Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dari Cangak Ondhol Sampai Keris Ki Dukun

3 Maret 2024   16:02 Diperbarui: 4 Maret 2024   00:01 1321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ki Dukun

Keris khas Sumedang, Ki Dukun, yang sampai kini dipajang di etalase Museum Geusanulun Sumedang itu, merupakan keris yang secara fisik bentuknya istimewa dan khas. Berlekuk lima, dengan ricikan (detil garap) di bagian sor-soran (bagian bawah bilah), dihiasi detil lengkap keris. Dari sekar kacang, sogokan, greneng, bahkan ricikan yang jarang.... Pudhak sategal.

Pudhak adalah bunga pandan. Sangat jarang orang bisa menemukan atau melihat bunga pandan. Nah, jika sor-soran dari keris itu dihiasi "Pudhak Sategal" (satu ladang penuh dengan bunga pudhak), maka secara simbolis, keris pusaka itu melambangkan semacam raja yang "sugih" (kaya), loh jinawi (makmur sentosa), lambang kekayaan wilayah Pasundan, yang tak hanya kaya budaya, akan tetapi juga alamnya kaya raya. Dan bergunung-gunung indah.

Keris yang di"tanting" (tanting -- memegang keris di genggaman) Sultan Abdulgani dari Kacirebonan hari itu, merupakan keris serupa Ki Dukun, persis plek dan bahkan mungkin empu pembikinnya pun sama. Berlekuk lima, kehitaman, karena tidak dibersihkan atau pun diwarangi (agar keluar pamor).

Sementara Ki Dukun Sumedang, warnanya putih keperakan, karena secara rutin setiap Maulud Nabi, selalu "dijamasi" alias dimandikan dengan air dari tujuh sungai sekitar Sumedang, seperti Cipeles, Cihonje, Cirangkong, Ciloa, Cileuleuy, Cipicung dan Cipongporang.

Setelah dimandikan dengan air tujuh mata air di Pasundan, Ki Dukun dan juga pusaka-pusaka Sumedang umumnya digosok dengan "sekam" (kulit padi) di atas nyiru, dicelup lagi air tujuh mata sungai, dan kemudian diminyakin dengan minyak misik atau minyak arab.

Sumedang, dan juga Cirebon tidak seperti di lingkungan keraton-keraton di Jawa Tengah, pusaka-pusakanya dijamasi setiap awal Maulud, pas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Bukan seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di awal tahun baru Jawa, di awal Sura.

Riki Kurniawan Apriansyah penjual Kujang di Pameran Cirebon. (Foto Riki Pusaka Kandaga Wesi)
Riki Kurniawan Apriansyah penjual Kujang di Pameran Cirebon. (Foto Riki Pusaka Kandaga Wesi)

Pameran di Kacirebonan

Pameran di Keraton Kacirebonan pada 1-3 Maret 2024, berlangsung meriah. Maklumlah, Keraton Kacirebonan selalu disebut sebagai "Pusat Budaya Cirebon". Di Cirebon ada tiga keraton, dan satu Peguron keraton. Yakni, keraton Kasepuhan, keraton Kanoman dan Keraton Kacirebonan.

"Semua sultan, sejak masa Sunan Gunungjati pendiri Cirebon (1482) selalu berguru agama terlebih dulu di Peguron Keprabonan," tutur Pangeran Iyan Arifudin, kerabat Kraton Kacirebonan yang juga Kepala Unit Cagar Budaya keraton Kacirebonan, kepada saya Sabtu (2/3/2024) lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun