Ulun di Kraton Sumedang Larang ini juga memiliki daya tarik. Yakni ritual Jamasan Pusaka setiap Maulud Nabi Muhammad SAW, peringatan kelahiran Nabi Besar. Jamasannya, waktu itu, unik dan khas Sumedang.

Berbeda dengan tradisi di Jawa Tengah dan Timur, yang Jamasan Pusaka nya dilakukan setiap awal tahun Islam Jawa, di awal bulan Sura, maka di Sumedang, dan juga Cirebon, Ciamis di Jawa Barat, acara jamasan pusaka dilakukan pada bulan Maulud. Tidak dijamas dengan air warangan seperti di Jawa Tengah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun